Kupang – Sama halnya Pemilu 2019, nyawa warga biasa kembali jadi tumbal pesta demokrasi di 2024 ini. Pemilu serentak di Indonesia dengan lebih dari 24 jam sistem kerja yang tak manusiawi membuat petugasnya dijemput ajal.
Kematian ironis ini dialami anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kabupaten Malaka, Belu dan petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga : Satu Caleg Dua Partai, KPU Malaka Buka Suara
Salah satu yang telah berpulang ini ialah Luther Manetlang asal Puimang, Kabupaten Alor. Pria 51 tahun itu menjadi Sekretaris PPS Desa Langkuru.
Luther pada 5 Februari sempat dilarikan ke rumah sakit setelah ia balik dari Kalabahi dalam rangka pencairan dana operasional PPS. Namun ia keluar rumah sakit keesokan harinya.
Luther pun beraktivitas mencairkan honor para KPPS lagi dan menyiapkan pelaksanaan pemilu sejak tanggal 9 Februari hingga 14 Februari. Kondisinya pun memburuk setelah memberi hak suara lalu ia dilarikan lagi ke rumah sakit untuk dirawat lagi. Namun pada 15 Februari Luther menghembuskan nafas terakhir.
Baca juga : 5 Anak Korban Rabies Tutup Usia, Andai Segera Dicegah
Kematian juga merenggut Marselina Hoar. Ketua KPPS di TPS 07, Desa Bakiruk, Kabupaten Malaka ini bersiap pagi-pagi sekali saat hari pemungutan suara 14 Februari. Ia bekerja hingga 16 Februari dan pulang subuh, jam 04.00 WITA. Keadaannya tidak lagi biasa dan langsung tertidur. Namun ia terpaksa bangun beberapa jam kemudian untuk melayani saksi yang datang meminta salinan C1.
Setelahnya dia terkulai di depan pintu masuk dan tetangga datang membawanya ke rumah saudarinya yang tak jauh dari situ. Marselina mengalami dry heaving atau sensasi ingin muntah namun tak ada muntahan yang keluar.
Baca juga : Caleg Miskin Gagasan Andalkan Politik Uang
Marselina pun dilarikan ke Rumah Sakit Umum Penyangga Perbatasan (RSUPP) Betun dalam keadaan tak sadarkan diri hingga akhirnya tak lagi terselamatkan hari Jumat itu juga.
Ironi yang sama dialami oleh seorang pria 54 Tahun asal Desa Bauho, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Ia adalah Antonio Silva Maia yang merupakan anggota KPPS di TPS 03 Desa Bauho.
Antonio mengeluh tubuhnya meriang selepas pemungutan suara dan berpamitan untuk beristirahat. Namun pada 15 Februari itu Antonio tak pernah bangun lagi dari istirahatnya. Jasadnya pun hingga Jumat 16 Februari masih disemayamkan di rumahnya.
Baca juga : Bawaslu RI Buka Catatan Merah NTT Dalam Pemilu 2024
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTT, Jemris Fointuna, Jumat 16 Februari 2024, membenarkan tiga kematian petugas pemilu ini. Ia bahkan menambahkan ada 83 petugas lainnya yang sakit dan mendapatkan perawatan medis sesuai laporan yang ia terima.
“Total 3 orang meninggal dan 83 orang sakit,” jawabnya.
Bagi petugas atau penyelenggara yang meninggal ini akan diberi santunan Rp 36 juta sesuai Keputusan KPU nomor 59 Tahun 2023.
“Santunan ini ada beberapa kategori,” jelas Komisioner KPU NTT, Petrus Nahak, secara terpisah.
Santunan juga diberi untuk anggota yang mengalami cacat permanen saat bekerja Rp 30,8 juta, lalu untuk kategori sedang Rp 8,5 juta dan ringan dibuktikan dengan surat rekomendasi dokter Rp. 4 juta.
Baca juga : Pemilu 2024, Politik Uang: Harga Suara Lebih Murah dari Bibit Babi (2)
KPPS sendiri terdiri dari seorang ketua dan 6 anggota. Besaran gaji untuk anggota KPPS Pemilu 2024 yaitu Rp 1,1 juta sedangkan Ketua KPPS honornya Rp 1,2 juta.
Gaji mereka diperkirakan akan cair pada akhir masa kerja atau tepatnya 25 Februari 2024. Sedangkan masa kerja mereka adalah sejak 25 Januari 2024 hingga 23 Februari 2024.
Pada pemilu sebelumnya ada 11 petugas KPPS di NTT yang wafat baik saat bertugas atau telah selesai bertugas. Jumlah korban itu sebulan setelah pemungutan suara di 17 April 2019. Sedangkan yang sakit mencapai 159 orang. ***