Maxs U.E. Sanam belum genap tiga bulan menjabat sebagai Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) ketika Civitas Akademika Fisip berunjuk rasa di Gedung Rektorat dua pekan lalu. Mereka meminta Rektor melanjutkan pembangunan gedung di fakultas itu hingga rampung tahun 2022. Dalam dialog dengan perwakilan pengunjuk rasadi ruang aula Rektorat, Sanam memastikan pembangunan berlanjut dengan memotong anggaran Rp 2,5 miliar dari Rp 10 miliar.
Meski memberikan solusi itu, tapi dalam wawancara khusus KatongNTT.com pada Jumat, 25 Februari 2022, Rektor Sanam mengatakan informasi tentang pemotongan anggaran pembangunan gedung masih bersifat drafting. Belum final.
Begitupun, Rektor memastikan iklim demokrasi di lingkungan Undana tetap terjaga dengan prinsip yang dia pegang yakni memberikan contoh dalam kepemimpinannya (lead by example), dan berfokus pada solusi. Berikut petikan wawancaranya
KatongNTT: Membangun kembali iklim demokrasi di kampus Undana. Mengapa in menjadi satu poin penting yang Bapak angkat?
Rektor Sanam: Saya kira dalam membangun kembali iklim demokratis itu sudah seharusnya universitas menjadi lokomotif inspirasi dan inovasi untuk menggaungkan demokrasi. Kita berteriak untuk orang lain mempraktekkan demokrasi, sementara kita sendiri? Saya selalu memimpin dengan prinsip melakukan lead by example. Siapapun yang menghendaki agar orang lain melakukannya, maka kita harus terlebih dahulu melakukannya. Itu rule of the game nya.
Kita mendidik generasi berbudaya, pemimpin bangsa di kemudian hari. Kita harus memberikan kesempatan berdemokrasi. Saya kira sesungguhnya kita belajar tentang Pancasila, spirit demokrasi ada disitu. Demokrasi di Indonesia adalah musyawarah dan mufakat. Musyawarah itu memberi ruang untuk komunikasi.
Ruang-ruang komuikasi harus dibuka selebar-lebarnya. Setiap orang ingin menyampaikan gagasannya, dan setiap orang yang menyampaikan gagasan memberi diri untuk mendengarkan dalam kesetaran. Pada ujungnya bukan fokus pada masalah yang disampaikan tapi fokus pada solusi.
Jadi jika semua orang fokus pada solusi, jalan keluar dari masalah, maka problem demo atau kerusuhan seharusnya tidak terjadi. Orang tidak sekadar menyampaikan tuntutannya tapi dia harus berpikir tuntutan saya ini logis atau tidak untuk mendapatkan solusinya.
Saya ketika turun di audiens sudah lebih dahulu melakukan audiens ke fakultas. Cuma karena unitnya banyak, kebetulan Fisip belum dapat giliran. Tapi saya sudah ke Fakultas Hukum, Fakultas Pertanian dan FKIP, kebetulan karena ada agenda lain yang bersamaan dengan jadwal rektor. Seharusnya saya sudah jadwalkan ke sana, Fisip.
Tetapi kembali ke jadwal itu sendiri, semestinya jika ada hal yang perlu dikomuniasikan dengan Rektor, siapapun juga boleh kok. Boleh setiap saat, jangankan pimpinan, mahasiswa saya setiap saat terbuka. Mahasiswa juga bisa memberikan saran kepada saya di ruang medsos (media sosial). Saya aktif juga di medsos. Di Instagram, Facebook, Twiter tapi saya tidak terlalu aktif. Bahkan wa saya aktif.
Saya justru menemukan informasi, saran dan keluhan dari mahasiswa dari media sosial. Kalau ada masalah, saya langsung intervensi.
KatongNTT: Ada anggapan rektor jauh banget untuk dijangkau (untuk komunikasikan masalah)?
Rektor Sanam: Rektor ini hanya jabatan, amanah yang diberikan Tuhan melalui mekanisme pemilihan yang ada, dipilih senat lalu dikukuhkan Menteri Kebudayaan dan Ristek. Jabatan amanah dan tugas saya melayani sesuai dengan beban tugas yang diberikan kepada saya. Bukan satu jabatan yang dijaga sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa bertemu kita, supaya menjaga kewibawaan saya.
