Kupang – Sekian kali pertemuan negara-negara ASEAN sudah dilakukan namun tidak menghasilkan implementasi hukum dan perlindungan konkret bagi pekerja migran.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, menyampaikan sudah banyak kesepakatan yang dihasilkan dari sekian pertemuan ASEAN sejak 1967.
11 negara yang kini telah tergabung dalam ASEAN tetap terbelah menjadi dua. Pertama sebagai negara pengirim. Kedua berperan negara penerima pekerja migran.
“Sehingga bisa dilihat sejak awal bahwa kepentingan antar negara ini kemudian menjadi berbeda,” tukasnya dalam Bincang Inklusi secara online, Rabu 17 Mei 2023.
Baca juga : Mayoritas Negara ASEAN Belum Punya Aturan Spesifik Soal Pekerja Migran
Indonesia, Filipina, Kamboja, Vietnam dan Laos dari dulu hingga sekarang berperan sebagai negara pengirim. Demikian maka konteksnya beberapa negara penyedia pekerja ini berpikir pada kapasitas ketenagakerjaan dan perlindungan.
Saat ini memang Laos, Kamboja dan Myanmar juga menjadi negara tujuan walaupun itu lebih kepada kejahatan kemanusiaan atau perdagangan manusia.
Kondisi ini berbeda dengan negara penerima. Negara penerima memandang ini sebagai persoalan keimigrasian dan keamanan nasional semata. Pekerja migran seperti tidak dianggap punya pengaruh dalam urusan ekonomi.
Baca juga : Pekerja Migran Indonesia Capai 1 Juta Orang, Terbanyak di Malaysia
Menurutnya, ASEAN belum melihat posisi pekerja migran lebih luas atau dalam 3 pilar yaitu sosial dan budaya, pilar ekonomi, lalu pilar politik dan keamanan.
Selama ini pekerja migran hanya dianggap dalam pilar sosial budaya dan malah dilupakan sebagai pilar ekonomi terutama oleh negara penerima seperti Malaysia.
“Karena pertumbuhan ekonomi di negara ASEAN juga ditunjang oleh pekerja migran sebenarnya baik itu di negara tujuan dan negara penerima,” tukasnya.
Baca juga : Fantastis, Jumlah Remitansi Pekerja Migran NTT Lebih dari Rp 1 Triliun!
Dalam pilar politik dan keamanan pun dilupakan namun sebenarnya di negara kawasan ini para pekerja migran perlu mendapatkan perlindungan.
Keamanan pekerja migran pun terancam tidak diperhatikan pada negara dengan wilayah penegakan hukum yang lemah.
“Ini yang akan menyuburkan praktek perdagangan orang. Myanmar sekarang misalnya. Ada ratusan pekerja migran kita yang terjebak dalam kondisi itu,” sebutnya.
Baca juga : Tahun 2023 Sebulan Berjalan, Sudah 8 Jenazah PMI Dipulangkan ke NTT
Dalam hukum perburuhan di negara penerima pun para pekerja migran di sektor informal ini belum dianggap pekerja formal.
Masalah bertambah tatkala konstruksi masyarakat patriarkis di negara penerima yang masih menganggap pekerja rumah tangga bisa diperlakukan semena-mena. Kuasa majikan atas budaknya pun seolah-olah berlaku.
“Selama ini tidak terjadi hal ini. Bila deklarasi dikaitkan dengan realitas maka yang terjadi di negara-negara tujuan pekerja migran juga belum dianggap sebagai pekerja, apalagi di sektor domestik atau informal,” jelasnya.
Tidak heran, lanjut Wahyu, bila Pekerja Migran Indonesia (PMI) di kawasan ASEAN seringkali mengalami kasus kekerasan. Kerentanan ini yang terus terjadi.
Baca juga : Remitansi PMI NTT via Kantor Pos Capai Rp 107 Miliar Tahun 2022
ASEAN sendiri sudah mempunyai banyak deklarasi dan instrumen terkait pekerja migran sejak 16 tahun lalu. Ada deklarasi di tahun 2016 dan di 2017 dalam konsensus. Kemudian selama ini ada pertemuan rutin ASEAN yang membahas pekerja migran dengan 250 rekomendasi, ditambah 3 deklarasi baru dari pertemuan akhir di Labuan Bajo.
“Kita sudah punya banyak instrumen tetapi terpulang lagi pada posisi negara yang hampir semua dokumennya itu non legally binding,” jelas dia.
Hal ini yang kemudian perlu menjadi peraturan dalam negara sehingga ini menjadi landasan antara negara pengirim dan penerima. *****