Maumere – Satu pagi pada Januari lalu, Mama Ketrin (bukan nama sebenarnya) menyeduh kopi sambil melipat pakaian. Perempuan paruh baya ini mendengar suara dari kamar anak gadisnya memanggil dirinya .
“Ma, saya hamil…”
Mama Ketrin limbung mendengarkan ucapan anaknya. Anak perempuannya dengan mengenakan seragam SMA berdiri di hadapannya menatap bingung dan ketakutan.
Sejak itu putrinya menjadi pendiam, murung, bahkan beberapa kali mencoba menyakiti diri sendiri.
“Dia takut ke sekolah, takut dihina. Dia menangis setiap malam. Saya tidak tahu harus apa,” kata Mama Ketrin kepada KatongNTT di rumahnya di Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Sikka.
Baca juga: 218 Pekerja Seks Anak di Lembata Punya Grup Online Sampai Dijual Pacar Sendiri
Keluarga Mama Ketrin pun terkena imbas. Warung kecil miliknya jadi sepi pembeli. Tetangga bergosip memberi label pada dirinya sebagai “orangtua gagal mendidik anak”.
“Saya sempat berhenti jualan. Rasanya malu, tapi lebih sakit lihat anak saya kehilangan masa depannya,” ujarnya mengenang peristiwa pahit itu.
Anaknya bersama bayinya kini tinggal di luar kota. Mama Ketrin tetap menjalin komunikasi dengan putrinya itu untuk memberikan dukungan.
“Saya tidak bisa ubah masa lalu, tapi saya bisa bantu anak lain agar tidak alami hal yang sama,” kata Mama Ketrin.
Kisah anak perempuan Mama Ketrin hamil merupakan satu dari lebih seratus kasus kehamilan remaja di Sikka. Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka mencatat sebanyak 173 kasus kehamilan pada remaja di bawah usia 20 tahun pada tahun 2025. Jumlah terbanyak tercatat di wilayah Puskesmas Kopeta, Kecamatan Alok yakni 19 kasus.
Setahun lalu, sebanyak 385 kasus kehamilan pada usia di bawah 20 tahun atau dua kali lebih banyak dibandingkan data 2025. Jumlah terbanyak ditemukan di wilayah Puskesmas Wolomarang yakni 41 kasus kehamilan. Sedangkan di wilayah Puskesmas Kopeta ada sebanyak 22 kasus kehamilan di bawah usia 20 tahun.
Baca juga: Jumlah Anak Usia Dini Hidup Miskin di NTT, Tertinggi Kedua di Indonesia
Kolaborasi untuk Edukasi Seksual yang Lebih Inklusif
Plt Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Petrus Herlemus, menjelaskan bahwa faktor utama penyebab kehamilan remaja adalah pergaulan bebas dan kemajuan teknologi. Kedua hal ini diperparah dengan minimnya pengawasan dari orang tua terhadap anak-anak mereka.
“Dari data di atas, faktor pemicu yang sering kami temui adalah pergaulan bebas dan juga kemajuan teknologi tanpa ada pengawasan orang tua,” jelas Petrus, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Sikka, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, 3 Juli 2025.

Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Sikka telah melakukan berbagai upaya dalam mendampingi remaja, khususnya remaja putri. Dinas Kesehatan secara rutin memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi. Sosialisasi ini dilakukan dengan menggandeng sekolah-sekolah, tokoh masyarakat, dan tokoh pendidikan.
“Kami sudah melakukan secara optimal, dengan menjalin kerja sama lintas sektor dalam mensosialisasikan kesehatan remaja,” ujar Petrus.
Contohnya, di sekolah menengah pertama, Dinas Kesehatan aktif membagikan tablet tambah darah disertai dengan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi.
Baca juga: Guru, Teman, dan Keluarga Terbanyak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak di NTT
Meski berbagai upaya telah dilakukan, masih terdapat kendala besar, terutama dalam menjangkau siswa SMA/SMK. Menurut Petrus, regulasi kewenangan antara pemerintah kabupaten dan provinsi menjadi hambatan utama.
“Sebenarnya ada program dari dinas untuk sosialisasi kesehatan reproduksi remaja, namun kami sering mengalami penolakan dari sekolah karena dianggap mengganggu pelajaran. Sekolah juga beralasan bahwa belum ada perintah dari Dinas Pendidikan Provinsi,” ungkap Petrus..
Ironisnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Sikka, sebagian besar kasus kehamilan justru terjadi di kalangan siswa SMA.
Menanam Benih Harapan di Sekolah dan Rumah
Fransiskus Edwart Taping, guru Bimbingan Konseling (BK) di SMA Negeri 1 Maumere, menyebutkan bahwa sekolahnya telah menyediakan pelajaran khusus mengenai kesehatan reproduksi. Namun, ia menyoroti kurangnya dukungan dari orang tua siswa dalam pendidikan seksual.

“Kami bagian kesiswaan, khususnya bimbingan konseling, menyediakan pelajaran khusus terkait kesehatan reproduksi remaja. Terkait keterlibatan orangtua sangat minim. Beberapa kali kami memanggil orangtua siswa terkait kenakalan di sekolah saja sudah sulit,” ujar Edward.
Meski program edukasi terus digencarkan, hingga kini belum ada penelitian lokal yang mendalam tentang bagaimana remaja di Sikka mendapatkan informasi seksual pertama mereka—apakah dari teman, media sosial, atau orangtua.
Menurut Elisabet Bestiana dari organisasi Truk-F, pendidikan seksual sejak dini sangat penting untuk membantu anak memahami tubuhnya, menghargai perbedaan, dan mencegah pelecehan seksual. Pendidikan ini juga membangun kepercayaan antara anak dan orangtua.
Baca juga: Anak Merokok Aktif Marak di Maumere, Bisakah Kita Peduli dan Bertindak?
“Pendidikan ini membangun kepercayaan antara orangtua dan anak, serta membekali anak dengan pengetahuan tentang konsekuensi dari tindakan seksual dan perilaku yang bertanggung jawab,” papar Elisabet. JumaT, 4 Juli 2025.

Truk-F mencatat bahwa sepanjang tahun ini telah terjadi 14 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Pelaku terbanyak adalah orang terdekat korban seperti anggota keluarga dan pacar. Tiga dari 14 kasus itu berujung pada kehamilan.
Truk-F mendorong agar sosialisasi tentang pencegahan kehamilan pada remaja dilakukan secara masif tidak hanya melalui sekolah, tapi juga lewat komunitas-komunitas lokal. Upaya ini untuk menjangkau remaja-remaja di Sikka [*]