Oleh Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia
Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke 42 ASEAN di Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 10-11 Mei 2023, Indonesia telah menekankan tiga kesimpulan penting. Yang utama di antaranya adalah soal perlindungan pekerja migran dan korban perdagangan orang (human trafficking atau trafficking in person).
Sebagai Ketua Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), saya menegaskan, perdagangan orang adalah kejahatan luar biasa. Oleh karena itu perlu penanganan dan tindakan pencegahan yang serius dan kolaborasi semua pihak.
Baca juga: Paham ‘Tuan dan Budak’ Negara ASEAN Soal Pekerja Migran
Tetapi pemerintah harus mulai berbenah juga dari dalam misalnya tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO agar tidak sekedar berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah. Gugus tugas ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 22/2021.
Koordinasi tersebut harus sungguh-sungguh melibatkan banyak pihak di luar 24 kementerian dan lembaga. Masing -masing tugasnya apa? Data-data mereka apakah saling dikoordinasikan? Adakah gugus tugas di daerah di 32 Provinsi itu benar-benar diayomi? Apakah mereka berjuang sendiri-sendiri dengan anggaran dan masalah masing -masing?
Belum lagi lembaga -lembaga internasional dan donor atas nama pembangunan, kerja-kerja mereka nggak jelas! Contoh, Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (AICHR atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights ) mandul. Tidak jelas kerja lembaga ini .
Mereka bergaya bak diplomat dan meniru gaya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komisioner mengadakan serial konsultasi tetapi tidak berdampak ke regional, apalagi ke tingkat nasional.
Ini membuang waktu saja bicara tentang hak asasi manusia. Komisioner AICHR tidak bisa mandiri. Sementara Presiden Jokowi berharap banyak dari ASEAN setelah kembali ke negara -negara masing-masing dari Labuan Bajo, NTT kampung saya.
Baca juga: Mayoritas Negara ASEAN Belum Punya Aturan Spesifik Soal Pekerja Migran
Lembaga-lembaga internasional yang mengatasnamakan pemberantasan perdagangan orang dan negara -negara yang mengklaim peduli dengan isu ini kebijakannya tidak berkelanjutan. Pendekatan mereka selalu proyek, penuh dengan pengulangan kegiatan, repetisi program , menghabiskan dana tanpa jelas outputnya.
Mungkin suatu saat kita tidak membutuhkan lagi lembaga -lembaga berlabel internasional kalau kita kuat di internal sendiri dalam memberantas perdagangan orang. Masyarakat sipil atau LSM lokal mampu melakukan kegiatan pencegahan perdagangan orang dengan dibantu oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
Untuk memperkuat kerja di tingkat nasional dan lokal, perlu ke depan ada lembaga atau badan khusus yang diberi nama Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Badan ini nantinya memiliki visi misi, program kerja serta anggaran khusus.
Dana-dana yg dipergunakan lebih tepat sasaran untuk pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat pedesaan, terutama perempuan untuk membangun desa mereka. Atau warga dengan mengikuti aturan bekerja sebagai pekerja migran. Mereka diorganisir Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Balai Pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Hal ini saya diskusikan dengan Aliansi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking & Drug Trafficking, Direktur Women Working Group, Nukila Evanty dan Presiden AWR Foundation, Ayuningtyas Widari. Kami sepakat tentang perlunya masyarakat sipil mandiri dan bersinergi.
Saya pun meminta Pemerintah Pusat untuk tidak menganggap masyarakat sipil sebagai lawan, dianggap menyerang, bahkan meminta dana. Masyarakat sipil adalah mitra pemerintah membantu masyarakat, korban atau penyintas TPPO serta keluarga mereka . Sehingga mereka mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. *****