
Mayoritas Negara ASEAN Belum Punya Aturan Spesifik Soal Pekerja Migran
Kupang – Mayoritas negara-negara ASEAN belum memiliki aturan yang benar-benar spesifik soal perlindungan penerima pekerja migran.
Sylvia Yazid, Akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan menyatakan negara-negara dimaksud adalah negera penerima pekerja migran.
Sylvia menyampaikan ini dalam Bincang Inklusi yang diselenggarakan oleh Migrant Care dan Program INKLUSI yang didukung oleh Pemerintah Australia, Rabu 17 Mei 2023.
Baca juga : Aliansi NTT Kritisi ASEAN Summit Soal Human Trafficking
Diskusi ini berlangsung secara online dengan bertemakan Dimensi Ekonomi, Keamanan Politik, dan Sosial Budaya Pekerja Migran di ASEAN.
Sylvia yang berlatar-belakang keilmuan politik dan jurusan hubungan internasional ini pernah melakukan penelitian mengenai manajemen migrasi di kawasan ASEAN. Pendataan ini berdasarkan aturan migrasi pekerja di semua negara ASEAN.
Memang semua negara memiliki aturan soal pekerja migran. Namun ia menegaskan tidak semua negara di ASEAN ini spesifik memberikan aturan pekerja migran hingga dengan perlindungan dan hak pekerja migran.
Baca juga: Pekerja Migran Indonesia Capai 1 Juta Orang, Terbanyak di Malaysia
“Semua negara ASEAN sudah memiliki aturan yang berpotensi untuk digunakan dalam mengatur pekerja migran di negaranya. Ada aturan yang spesifik mengatur dan ada yang perlu dikorek lebih dalam,” jelasnya.
Negara dengan aturan spesifik hanya beberapa saja, kata dia, yaitu negara pengirim seperti Indonesia dan Filipina.
Ia mengungkapkan yang sebenarnya dibutuhkan adalah pengaturan migrasi yang mencakup seluruh kepemerintahan dan kemasyarakatan.
“Tapi hampir semua negara di ASEAN terkotak-kotak inisiatifnya. Yang terlibat banyak tapi koordinasinya yang selalu sulit,” kata dia.
Baca juga : Remitansi PMI NTT via Kantor Pos Capai Rp 107 Miliar Tahun 2022
Walaupun memiliki aturan mengenai pekerja migran tetapi dalam implementasinya pun sistem kerja pekerja migran tidak sesuai dengan kontrak kerja.
Sayangnya juga banyak pekerja migran yang pula tidak memahami kalau perjanjian kerja atau dokumen kontrak ini akan menjadi acuan hukum.
“Jangan dianggap sebagai salah satu syarat dan setelah sudah, hanya sebatas kontrak saja,” tukasnya.
Ia juga menyinggung Indonesia yang menjadi Ketua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Summit 42 untuk mendorong masalah pekerja migran pun perlu ditilik lagi.
Baca juga : Fantastis, Jumlah Remitansi Pekerja Migran NTT Lebih dari Rp 1 Triliun!
Sebagai aktor hubungan internasional maka Indonesia perlu ditilik kemampuan dan wewenangnya dalam legitimasi. ASEAN sendiri adalah organisasi regional yang mana ada wewenang sekaligus batasan di dalamnya.
Selama Indonesia menjadi ketua hal yang dimanfaatkan adalah kepentingan bersama. Negara-negara anggota ASEAN perlu bersepakat bukan saja soal penanganan masalah namun perlu langkah maju daripada itu.
Sylvia menyampaikan kebanyakan PMI memilih ke Singapura atau Malaysia misalnya karena jarak yang dekat maupun bahasa yang bisa mudah dipahami.
“Sayangnya di beberapa kasus asumsi ini menjadi bumerang,” sebut Sylvia.
Baca juga : Remitansi PMI NTT via Kantor Pos Capai Rp 107 Miliar Tahun 2022
Asumsi bahwa bahasa Malaysia yang mirip dengan Indonesia pun bisa menjadi sumber masalah. Pengertian bahasa yang berbeda akan dapat menimbulkan miskomunikasi hubungan pekerja dan pemberi kerja.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menyampaikan hal yang sama dalam kesempatan tersebut.
Dalam hukum perburuhan di negara penerima pun para pekerja migran di sektor informal ini belum dianggap pekerja formal.
Baca juga : Kemenaker Akan Bina Keluarga Pekerja Migran Kelola Remitansi
Konstruksi masyarakat patriarkis di negara penerima menganggap pekerja rumah tangga bisa diperlakukan semena-mena.
“Selama ini tidak terjadi hal ini. Bila deklarasi dikaitkan dengan realitas maka yang terjadi bahwa di negara-negara tujuan pekerja migran juga belum dianggap sebagai pekerja, apalagi di sektor domestik atau informal,” jelasnya.
Tidak heran, kata Wahyu, bila pekerja migran kita di kawasan ASEAN seringkali mengalami kasus kekerasan dan kerentanan ini terus terjadi. *****