Kupang –Sepasang suami istri, Alfred Suandi dan Imelda Rohi menjalankan bisnis minuman herbal jahe merah yang meraih banyak pelanggan. Keduanya menggeluti bisnis ini setelah merasakan khasiat jahe merah ketika terjangkit virus Covid-19.
“Awal merintis ini (usaha) itu mulai dari saya dan istri saya kena Covid di 2020,” kata Alfred saat ditemui di rumahnya, akhir pekan ini.
Kisah tentang khasiat jahe merah ini kemudian menarik banyak minat pembeli yang berjuang menghindar terjangkit Covid-19.
Sebelum pandemik, Alfred dan Imelda sebenarnya sudah memproduksi minuman jahe merah. Namun saat itu tahap coba-coba dengan kemasan seadanya. Penjualannya pun masih seputar kenalan dan kerabat.
Di tengah pembelian minuman jahe merah meningkat, Alfred dan Imelda pun mengembangkan usaha ini dengan memproduksi 10 jenis minuman herbal.
“Sudah ada 10 produk (minuman herbal) yang kami olah,” ujar Alfred.
10 produk tersebut di antaranya jahe merah instan dengan campuran gula pasir, gula aren, dan tanpa gula. Lalu jahe putih, temulawak, kunyit putih, beras kencur, kunyit asam, kopi almetira, dan kopi stamina.
Produk mereka ini diberi nama Almetira. Awalnya diberi nama Aquila namun kemudian diubah setelah pendaftaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) utuk nama merk ini tidak berhasil.
“Aquila ini nama tengah anak pertama saya. Karena kami daftar haki, tidak gol, jadi kami jadikan itu sebagai nama perusahaan CV Aquila Indonesia. Lalu kami ubah, kami coba gabungkan nama saya, istri, dan anak pertama. Jadi produk kami itu Almetira,” jelas Alfred.
Imelda kemudian mengajak penulis untuk mengikuti proses pembuatannya di Kelurahan Merdeka, Kota Kupang, Provinsi NTT.
Hal pertama yang harus dilakukan ialah menimbang jahe merah. Setelah itu, secara manual dipatah-patahkan menjadi lebih kecil, untuk kemudian dicuci. Proses pencucian dilakukan sebanyak 4 kali agar jahenya benar-benar bersih.
Setelah itu, jahe diiris lebih kecil lagi untuk kemudian dihaluskan dengan air menggunakan mesin. Ini dilakukan untuk mengeluarkan sari jahe tersebut.
Jahe yang sudah dihaluskan tersebut kemudian diperas. Air sarinya lalu dimasak dengan gula sekitar satu jam hingga benar-benar kering dan sampai menjadi serbuk.
Setelah jadi serbuk, disaring lagi agar dipisahkan yang benar-benar halus dengan yang masih kasar.
“Kalau yang kasar, nanti diperhalus lagi. Yang sudah halus siap dikemas dengan bubuk kayu manis dan kapulaga,” jelas Imelda.
Sedangkan ‘ampas’ dari perasan tadi dijemur di bawah sinar matahari selama sekitar delapan jam. Lalu dihaluskan sekali lagi menggunakan mesin penghalus yang berbeda.
“Untuk ampasnya yah, padahal bukan ampas juga sih sebenarnya dijemur, lalu dihaluskan lagi. Terus dipacking. Nah ini yang jadi minuman jahe merah tanpa gula itu,” ujar perempuan 47 tahun tersebut.

Oleh karena khasiatnya yang baik bagi tubuh, dan terus konsisten memproduksi, deretan minuman herbal buatan Imelda dan Alfred laku terjual. Produk herbal mereka sudah tersedia di lebih dari 20 supermarket di kota Kupang. Juga di apotek-apotek dan di Dekranasda NTT sebagai pemasok 10 produk ini.
Imelda mengisahkan, resep dan cara membuat minuman jahe merah hanya mereka dapatkan lewat YouTube. Dia dan suaminya melewati berkali-kali percobaan sampai akhirnya bisa menghasilkan minuman jahe merah.
“Kami belajar ini dari YouTube. Dan satu kali buat tidak langsung jadi. Awal kami buat itu karena kami tidak perhatikan api jadi dia (sari jahe merah) overcook. Akhirnya tidak jadi serbuk tapi jadi seperti dodol,” cerita Imelda tertawa.
Namun keduanya terus mencoba. Ketekunan dan kesabaran pasangan ini membuat omzet penjualan produk herbal buatan mereka mencapai Rp 120 juta per bulan.
“Modal awal itu hanya gula pasir dua kilo. Karena jahenya kami tanam sendiri. Jadi kami coba buat. Untuk haluskan ini jahe waktu itu belum ada mesin-mesin jadi harus ke pasar,” ujar perempuan dua anak itu.
Kegagalan dan Pengkhiatan Karyawan
Kesuksesan hari ini adalah buah dari ketekunan dan semangat pantang menyerahnya pasangan tersebut. Untuk sampai ke titik ini, keduanya harus melewati banyak kegagalan dan pengkhianatan dari karyawan-karyawan mereka.
Banyak usaha yang sudah mereka coba bahkan sejak mereka masih duduk di bangku perkuliahan pada 1997.
“Jadi sebelum beta (saya) dan suami menikah, kami sudah buka usaha. Pertama itu usaha cafe. Awalnya maju usahanya, tapi karena kekurangan pegawai, dan akhirnya kami menyadari kalau dua-duanya wiraswasta, kami tidak ada pegangan apa-apa. Kami juga baru kuliah saat itu, ” ujar Imelda.
