Kupang –Bank Dunia menyatakan usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM menjadi tulang punggung ekonomi dunia. UMKM menyumbang 90 persen bisnis, menciptakan 60%-70% lapangan kerja.
UMKM juga menghasilkan sekitar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di seluruh dunia.
Bank Dunia merilis pernyataan tentang peran penting UMKM untuk memperingati Hari UMKM internasional setiap tanggal 27 Juni.
Baca Juga: Minim Serapan Produk UMKM, Kadin NTT Panggil Indomaret dan Alfamart
Perayaan ini dibuat untuk mengingatkan pentingnya keberadaan UMKM dalam menegakkan ekonomi suatu negara.
Data terakhir dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) per Maret 2021, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta. Jadi yang terbanyak dari 332 juta jumlah UMKM di dunia.
UMKM pun berkontribusi sebagai motor penggerak ekonomi daerah guna menjalankan kegiatan usaha produktif. Dengan demikian dapat menyerap tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Data terakhir dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) per Maret 2021, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta. Jadi yang terbanyak dari 332 juta jumlah UMKM di dunia. Kontribusinya terhadap PDB Indonesia sebesar 61,07 persen atau senilai Rp 8.573,89 triliun.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah 78.397 UMK yang terdata di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Secara sederhana, UMKM di NTT hadir sebagai penonggak ekonomi keluarga, tempat menyalurkan hobi, pun jadi ruang untuk lebih memberdayakan diri dan potensi alam yang ada.
Baca Juga: Kemenkeu Dorong UMKM, Perbankan di NTT Masih Prioritas Kredit Konsumtif
Yustin Sadji, pemilik UMKM Mindari di Noelbaki adalah eks pengungsi Timor Timur (Tiimtim). Datang dengan hanya membawa badan tanpa harta benda, serta diacuhkan pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun, membuat Yustin putar otak agar memiliki kehidupan yang layak. Maka dibangunnyalah UMKM Mindari.
“Akhirnya mengambil keputusan secara mandiri untuk bergeser dari kamp dan membangun rumah sendiri secara mandiri, dan situasi-situasi traumatik itu terkadang juga membekas. Merasakan sebagai pengungsi, tidak punya apa-apa itu dilalui. Dan kita menyakinkan diri saja untuk melakukan perubahan, dan saya lakukan itu,” jelas perempuan 49 tahun itu.
Jatuh bangun ia kembangkan UMKMnya itu. Kini, Yustin tidak lagi sekadar mengembangkan usahanya, namun juga mulai berbagi pengalaman bagi pelaku usaha lainnya di NTT. Juga memberi akses bagi perempuan-perempuan di sekitarnya untuk bisa menitipkan olahan-olahan mereka di kediamannya untuk kemudian dipasarkan.
Selain itu, ada Yasinta Linome, perempuan 70 tahun asal Ayotupas, NTT yang masih aktif menenun tenunan Buna hingga kini. Sejak ditinggal suaminya pada 1996, Yasinta akhirnya harus banting tulang sendiri menyekolahkan tujuh orang anaknya.
Maka dengan tenunan ini, ia keliling di berbagai toko di Kota Kupang untuk menawarkan produknya itu. Sampai sekarang, anak perempuannya Katarina Beukliu mengikuti jejak sang ibu. Tenunan Buna dari Ayotupas ini dijual dengan harga minimal Rp200 ribu hingga yang termahal mencapai Rp 6 juta per lembar kain.
Kisah lainnya datang dari Babau, kabupaten Kupang, NTT. Nikson Tenistuan, pebisnis teh dan tepung kelor ini memilih kembangkan usaha ini karena minimnya pengetahuan masyarakat di desanya akan khasiat kelor. Sehingga kebanyakan pohon kelor ditebang secara percuma.
Ia kemudian tergerak untuk memberdayakan kelor di NTT ini yang disebut-sebut sebagai kelor terbaik kedua didunia.
Kebun seluas empat hektar ia pakai untuk menanam kelor dan mempekerjakan masyarakat desanya.
