Perempuan paruh baya itu mulai menata beberapa jenis sayur di lapak jualannya di Pasar Oebebo di hari terakhir PPKM level 4 di Kota Kupang. Ia meraih sebuah karung lalu menutupi dagangannya.
Mama Dian, begitulah wanita paruh baya yang tinggal di jalan Frans Seda, Kelurahan Fatululi itu terlihat tergesa-gesa. Ia seperti sedang beruji dengan mesin waktu yang terus berjalan.
Pendemi Covid-19 belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Meski vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan sudah dilakukan. PPKM sudah beberapa kali diperpanjang.
Penurunan pendapatan dirasakan betul oleh Mama Dian. Bahkan anaknya yang pertama harus memendam cita-citanya melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
“Kalau tidak Covid ini, saya pasti tertatih tapi saya berusaha supaya anak saya bisa kuliah. Tapi sekarang itu tidak mungkin,” kata Mama Dian dengan wajah pasrah kepada KatongNTT, Minggu, 23 Agustus 2021.
Wanita asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang kini menjadi warga Kota Kupang itu harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara suaminya bekerja sebagai supir ojek, kadang kala bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kota karang ini menghidupi mereka selama ini dari usaha yang mereka tekuni. Namun setahun terakhir ini, kepelikan sangat dirasakan Mama Dian bersama keluarganya.
Jika sebelum pandemi Covid-19, dia bisa menyisihkan sedikit uang tabungan untuk biaya sekolah anak-anaknya, kini semua hampir berputar menjauhinya. Lapak sayur yang biasanya menjadi penopang dapur, seakan sudah goyah dan tidak sanggup membuat asap dapur keluarga itu terus mengepul.
“Sekarang ini untuk makan minum saja sangat susah, apalagi mau simpan uang,” kata Mama Dian sambil merapikan sayur-sayuran di lapaknya.
Meski kondisi terasa begitu sulit, anak-anak mereka yang menuntut ilmu harus membayar uang sekolah dan kebutuhan lainnya seperti pulsa paket untuk belajar online.
Mama Dian memiliki 3 orang anak. Dua anaknya bersekolah. Anak kedua duduk di kelas X SMA, anak ketiga di kelas VII SMP. Anak sulungnya yang tamat SMA tahun lalu, tak bisa mengeyam pendidikan di bangku kuliah lantaran persoalan ekonomi yang terus menghimpit.
Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kondisi pemasukan dari hasil berjualan sayur yang kadang merugi, menuntut Mama Dian harus berpikir keras dan bisa kreatif.
Dia lalu membuka usaha warung yang menyediakan makanan khas Timor seperti jagung bose dan jagung yang dicampur dengan berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang tanah.
“Kita jual satu porsi Rp.10 ribu. Banyak sopir bemo (angkot) yang mengeluh juga karena pendapatan menurun, harga Rp. 10 ribu itu pas untuk mereka,” tambah Mama Dian.
Hasil jual sayur mayur itu menurun lantaran pembatasan kegiatan masyarakat, PPKM berakibat pada daya beli di warung-warung makan mulai menurun. Imbasnya, belanja sayur-sayuran pun mulai menurun. Jika sebelumnya, warung-warung berbelanja sayur Rp 50 ribu setiap hari, sekarang hanya bisa Rp 20 ribu. Itu pun untuk satu dua hari.
Walau diterpa dengan krisis ekonomi keluarga, Mama Dian tetap menaati semua kebijakan pemerintah. Menurutnya, kebijakan pemerintah adalah untuk kebaikan masyarakat. Karena itu, manaatinya merupakan dukungan memutus rantai penyebaran Covid-19.
Kondisi yang sama dialami Ros Tefa, penjual sayur lainnya di pasar Oebobo. Meski belum berkeluarga, Ros tetap bertanggungjawab menafkahi orang tuanya di Fatumnasi, TTS. Setiap bulan, Ros selalu membawakan kebutuhan rumah tangga bagi orang tuanya saat mengambil sayur mayur di TTS.
“Terakhir saya ke kampung itu bulan Maret. Sampai sekarang belum pergi lagi karena hasil jualan terus menurun. Saya juga tidak bisa kasih uang atau sekedar beli kopi dan gula untuk orang tua,” kata Ros sambil manatap jualannya.
Namun Ros tetap yakin berkatnya telah disiapkan oleh Tuhan. Dia tetap berjualan sambil terus berserah kepada Sang Pemilik Kehidupan. Dengan cara itu, Ros tetap tersenyum menghadapi kondisi yang semakin tak menentu. .
“Saya selalu bersyukur dan meminta Tuhan untuk membuka jalan bagi usaha saya,” katanya dengan senyum simpul pada wajahnya.
Ros tampak tetap ceria. Dia tetap bersenda gurau dan tertawa dengan sesama penjual lainnya yang kebetulan lewat di depan lapak jualannya. Ia mengaku, menekuni usaha itu dari 2016 lalu saat pertama datang ke Kota Kasih.
Pada jalan masuk Pasar Oeba, Andre duduk pada sebuah kursi plastik tanpa sandar. Tembok di tepi jalan digunakan sebagai sandaran. Disampingnya, sebuah gerobak dilengkapi dengan kompor, mangkong, sendok juga garpu.
Saat itu matahari sudah condong ke arah Barat, sebagian bakso Andre belum laku. Dia mengaku penghasilannya menurun lebih dari 50 persen. Sebelum pandemi Covid-19, dalam sehari Ia bisa menjual lebih dari seratus porsi bakso.
“Yah begini sudah. Kita lebih banyak duduk daripada layani pelanggan. Kadang-kadang cerita dengan pedagang lain,” kata Andre lirih.
Dulu, 4-5 kilo daging yang diolah bisa habis terjual. Kondisi itu menurun drastis saat ini. Hanya 1-2 kilo daging saja yang dia olah. Itupun tak semuanya laku terjual di masa PPKM diberlakukan.
“Sekarang ini lakunya 15-20 porsi saja. Banyak yang kita bawa pulang ke rumah,” ungkap Andre dibalut senyum pada wajahnya. (Joe)