Kupang – Pater Gregor Neonbasu SVD PhD menyatakan duka mendalam setelah menerima kabar Uskup Emeritus Keuskupan Atambua, Anton Pain Ratu SVD wafat . Dia kemudian mengenang pentahbisan imamatnya oleh Uskup Anton Pain Ratu pada 21 September 1989.
“Turut Berduka yang mendalam, Uskup Pentahbis kami: Agus Bula, Rony Fenat, Thomas Bani, Yos Situ, Dus Parera, dan saya: 21 Sept 1989. M’onenam tulun kai he Uskup Anton, musanut kai manikin ma oetenen knino na’ko Usi Alikin Apean es Usi Uskup Anton ntea ma natua le Bael Alekotam amliat nane.” kata Pater Gregor dalam pesan singkatnya, 6 Januari 2024.
Baca juga: Uskup Penentang Eksekusi Mati Tibo Cs Telah Berpulang
Pater Gregor punya kenangan khusus tentang almarhum Monsinyur Anton Pain Ratu. Saat Pesta Perak Imamat Pater Gregor, 10 tahun lalu. Monsinyur membuat sambutan tertulis yang lumayan panjang. Menariknya, naskah itu menggunakan bahasa Dawan, bahasa yang dipakai beberapa etnis di Pulau Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sambutan tertulis Monsinyur Anton Pain Ratu SVD dibukukan Pater Gregor dalam buku yang diberi judul Mencari Kebenaran terbitan GAG Press, 2022 pada halaman 191-198.
Karya tulis Monsinyur Anton Pain Ratu untuk Pesta Perak Imamat Pater Gregor dibuat 10 tahun lalu dan masih relevan dengan situasi NTT saat ini. Sebuah legasi yang diwariskan ke generasi selanjutnya.
Berikut terjemahan bebas sambutan tertulis imam kelahiran 2 Januari 1929 dari sepasang petani dan penjual tembakau asal Adonara, Kabupaten Flores Timur:
Di bagian pertama sambutannya, Monsinyur Anton Pain Ratu menjelaskan tentang ajaran pokok Yesus Kristus adalah mengasihi Allah dengan aka budi (pikiran) dan hati serta mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Yesus Kristus rela memberikan nyawa-NYA untuk menebus semua orang berdosa.
Baca juga: Uskup Atambua Buka Pintu Bagi Pemrotes Larangan Hel Keta
Uskup menekankan tentang sikap saling mengasihi dan saling mengampuni satu sama lain. Menurutnya, dalam adat istiadat pun diajarkan untuk saling mengasihi satu sama lain dan saling mengampuni atau memaafkan.
Uskup mencermati situasi di masyarakat dan berusaha menjelaskannya dari sudut pandang iman. Dia mengatakan tentang anggapan masyarakat bahwa seseorang yang meninggal disebabkan kecelakaan atau ditelan buaya sebagai meninggal secara tidak wajar. Ini terjadi akibat dosa. Sehingga acara untuk yang meninggal secara tidak wajar ini dibuat berbeda dengan yang meninggal secara wajar.
Sedangkan dari keyakinan iman (Gereja), Allah maha pengasih kepada semua orang. Allah yang membuat hukum dan iman hanya satu yaitu Allah.
“Lalu, mengapa engkau menghakimi saudaramu?” kata Uskup Anton Pain Ratu dalam sambutannya.
Uskup Anton Pain Ratu kemudian membahas tentang adat Lasi Bata atau Hel Keta-Hel Bata. Lasi Bata terjadi ketika ada dua suku berseteru dipicu oleh perampasan perempuan, mengambil pusaka dari dalam rumat adat atau tanah/kebun. Dalam Lasi Bata tidak ada jalan damai. Bahkan mereka yang bertengkar tidak saling bertemu dan bertegur sapa selama bertahun-tahun.
Selain dikenang sebagai penentang hukuman mati terhadap Tibo cs, Uskup juga menyoroti tentang penggunaan guna-guna (suanggi) untuk membunuh orang. Nah, yang dituduh menggunakan suanggi dibawa orang-orang untuk dihakimi dengan menenggelamkannya di tengah laut .
Baca juga: Menata Nilai Hel Keta: Antara Budaya dan Agama
Tragisnya, pelaku yang menenggelamkan orang yang dituduh memiliki suanggi pergi ke gereja mengikuti misa dan Ekaristi (Menyambut Tubuh Yesus Kristus). Padahal Yesus Kristus mengajarkan kepada semua pengikut NYA bahwa sebelum datang ke Gereja mempersembahkan diri sebagai kurban di altar Tuhan, maka dia harus lebih dulu berdamai dengan saudara atau sesamanya. Setelah berdamai, barulah dia layak mengikuti misa dan Ekaristi.
“Kita harus berani menjadi saksi Yesus Kristus, mengasihi Allah melebihi segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti diri sendiri,” tegas Monsinyur Anton Pain Ratu menutup sambutannya.
Selamat jalan Monsinyur Anton Pain Ratu SVD menuju rumah Penciptamu….