Oleh: Tonnio Irnawan, Peserta Demo Gambir Berdarah
Ada satu peristwa yang terjadi pada 20 Juni 1996, 27 tahun silam. Kejadian ini disebut Peristiwa Gambir. Hari itu Kamis, hari kerja. Jalan – jalan utama kota penuh kendaraan. Ribuan orang kebanyakan berbusana merah dan hitam mulai meninggalkan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat.
Menjelang siang matahari pertengahan tahun lumayan terik. Tidak ada air jatuh dari langit seperti ditulis penyair Sapardi Djoko Damono : “Hujan Bulan Juni”. Yang dituju ribuan orang ini adalah Departemen Dalam Negeri di Jalan Medan Merdeka Utara, dekat Lapangan Monas dan bertetangga dengan istana Presiden Soeharto.
Mereka tak ingin bertemu dengan sang menteri yakni Yogie S. Memed karena tahu yang bersangkutan sedang berada di Kota Medan akan membuka Kongres PDI versi pemerintah. Padahal saat itu berdasarkan Kongres Surabaya Megawati Sukarnoputri telah terpilih secara sah sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993 – 1998. Rezim Soeharto yang suka mengaduk-aduk ormas dan parpol, rupanya gatal tangan. Kali ini giliran Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sebanyak 16 dari 28 anggota DPP PDI antara lain Soerjadi dan Fatimah Achmad membelot dari Megawati dan pergi ke Medan.
Baca juga: NTT Peringkat 5 Pengguna Platform Jarimu Awasi Pemilu
Di Jakarta pendukung Megawati galau dan marah. Beberapa hari sebelum Kongres Medan, mereka kumpul di Jalan Diponegoro. Siang tersebut ribuan pendukung Megawati berbaris melewati Jalan Diponegoro, masuk Jalan Iman Bonjol yang berujung di Jalan MH Thamrin. Sepanjang perjalanan massa demonstran dijaga polisi dari Bribmob.
Saya yang berada di antara massa cukup surprise karena aparat keamanan membiarkan kami turun ke jalan. Selama ini Rezim Soeharto begitu sensitif dengan aksi protes apalagi sampai ribuan orang menyasar kantor departemen. Tapi rasa surprise ini berumur pendek. Barisan mulai tersendat. Di pertigaan Gereja Imanuel dan Stasiun Kereta Api Gambir, massa dihentikan oleh ratusan tentara. Agar massa tidak melanjutkan perjalanan ditempatkan tank.
Karena hadangan ini, massa berhenti. Tentu saja bingung karena sebagian tak punya pengalaman turun ke jalan. Melihat hal ini, Sophan Sophiaan dan Mangara Siahaan naik ke atas kap mobil. Wajah kedua bintang film ini kelihatan tegang menahan amarah .
Sophan Sophiaan (kiri) dan Mangatas Siahaan berdiri di atas kap mobil
setelah tentara menghadang dalam Peristiwa Gambir Berdarah
20 Juni 1996. (Dok. Tonnio Irnawan)
Situasi tiba – tiba menjadi khaos karena tentara mulai memaksa membubarkan massa dengan kekerasan. Rezim lebih mengandalkan bahasa kekuatan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Sangat jarang dipakai pendekatan dialog.
Ribuan orang kocar kacir berlarian. Sebagian mulai merusak mobil meski tidak parah. Darah mulai tumpah dan korban berjatuhan.
Sebagian besar massa entah kemana. Yang penting menyelamatkan diri masing – masing. Sebagian lagi “pulang” ke Jalan Diponegoro. Setelah situasi agak reda tersiar kabar jatuh korban di antaranya karena dilindas tank. Memang ada yang terluka, namun info bahwa ada yang dilindas tank, sekadar isu atau istilah zaman kini : hoaks.
Baca juga: Cara Anak Muda NTT Memaknai Pancasila dan Ajakan Jokowi
Nun jauh di sana, di Kota Medan, Yogie SM membuka kongres PDI tanpa dihadiri Megawati. Kebijakan Menteri Yogie S.Memed sering dianggap keliru makanya ia diplesetkan sebagai Yogie Salah Melulu. Bahkan seorang pengunjuk rasa membawa poster yang tulisannya : Yogie Setan Manipulasi.Kongres Medan memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum didampingi Sekjen Buttu Hutapea.
Pangdam V Jaya – Mayjen Sutiyoso dengan pertimbangan agar massa PDI Mega tak lagi turun ke jalan, membolehkan pendukung Megawati berkumpul di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Bahkan Bang Yos mengizinkan jalan raya di depan kantor DPP ditutup untuk lalu lintas karena dipenuhi orang. Di halaman inilah setiap siang sampai maghrib ribuan orang berkumpul mendukung Megawati dan memprotes pemerintah. Karena ada panggung dan mimbar untuk berpidato, aksi ini disebut Mimbar Bebas. Saya menyaksikan anggota DPP seperti Haryanto Taslam, Roy BB Janis, dr.Sukowaluyo, Djohn Sara, Alex Litaay, Mangara Siahaan, Noviantika Nasution, Suparlan dan lain rajin mempersiapkan peralatan untuk Mimbar Bebas. Sore hari beberapa saat sebelum.adzan Maghrib berkumandang, semua orang dipersilakan keluar. Kantor dan halamannya dikosongkan lalu pintu pagar dikunci untuk dibuka esok hari.
Saya melihat hampir setiap hari Paulus Widyanto selalu mengamati situasi dari seberang kantor DPP. Sesekali ia membuat catatan di buku kecil. Sebagian besar mereka kemudian menjadi anggota DPR. Kemudian tahun ada diantara mereka menempuh jalan politik berbeda dari Mega.Lalu mendirikan partai baru walau tak lama kemudian tenggelam. Pilihan selalu menawarkan risiko. Seperti dikatakan Soe Hok Gie : “hidup adalah keberanian memilih. Hadapilah.”
Baca juga: KPPI Tegaskan 2024 Era Kepemimpinan Perempuan
Dari hari ke hari, dari mana – mana orang datang ke.markas PDI menyebabkan lalu lintas macet. Tidak ada yang ngedumel justru masyarakat bersimpati pada Megawati. Dukungan mengalir juga dari luar negeri. Jika dulu sudah ada kebiasaan survei seperti kini, pastilah hasil Mega menjadi trending topik. Pengikutnya terus bertambah. Cendana was – was.
Keputusan Pangdam V Jaya untuk melokalisir gerakan pendukung Mega sebatas hanya di halaman dan di jalan di depan markas PDI, tak sesuai harapan pemerintah. Kekuatan anti Soeharto yang tercerai berai dan karenanya lemah, memanfaatkan Mimbar Bebas sebagai momentum dan peluang untuk langkah selanjutnya. Saat itu hanya figur Mega yang dianggap bisa memimpin perubahan.
Presiden Soeharto galau pada perubahan yang diartikannya semata – mata untuk menurunkannya. Maka menjelang subuh Sabtu, 27 Juli 1996 orang – orang bayaran menyerbu dan menduduki markas atau kantor DPP PDI.
Peristiwa Gambir Berdarah dianggap tidak seheroik Peristiwa 27 Juli 1996. Mungkin kurang unsur drama. Menurut saya rangkaian perlawanan terbuka terhadap rezim Soeharto dimulai sejak aksi turun ke jalan memprotes pembreidelan tiga media massa (Tempo, Editor, dan Detik) pada 21 Juni 1994 dilanjutkan Peristiwa Gambir Berdarah, berdirinya PUDI dan PRD, dan Peristiwa 27 Juli 1996 sebelum akhirnya Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 karena aksi – aksi mahasiswa. *****