Usaha cafe akhirnya ditinggalkan. Imelda kemudian bekerja di sebuah bank. Alfred bekerja DI proyek pemerintah di desa-desa seperti membangun jalanan dan lainnya.
Setelah menikah, Alfred kemudian bekerja di pusat perbelanjaan Ramayana namun kemudian mundur karena akan dipindahtugaskan ke Bogor.
Keduanya kemudian membuka usaha bakso babi dan jualan parfum di sekitaran Air Nona, Kota Kupang. Awalnya berjalan baik bahkan pendapatan mencapai Rp 800 ribu per hari tahun 2010. Pendapatan itu dari usaha bakso babi saja. Mereka pun mulai memperbanyak menu di warung. Tindakan curang para karyawannya membuat usaha mereka mendapat citra buruk.
“Karena kami sering tinggalin, karena saya masih kerja dan suami juga masih urus usaha lain selain dua itu. Jadi kami kasih orang percaya (untuk mengatur bisnis tersebut saat mereka tak ada). Nah di samping ruko kami itu ada salon, jadi dari salon ini makan bakso gratis di katong (kami). Katong pung karyawan pergi smoothing rambut, cat rambut di sebelah. Jadi mereka saling bertukar begitu”, kisah Imel.
Tak hanya itu, porsi bakso pun mereka kurangi. Karyawan di tempat jualan parfumnya pun mencampur parfum yang berbeda-beda. Penjualan pun menurun karena kualitas yang semakin jelek.
Imelda sampai keluar dari bank untuk fokus ke usaha tersebut. Karena citranya yang sudah tidak bagus di masyarakat, usaha itu pun ditutup.
Imelda kembali bekerja di bank yang berbeda dari sebelumnya. Alfred ke Jakarta selama empat tahun untuk belajar lebih dalam terkait bagaimana me-loby proyek dan mengerjakannya.
Empat tahun berselang, Imelda mundur dari pekerjaanya dan memilih merawat anaknya. Alfred kembali dan mulai bekerja proyek di daerah-daerah.
“Tetapi karena perkembangan proyek ini naik turun naik turun (tidak pasti), akhirnya dapatlah ini (usaha minuman herbal),” kata Imel.
Tak berhenti sampai situ, keduanya masih terus ditempa dengan banyaknya hambatan yang datang.
“Kita pas ada di satu tempat, di Soe sana, di PPMT, itu ada kerja sama dengan bintang tujuh unutk pembibitan dan penanaman jahe merah. Nah kebetulan suami saya tertarik dengan produk ini. Kebetulan kami punya tanah di Manulai yang luasnya 1.500 (meter persegi-red) dan belum dimanfaatkan, jadi awalnya dari situ,” ujar Imel mengisahkan kembali.
Mereka hanya mengambil bibit di PT. Bintang Tujuh, Rp 25 juta dengan total sekitar 100 kilogram jahe merah. Kondisi tanah yang tidak cocok, jahe merah yang ditanam tak membuahkan kualitas yang sama dengan yang ditanam di Flores.
“Kenapa saya bilang rugi, karena kami beli dengan Rp 25 juta, lalu kami tanam, itu sampai 150 kilo. Kami mau jual, tapi orang belum kenal ini jahe merah. Jadi akhirnya katong bagi-bagi. Terus, selama perawatan beta bayar orang selama satu tahun dua bulan. Kemudian orang curi lagi hampir seribu pohon anakan,” jelas Meli mengenang kejadian dua tahun lalu itu.

Kini bahan baku produsi minuman herbal dipasok dari Flores yang kualitasnya lebih bagus.
Tak sampai situ, cobaan datang lagi saat Imelda dan Alfred memilih untuk menggunakan jasa sales. Oleh karena produksi yang makin banyak namun minim penjualan.
Dengan pengalaman pernah bekerja di Ramayana, Alfred mengenal beberapa sales dan merekrut mereka.
“Target suami saya di 2022 pendapatan harus Rp 50 juta. Tapi dia (kepala sales) bilang itu terlalu kecil. Kami kasih pak Rp250 juta,” cerita Imelda menirukan gaya bicara sales yang baru direkrut.
“Dengan begitu kan suami sudah berbunga-bunga nih. Hari pertama suami langsung kasih motor untuk dibawa pulang, suami sudah buat baju semua. Jadi Senin, mereka jalan dan bawa 150 renceng jahe merah, mereka bilang ini sudah laku di sini, sudah PO di sini,” lanjut Imelda.
Namun, karena pesanan yang disebutkan banyak, Alfred memilih untuk mengantar menggunakan mobil di hari pertama. Dia bermaksud agar karyawan barunya tidak kesusahan menggunakan motor.
“Pas (saat) mau kasih turun begini (ke pelanggan), ini PO nya sekian-sekian, pas mau kasih turun, mereka bilang mereka tidak order. Jadi ada 50 bal yang mereka bawa entah ke mana, ada yang mereka bawa ke rumah mereka juga,” jelas Imelda.
Untuk setiap kegagalan dan kecurangan yang dilakukan karyawannya berkali-kali, Imelda dan Alfred tak mau menyerah. Mereka menganggap hal wajar jatuh bangun dalam bisnis.
“Dari kumpul yang sedikit-sedikit jadi besar itu harus begitu. Mengalami pengkhianatan, jadi saya belajar, namanya pembelajaran ada harga yang harus dibayar,” ucap Imel.
“Saya belajar dari banyak orang bahwa, apa yang kita tekuni, kita jalani, kita sungguh-sungguh, pasti Tuhan kasih berkat luar biasa untuk kita.” pungkas Alfred. *****
Silakan hubungi nomor +6282147269231 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!