Kupang – Upaya Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) untuk menggandeng pemerintah daerah di bidang penempatan dan perlindungan pekerja migran membuahkan hasil. Setidaknya 11 pemerintah kabupaten dari 22 kabupaten dan kota di NTT telah menandatangani nota kesepahaman dalam hal pelatihan, penempatan dan perlindungan PMI.
Sebelas kabupaten yang telah meneken MoU dengan BP3MI adalah Lembata, Flores Timur, Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU). Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.
“Di MoU mengatur mengenai kebijakan daerah termasuk di dalamnya pelatihan,” kata Siwa, Kepala BP3MI pada Jumat, 3 Februari 2023.
Baca juga: Tahun 2023 Sebulan Berjalan, Sudah 8 Jenazah PMI Dipulangkan ke NTT
Siwa melanjutkan, Pemkab TTS bahkan sudah menyediakan anggaran untuk pelatihan calon PMI. Data BP3MI menyebutkan TTS menyumbang jumlah PMI nonprosedural yang cukup besar. Pekan lalu misalnya, seorang warga TTS, Elisabet Ninef dipulangkan dari Malaysia ke rumahnya di Desa Boking, Kecamatan Boking. Perempuan usia 43 tahun ini sebagai korban perdagangan orang.
Begitupun, 11 kabupaten dan kota di NTT, ujar Siwa, belum merespons ajakan BP3MI untuk bekerjasama melalui penandatangan MoU.
“Kebanyakan daerah yang belum meresposn karena mereka berpikir soal biaya pelatihan,” ujar Siwa menjelaskan alasannya.
Menurut dia, jika masalah anggaran yang dipersoalkan, hal itu dapat dicari jalan keluarnya. Pemkab, misalnya memprioritaskan pelatihan untuk calon PMI yang akan bekerja di sektor formal ke luar negeri. Calon PMI dapat dilatih untuk mengikuti kursus bahasa untuk negara tujuan calon PMI.
“Jadi, kita komitmen dulu, kita sama-sama dapat mandat, kami juga tahu kemampuan keuangan daerah,” ucap Siwa.
Berdasarkan data BP3MI NTT, saat ini PMI NTT bekerja di delapan negara. Yaitu Malaysia, Hong Kong, Singapura, Jerman, Maldives, Qatar, Jepang, dan Papua Nugini.
Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia, Gabriel Goa mendukung langkah BP3MI untuk menggandeng pemerintah kabupaten. Ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.
Dua syarat yang diwajibkan undang-undang itu untuk ada di daerah guna meningkatkan kompetensi dan perlindungan bagi PMI. Pertama, tersedianya balai latihan kerja (BLK PMI) dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
Baca juga: Kisah Elisabet Ninef Lepas dari Jeratan Jejaring Perdagangan Orang NTT ke Malaysia
Di BLK, calon PMI mendapat pelatihan dari instruktur-instruktur bersertifikat sesuai job order. Sedangkan LTSA meliputi penyediaan dokumen yang diperlukan calon PMI seperti KTP atau data kependudukan yang disediakan Dinas Dukcapil, data kesehatan oleh Dinas Kesehatan, asuransi ketenagakerjaan oleh BPJS. Kemudian Imigrasi untuk pengurusan paspor dan visa, dokumen tentang perusahaan yang memperkerjakan PMI, dan perbankan.
“Job order di negara tujuan juga harus jelas, begitu juga untuk di dalam negeri. Perusahaan yang memberikan pekerjaan juga harus terdaftar resmi di Dinas tenaga kerja,” ujar Gabriel kepada KatongNTT.com, Senin, 6 Februari 2023.
Namun, sepengetahuan Gabriel, BLK PMI di NTT hanya ada di Kota Kupang. BLK ini milik pemerintah provinsi dan lainnya milik swasta dan berada di Kota Kupang.
Jalan panjang Mariance Kabu, korban TPPO Menggapai Keadilan (tangkapan layar YouTube KatongNTT)
Di Sumba Barat Daya, ada BLK dan LTSA di Tambaloka. Namun keduanya belum berjalan efektif. Padahal lahan dan bangunan yang disediakan lumayan besar. Sedangkan instrukturnya belum bersertifikasi nasional.
Di Pulau Flores, ada LTSA di Maumere, Ibukota Sikka. Namun tidak berjalan efektif.
Menurut Gabriel, Pemerintah Pusat sudah membangun gedung LTSA di NTT. Yakni di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Sumba Barat Daya, dan Sikka. Namun, faktanya jumlah PMI nonprosedural jauh lebih banyak dibandingkan yang prosedural.
Baca juga: Lapor Penuding ke Polisi, Romo Paschal: Saya Duga Terkait Mafia Pengirim PMI
Gabriel juga mengkritik Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah yang lebih banyak mendorong pembangunan BLK komunitas di NTT daripada BLK pemerintah khusus untuk PMI. Padahal BLK komunitas ini tidak terdaftar dan tidak memenuhi syarat UU Perlindungan PMI.
“BLI PMI tidak dibangun, BLK komunitas dibangun. Harusnya yang dibangun BLK PMI di Tambolaka, di Flores, Lembata yang dulu mereka migrasi secara kultural, dan sekarang tidak diizinkan lagi,” ujar Gabriel.
Dia menegaskan, pembangunan BLK PMI dan LTSA merupakan kewajiban pemerintah dan negara.
“ Jangan disalahkan ke PMI nonprosedural,” tegasnya.
Sehingga pertanyaannya, Gabriel melanjutkan, dengan 11 Pemkab meneken MoU dengan BP3MI, berarti perlu BLK dan LTSA agar jumlah PMI nonprosedural dapat diminimalkan.
“Jika tidak dibangun, PMI mau dilatih di mana? “ujarnya seraya mengingatkan agar MoU ini tidak mubazir. (Rita Hasugian)