Pengantar:
Redaksi KatongNTT.com melakukan liputan jurnalistik tentang temuan puluhan gua pertahanan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang. Kami akan menurunkan hasil liputan secara berseri (1 – 4 tulisan) tentang benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang yang terbesar di Indonesia.
Berawal dari cerita kenangan masa kecil warga tentang gua yang mereka sebut lubang untuk bermain di masa mereka kecil. Cerita dari mulut ke mulut yang kemudian ditelusuri sepasang pendeta majelis Gereja GMIT Mizpa di Kampung Bonen. Hasil penelusuran itu mengungkap kemungkinan gua-gua ini sebagai benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang. Temuan ini dinilai memperkaya sejarah peran Pulau Timor dalam Perang Dunia II yang kurang mendapat perhatian serius pemerintah daerah selama ini.
Kupang – Cerita mulut ke mulut tentang puluhan gua peninggalan Jepang di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti sudah. Sebelumnya tidak ada informasi apapun yang bisa menunjukkan keberadaan puluhan gua yang berusia 80 tahun itu.
Puluhan gua yang panjangnya berkilometer mengitari Kampung Bonen diduga sebagai benteng pertahanan Jepang di Pulau Timor pada masa Perang Dunia II.
Masyarakat Kampung Bonen sejak kecil sudah mengetahui keberadaan puluhan gua tersebut. Bahkan bagi anak-anak lelaki, gua-gua itu menjadi tempat bermain mereka. Namun informasi itu tidak pernah sampai ke telinga pemerintah.
Kehadiran Pendeta Deazsy Liu-Tatengkeng dan suaminya, Pendeta Otniel Dhany Liu pada Mei 2021 lalu bagaikan oase di padang pasir. Pasangan yang ditugaskan untuk melayani Jemaat GMIT Mizpa Bonen ini punya andil besar untuk mengangkat dan memperkenalkan gua di Kampung Bonen.
Berawal ketika Deazsy yang punya hobi berekreasi mencari tahu tempat rekreasi di sekitar Kampung Bonen. Dia tanyakan tentang tempat rekreasi kepada Majelis Jemaat Mizpa Bonen. Deazsy mendapat informasi bahwa ada bukit yang jaraknya sekitar 200 – 300 meter dari lokasi gereja bisa menjadi tempat rekreasi.
“Saya orangnya pecinta alam, jadi saya suka dengan alam yang indah, saya tidak peduli apapun, yang penting saya bisa sedikit bersantai,” ujar Deazsy saat ditemui KatongNTT di Kampung Bonen pada 23 Juni 2022.
Deazsy dan suaminya tidak menyangka di sekitar mereka ada gua yang diduga menjadi pertahanan tentara Jepang saat menduduki Pulau Timor. Pertama kali datang ke Bukit Fatusuba – di bawahnya terdapat puluhan gua peninggalan Jepang – Deazsy tidak melihat ada tanda-tanda terdapat gua di sana. Informasi itu baru didapat keesokannya.
“Kami terkesima dengan cerita jemaat bahwa ternyata di bawah bukit ini ada benteng pertahanan Jepang 80 tahun silam,” jelas Deazsy.
Deazsy menyadari peninggalan Jepang tersebut punya nilai tinggi. Namun kesibukan pelayanan membuatnya tidak ikut menyusuri satu per satu gua tersebut.
Suaminya kemudian mengumpulkan informasi dan bersama para pemuda menyusuri gua-gua itu. Ia mendatangi orang-orang tua, berbagi cerita tentang apa yang mereka ketahui soal Jepang dan peninggalannya.
Dhany mengulang kembali cerita almarhum Sem Konis, bendahara Majelis Jemaat Mizpa Bonen yang banyak berbagi tentang keberadaan gua-gua itu. Almarhum mendapat cerita dari orang tuanya bahwa di atas bukit Fatusuba itu, tentara Jepang dulunya melakukan ritual menghormati matahari.
“Luar biasa peninggalan Jepang di sini. Sayangnya belum ditulis oleh sejarawan manapun juga, belum diteliti oleh arkeolog manapun juga,” ujar Dhany.