Menurut saya kewibawaan saya bukan terletak pada seberapa tinggi saya menempatkan diri saya atau seberapa jauh saya menjaga jarak saya dengan stakeholders saya. Tetapi seberapa dekat saya berada dengan mereka, dan seberapa intens saya melayani mereka. Keyakinan saya seperti itu. Orang memberikan respect bukan karena sesuatu yang kita jaga, sesuatu yang ingin kita buat-buat. Tapi karena kita melayani mereka dengan tulus dan sebaik yang bisa kita lakukan.
KatongNTT: Demonstrasi Civitas Akademika Fisip, sebenarnya apa pemicunya?
Rektor Sanam: Sebenarnya ini kembali pada komunikasi. Persoalan komunikasi ini prinsipnya adalah ada orang yang mau mengkomunkasikan apa yang ada dalam pikiran dan keinginan dan ada orang yang mau mendengarkan keluhan. Permintaan dari orang yang menyampaikan informasi tersebut. Nah ini harus dua pihak. Bagi saya, posisi saya adalah sebagai pendengar dan tidak semua masalah mereka bisa saya selesaikan. Tergantung dari kemampuan saya dan institusi ini juga seperti apa.
Pertanyaannya kembali, kalau saya siap mendengar tapi orang yang sebagai pemberi informasi tidak menyampaikan kepada saya, tentu saya tidak tahu masalahnya apa. Jadi saya melihat ini ada hambatan keinginan orang untuk berkomunikasi. Jadi saya belum mendapatkan komunikasi terkait keberatan mereka, itu yang pertama. Yang kedua, ada misinformasi yang menyatakan bahwa saya membatalkan pembangunan gedung pada tahun ini. Saya tidak pernah mengatakan.
Jadi informasi yang benar itu, saya sudah sampaikan pada pimpinan sebelumnya, Pak Dekan kita melanjutkan pembangunan. Tapi karena ada kebutuhan-kebutuhan unit lain juga, program-program prioritas lain juga dan juga dana, ini tidak bisa dilakukan secara penuh. Dan kita akan lanjutkan tahun depan. Tapi sesungguhnya masalah ini simple, ini kan dana saldo awal. Inikan kebijakan rektor.
Dalam kita menganggarkan, ada disuksi-diskusi dengan para wakil rektor, dengan bagian perencanaan dan sebagainya. Inikan masih drafting, ternyata catatan itu keluar dan didapatkan orang lalu mereka mengklaim, loh Pak kenapa waktu lalu sepuluh miliar kenapa sisa tujuh setengah miliar. Itukan masih otoritas kebijakan saya, lalu kenapa barang itu bisa didapat di orang lain, kan itu belum masuk dalam dokumen resmi.
Nah, bagaimana orang itu memegang itu sebagai dokumen resmi kemudian mengklaim bahwa dananya harusnya sepuluh miliar. Itu masalahnya disitu. Kecuali sudah ada dalam DIPA lalu rektor memotongnya, ya bolehlah dia protes. Inikan masih tahap diskusi dan hak prerogatif Rektor.
KatongNTT: Dekan menyebutkan ada diskriminasi terhadap dua Prodi yakni Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik?
Rektor Sanam: Saya anggap masalah ini sudah selesai, saya dengan Pak Dekan (Fisip) sudah oke. Tapi secara administratif saya harus menyatakan bahwa pembinaan disiplin. Saya harus memberikan peringatan kepada beliau. Itu sudah saya sampaikan. Peringatan tertulis bukan karena demo. Tetapi hal-hal seperti ini ada mekanismenya. Dan ada indikasi mereka memprovokasi anak-anak dengan memberikan informasi yang salah tadi bahwa Rektor memotong (dana pembangunan gedung Fisip), sudah batalkan pembangunan. Itukan bagian dari provokasi, faktanya kan tidak. Kedua, Rektor (dikatakan) berkomitmen menyelesaikan pembangunan tahun ini. Saya tidak pernah buat komitmen. Dari mana saya tahu keuangan Undana? Yang tahu itu teman-teman bagian perencanaan. Jadi hal-hal begini sebenarnya teman-teman dekan sudah tau.
Soal sekian lama (gedung belum dibangun), saya kan Rektor baru dua bulan. Kenapa saya dituntut memikul beban bertahun-tahun? Logikanya begini, pada tahun 2008, Rektor memberikan gedung Fisip untuk digunakan oleh Kedokteran yang baru mendapatkan izin waktu itu. Nah waktu itu jumlah mahasiswa Fisip belum sebanyak ini. Rektor melihat ruang kuliah cukup sehingga memberikan itu untuk Kedokteran. Pimpinan siapa pun pasti tidak menganakemaskan mahasiswa lalu menganaktirikan mahasiswa yang lain. (K-04)