Jakarta – Memperingati hari Lawan Perdagangan Orang Sedunia (World Day against Trafficking in Persons), Koalisi Masyarakat Sipil menuntut adanya revisi pada Undang-undang (UU) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
UU yang sudah berlaku 16 tahun sejak disahkan itu hanya sekadar jadi tulisan tanpa guna. Kasus TPPO hingga saat ini masih marak terjadi.
Menurut data yang dipaparkan Tanti Sumartini, Kepala Pusat Pemantauan Undang-undang Badan Keahlian Setjen DPR, korban kasus TPPO di Indonesia terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Di 2020, terdapat 191 kasus dengan korban TPPO sebanyak 226 orang. 624 kasus terjadi di 2021 dengan melibatkan 683 korban. Di 2022, ada 348 kasus dengan jumlah korban mencapai 401 orang.
“Berdasarkan data tersebut, mayoritas yang menjadi korban adalah kelompok rentan, perempuan, dan anak,” ujar Tanti.
Baca Juga: Kapolri Bentuk Satgas TPPO, Pokja MPM Minta Jaringan Mafia Dibongkar
Berdasarkan Global Organized Crime Index, dalam kasus TPPO, perempuan dan anak sering menjadi korban eksploitasi seksual.
Perempuan sering menjadi korban kerja paksa, mobilitasnya dibatasi, mengalami kekerasan fisik, bekerja dengan upah di bawah standar, bahkan tidak dibayar sama sekali.
Baca Juga: ‘Suster Kargo’ Jelaskan Soal Donasi Pemulangan Jenazah PMI NTT
Lebih lanjut Tanti memaparkan tiga aspek mengapa UU TPPO masih belum efektif dalam mengatasi masalah TPPO.
1. Aspek Substansi Hukum
“Pasal 2 UU TPPO yang menjelaskan tentang proses, cara, dan tujuan masih belum jelas penjelasannya sehingga aparat penegak hukum masih kesulitan menafsirkan delik pasal 2,” jelas Tanti.
Ia menjelaskan, pihak-pihak yang berwewenang punya kuasa untuk memblokir harta kekayaan pelaku TPPO. Namun dalam UU TPPO belum ada petunjuk teknis dalam pemblokiran bagi pelaku.
Selanjutnya yaitu belum terpenuhinya hak restitusi bagi korban TPPO.
2. Aspek Struktur Hukum
Tanti menjelaskan, korrdinasi antara LPSD dengan APH (polisi dan penuntut umum) dalam pengajuan restitusi belum efektif.
“Koordinasi cenderung lebih lambat karena LPSK belum ada di semua daerah,” katanya.
Lalu ditemukan belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menganggulangi TPPO. Sebutnya, “Pemda belum banyak berkomitmen untuk membuat perda dalam menanggulangi TPPO,”.
Lalu gugus tugas TPPO yang belum efektif. Kata Tanti, pembentukan gugus tugas TPPO sejatinya adalah kerja sama antara kementerian dengan pemda, namun disebut masih belum optimal karena lagi-lagi komitmen pemerintah yang masih dipertanyakan.
Baca Juga: Pejabat BIN Diduga Terlibat TPPO, Romo Paschal Tunggu Mahfud MD di Batam
3. Aspek Budaya Hukum
Di mana kerahasiaan identitas saksi dan korban masih belum terjamin. Berdasar data dari Asean-Australia center Trafficking, di 2020 pada 239 kasus yang dianalisis, 92% putusan tidak merahasiakan identitas korban.
Selebihnya, Tanti menjelaskan jika UU TPPO ini masih belum efektif oleh karena peran masyarakat yang belum optimal.
“UU TPPO sampai saat ini masih dipandang sebagai UU yang belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat. Terutama masyarakat rentan yang tinggal di daerah perbatasan,” ucapnya.
Nukila Evanty, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang mengatakan, UU TPPO kurang memberikan perlindungan bagi korban karena banyak yang perlu diadopsi dengan modus-modus baru kejahatan kemanusiaan ini.
Ia mencontohkan pasal hukum tentang kompensasi harus ada bagi korban TPPO. Serta support system bagi korban TPPO harus dilakukan oleh pemerintah, bergandengan tangan dengan masyarakat sipil.
“Gugus tugas TPPO sudah ada, yaitu terdiri dari 24 kementerian dan non kementerian, bagaimana caranya 24 kementerian ini berkolaborasi dengan masyarakat sipil.
Misalnya dalam mengindetifikasi korban, melakukan pendampingan, atau bantuan hukum, dan juga selama ini masyarakat sipil lah yang jadi garda terdepan dalam kampanye, dan advokasi TPPO,” jelasnya.
Menurut Nukila, UU TPPO perlu menekankan perlindungan anak-anak dari TPPO, serta mengharmonisasikan pasal -pasal hukumnya dengan UU terkait seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, UU Perlindungan Saksi, dan Korban.***