Kupang – Masyarakat adat Pubabu – Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali mengalami penggusuran. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) pada Kamis (20/10/2022) menggusur rumah yang ditempati warga.
Pemprov NTT membangun 12 rumah unit rumah tingal sederhana pada Agustus 2020. Selain itu, terdapat 2 rumah lain yang direlokasi ke lokasi tersebut saat konflik yang berkepanjangan pada 2020 lalu. Rumah-rumah yang dibangun oleh Pemrpov itu yang kemudian dirubuhkan kembali.
Dalam surat yang dikeluarkan oleh Plt. Sekda NTT, Johana Lisapaly, Pemprov berdalih penggusuran itu dilakukan karena ada upaya penghadangan paket pekerjaan yang dibiayai APBD NTT. Pernyataan itu berdasarkan pada laporan Dinas Peternakan Provinsi NTT, Dinas PUPR NTTserta pihak kontraktor.
“Tindakan saudara-saudara dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan menghambat pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tulis Johana dalam poin ke-5 surat tertanggal 14 Oktober 2022.
Surat yang dikirimkan kepada Apolos Selan itu perihal pengosongan rumah dan tanah milik Pemprov NTT. Warga diberi tenggat waktu 3 x 24 jam.
Sebelum terjadi penggusuran, Besipae kembali bergejolak setelah ada pembangunan jalan, paddock dan pembangunan pagar di kawasan Besipae. Pembangunan tersebut memicu aksi protes dan penolakan dari warga Besipae.
Nikodemus Manao, salah satu warga Besipae dalam video yang beredar sebelum penggusuran mengatakan, penolakan warga dilakukan karena masalah di Besipae belum diselesaikan. Niko juga mengacu pada rekomendasi dari Komnas HAM yang meminta agar Pemprov NTT menahan diri untuk tidak melakukan pembanguan sampai ada penyelesaian.
“Dari Komnas HAM juga mengatakan bahwa masyarakat untuk sementara tinggal di rumah-rumah yang dibangun oleh Pemprov,” ujar Niko.
Dalam surat yang dikirim, Johana menyebut masyarakat menempati rumah yang dibangun oleh Pemprov tanpa izin. Ditambah dengan penolakan warga terhadap pembangunan, maka Pemprov mengambil keputusan untuk menertibkan aset milik daerah.
“telah secara ilegal atau tanpa izin dari Pemerinta Provinsi NTT menghuni 14 unit ruma tinggal, membangun rumah baru dan menggarap sebagian tanah di sekitar rumah tinggal dengan menanam jagung dan tanam lainnya,” tulis Johana dikutip dari poin 4 surat tersebut.
Warga Besipae sempat kehujanan setelah penggusuran. Daud Selan, warga Besipae lainnya Kepada KatongNTT mengatakan warga tetap bermalam di lokasi penggusuran.
“(Kami) tidur di bawah pohon,” kata Daud, Kamis malam sekitar puku 11 malam waktu setempat.
Konflik antara masyarakat adat Pubabu-Besipae dan Pemprov NTT ini sudah lama terjadi. Konflik ini berawal dari pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi peternkan. Proyek ini merupakan kerjasama antara Pemprov NTT dengan Pemerintah Australia pada 1982.
Konflik ini sudah ditangani oleh Komnas HAM sejak 2009. Mengutip laman resmi Komnas HAM, pada 2012 Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi kepada Pemprov NTT. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Haspara berkunjung ke Besipae pada 28 – 3 0 Agustus 2020.
Kunjungan tersebut untuk melakukan pemantauan setelah Komnas HAM menerim pengaduan pada 7 Agustus 2020. Sebelum berkunjung, Komnas HAM melakukan konferensi pers pada 13 Agustus 2020. Komnas HAM menyerukan penghentian tindakan represif dari Negara terhadap perempuan dan anak yang mempertahankan kehidupannya.
Dalam konferensi pers tersebut, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Haspara mengatakan, Pemprov NTT tidak mengindahkan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM pada 2012.*****
Baca juga: Penangkapan Aktivis di Labuan Bajo, Bukti Pemerintah Bungkam Aspirasi Warga