Dia pun menyesalkan respons dari pemerintah Kabupaten Kupang yang lamban. Bahkan, saat Kepala Balai Perlindungan Cagar Budaya (BPCB) Bali dan Direktur Perlindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi datang ke bukit Fatusuba, staf di kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT mengaku baru mengetahuinya.
Dhany tak putus asa dengan respons aparat pemerintah setempat. Dia bersama warga setempat mencoba memberi makna pada masing-masing gua yang mereka telusuri. Berdasarkan penuturan masyarakat Kampung Bonen dan hasil penelusuran ke dalam gua, Dhany memberi nama sementara untuk beberapa gua. Misalnya ada gua logistik, gua penjara, gua bar, dan gua panglima.
Pemberian nama gua agar pengunjung yang tidak punya keberanian menyusuri gua-gua itu bisa mengetahui dari nama dan cerita masyarakat.
“Nama sementara ini kami berikan berdasarkan cerita masyarakat dan konstruksi gua,” jelas Dhany.
Warga juga menemukan beberapa benda yang menunjukkan gua itu sebagai benteng pertahanan Jepang . Misalnya, proyektil peluru, ranjau darat yang sudah karatan, dan velek ban mobil. Bahkan benda seperti bekas bahan peledak yang sudah tidak berfungsi dipakai sebagai lonceng di Gereja Mizba Bonen.
Dhany berusaha mencari literatur lain sebagai petunjuk tentang keberadaan gua tersebut. Sayangnya, dia tidak menemukannya.
Satu-satunya informasi yang menjadi rujukan adalah informasi tentang Pangkalan Angkatan Udara Penfui di website resmi TNI Angkatan Udara. Informasi itulah yang membuatnya semakin semangat mengungkap tentang puluhan gua di Kampung Bonen.
Pada September 2021, Dhany memposting gua-gua itu di akun Facebook miliknya. Dia menerima banyak komentar dan dukungan, kecuali pemerintah.
Dia juga mengadakan dialog dengan Kepala BPCB Bali, mendatangi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Hingga melengkapi persyaratan untuk mendaftarkan puluhan gua itu ke Direktorat Kebudayaan.
“Teman-teman dari arsitektur sudah datang mengambil gambar dan titik koordinat setiap mulut gua untuk dibuatkan petanya,” ujar Dhany awal Juli lalu.
Peta tersebut akan dibawa sebagai syarat untuk mendaftarkan gua-gua tersebut sehingga bisa masuk dalam cagar budaya yang dilindungi.
Menurut Dhany, dia hanya ingin melindungi dan mengangkat cerita keberadaan gua-gua tersebut. Ia ingin ke depan, gua peninggalan Jepang itu bisa memberikan dampak ekonomi terhadap kehidupan masyarakat Bonen.
Persiapkan SDM
Selain usaha memperkenalkan gua Jepang di Kampung Bonen ke publik, pasangan Pendeta ini juga fokus meningkatkan sumber daya manusia anak-anak di sekitar kampung. Melalui Mizpa Learning Center (MLC), anak-anak usia PAUD hingga SMP belajar bahasa Inggris dan Jepang.
Mereka punya proyeksi jangka panjang. Menurut Dhany, jika gua-gua tersebut benar merupakan peninggalan tentara Jepang, tidak menutup kemungkinan akan ada banyak kunjungan dari luar, termasuk dari Jepang.
Selain itu, cita-cita mereka berdua salah satunya adalah menjadikan bukit Fatusuba dan puluhan gua itu sebagai destinasi wisata sekaligus tempat belajar tentang sejarah. Sebelum sampai ke sana, mereka menyadari pentingnya kesiapan warga Bonen menghadapi situasi tersebut.
“Jadi sambil berproses menuju apa yang kita cita-citakan, kita harus mempersiapkan SDM kita, sehingga kita nantinya tidak menjadi penonton di kampung sendiri,” ujar Dhany.
Secara rutin anak-anak tersebut belajar setiap minggu. Melalui berbagai kenalan, mereka terus berupaya memberikan materi pelajaran yang bermanfaat bagi generasi masa depan Kampung Bonen. (Joe)