Kupang – LBH Apik NTT menyatakan guru menjadi satu dari 3 pelaku kekerasan seksual terbanyak di NTT sepanjang tahun 2024. Guru menempati posisi ketiga (18 persen) disusul teman (23 persen), dan keluarga (27 persen).
Sebagian besar (95 persen) korban kekerasan seksual yang menjadi target para pelaku adalah anak usia sekolah, yakni, SD (29 persen), SMP (28 persen), SMA (38%).
Baca juga:Ironi Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Orang Terdekat Jadi Pelaku, Berdamai Jadi Solusi
Data tersebut diperoleh berdasarkan data pengaduan kasus yang ditangani LBH Apik NTT pada tahun 2024, yakni 78 kasus. Dari total kasus ini, LBH Apik NTT menyebutkan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 18 kasus atau 22 persen.
“Kasus kekerasan seksual pada tahun 2024 lebih menyasar pada anak muda di kisaran SMA ke bawah, di mana totalnya mencapai 95 persen. Perinciannya, anak dengan tingkat pendidikan SMA mencapai 38 perssen, SMP 28 persen, dan SD 29 persen,” kata Ansy Rihi Dara, Direktur LBH Apik NTT dalam pemaparan Catatan Akhir Tahun 2024 di kantornya, Kota Kupang, Kamis, 23 Januari 2025.
Baca juga: Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Dua Ahli Ini Soroti Degradasi Nilai Kekerabatan
Berdasarkan data pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani LBH APIK NTT , menunjukkan guru sebagai pendidik moral telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Keluarga dan lingkungan pertemanan anak bukan tempat yang ramah bagi anak.
Selain kasus kekerasan seksual terhadap anak, LBH Apik NTT sepanjang 2024 menangani 60 kasus hukum lainnya yakni perceraian dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Penyebab terbesar perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga (87,5 persen). Selebihnya, adanya pihak ketiga dalam rumah tangga,

Femisida di NTT
Dalam penanganan kasus KDRT, LBH Apik NTT mendata ada 6 kasus yang termasuk femisida. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan, sehingga pelaku boleh berbuat sesuka hatinya.
Femisida bukanlah kematian sebagai umumnya, melainkan kematian sebagai produk budaya patriarkis dan misoginis. Femisida terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Berdasarkan data PBB, sebanyak 80 persen dari kasus femisida dilakukan oleh orang terdekatnya.
Berdasarkan data LBH Apik NTT, 6 kasus femisida di NTT berlokasi di Kota Kupang (3 kasus), Kabupaten Timor Tengah Utara (1 kasus), Kabupaten Malaka (1 kasus), Kabupaten Manggarai (1 kasus). Pelaku tergolong tragis dan brutal terhadap korban.
Baca juga: Femisida di NTT, Saksi Ungkap Penganiayaan Sadis Albert Solo terhadap Istrinya, Maria Mey
Berdasarkan kasus-kasus yang ditangani, LBH Apik NTT dalam rekomendasinya menyatakanya perlu ada kebijakan pemerintah daerah yang fokus pada pengurangan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.
Untuk kasus femisida, LBH Apik NTT menyerukan pemerintah, LSM, dan masyarakat perlu serius mencermati terjadinya femisida ada kaitannya dengan pola pikir patriarki. Termasuk juga konsep belis (mahar) yang mengalami distorsi makna. Akibatnya , laki-laki (suami) merasa berhak melakukan apa saja pada perempuan (istri).
Baca juga: Tersangka Bakar Istri di Kupang Dijerat KUHP, Bukan UU KDRT
Ironisnya, menurut Ansy, banyak aparat penegak hukum di NTT yang belum mengetahui tentang femisida. Sehingga kasus-kasus femisida ditangani sebagaimana kasus –kasus kriminal umum. [*]