Sayangnya, pasar masih jadi satu tantangan berat Nikson dan sebagian besar pelaku UMKM NTT lainnya.
Minimnya pengetahuan dan akses untuk menjangkau pasar luar jadi hambatan UMKM.
“Kita berdarah-darah. Istilahnya kita diuji dengan situasi yang sulit. Misalnya mau jual di mana? Mau cari informasi kemasan yang bagus di mana? Mau cari orang untuk mentoring kita itu di mana? Bagaimana mengubah keripik pisang saya agar lebih disukai banyak orang?,” tutur Yustin.
Baca Juga: Lima Masalah Utama Dihadapi UMKM NTT
Ketiadaan rumah kemasan di NTT pun membuat para UMKM harus memesan dari luar NTT agar punya kemasan yang lebih menarik minat pembeli.
Yuni, pemilik Toko Oleh-oleh Ibu Soekiran di Oebufu, Kupang yang sejak 1970-an ibunya sudah mulai membuka usaha tempe di Kupang. Berlanjut membuat dendeng dan abon sapi sampai akhirnya memilih membuka toko oleh-oleh. Ia menerima banyak produk UMKM untuk ditempatkan di tokonya.
Menurut Yuni, kemasan memang menjadi salah satu daya tarik seseorang membeli sebuah produk. Namun, kualitas, rasa, dan ciri khas dari satu produk tetap jadi nilai utama seseorang memutuskan untuk membeli.
Kebanyakan yang membeli di tokonya adalah pendatang yang akan kembali ke daerah asalnya. Atau orang NTT yang ingin mengirim/membawa oleh-oleh.
“Awalnya abon dendeng kami kemasannya belum ada. Tapi tetap dibeli. Karena rasanya itu yang tidak berubah. Makanya saya tekankan ke UMKM yang datang bawa produknya untuk utamakan kualitasnya,” Kata Yuni di tempat jualannya.
Namun begitu, tak bisa hanya mementingkan rasa. Kemasan dan beberapa elemen lainnya tetap harus diperhatikan pelaku UMKM untuk dapat menembus pasar internasional.
Walau UMKM di Indonesia kian menjamur, namun nilai ekspor Indonesia masih relatif rendah. Kontribusi ekspor Indonesia di awal tahun 2022 sebanyak 15 hingga 16 persen.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan ada lima penyebab UMKM Indonesia sulit melakukan ekspor seperti yang dikutip di CNBC.
Pertama masalah legalitas. Pelaku UMKM masih minim pemahamannya pada legalitas, nomor pokok wajib pajak (NPWP), pentingnya nomor induk berusaha, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), maupun izin prosedur ekspor-impor.
Hambatan kedua ialah akses pembiayaan. Ia menyatakan, banyak UMKM nasional yang masih sulit mengakses pembiayaan kepada lembaga keuangan maupun perbankan nasional. Modal dan agunan yang masih rendah, juga tingginya suku bunga jadi penyebab UMKM sulit berkembang.
Berikutnya adalah pendampingan. Kata Sri Mulyani, pendampingan terhadap UMKM sangat penting untuk meningkatkan tata kelola perusahaan dan meningkatkan daya saing produk.
Baca Juga: Tiga Tips Pasarkan Produk UMKM NTT Lewat Media Digital
Lalu masalah produksi. Katanya, “Pada area produksi, minimnya standar produk sesuai standar global menjadi penghalang bagi UMKM untuk bisa menembus pasar global. Terjadi inkonsistensi dan tidak kontinuitas dari produksi dan kualitas dari produknya,”.
Masalah kelima ialah terkait pemasaran. Menurutnya, informasi UMKM terhadap peluang pasar yang terbatas jadi penyebab produknya sulit menembus pasar global.
Selain itu, minimnya infrastruktur logistik juga membuat daya saing produk UMKM nasional rendah.UMKM dinilainya tak konsisten dalam memperbaharui produk yang dijual di market place.
Ini jadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan UMKM agar tak hanya terus menjamur muncul namun hadir pula dengan kualitas yang memumpuni sehingga bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. *****