Kupang – Peraturan walikota (Perwali) yang mengatur tentang disabilitas sedang dalam pembahasan pemerintah kota Kupang.
Hal ini disampaikan Ferdy David Umbu Randa, Kepala Sub Bagian Perundang – undangan Sekretariat Daerah Kota Kupang dalam Diskusi Rekomendasi Ranperda Penyelenggaraan Hak Asasi Manusia (HAM) pekan lalu.
Namun ketika dikonfimasi, Ferdy menyebut ia baru akan berkoordinasi dengan pihak terkait, dalam hal ini dinas sosial untuk membicarakan terkait perwali yang dimaksud.
Baca Juga: LBH Apik Godok Ranperda Penyelenggaraan HAM di Kupang
Peraturan Daerah (Perda) Kota Kupang Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sendiri sudah diterbitkan sejak empat tahun silam.
Namun perda tersebut hingga kini masih belum terealisasi oleh karena ketiadaan peraturan turunan teknis (perwali), kata Yafas Lay, dari Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (Garamin) NTT.
“Sehingga implementasi program dan anggaran di kelurahan belum bisa terealisasi karena belum ada peraturan teknisnya,” jelas Yafas.
Hal ini sebutnya perlu segera dijalankan sebagai upaya untuk pelaksanaan perencanaan pembangunan di level bawah pun bisa dieksekusi.
“Perda sudah ada kok tidak ada realisasi apa-apa? Yang paling dibutuhkan itu hanya dunia kerja, atau lapangan kerja untuk teman-teman difabel,” tegasnya.
Diskriminasi masih jadi lagu lama yang terus para difabel terima hingga kini. Padahal menurut Yafas, dalam kekurangannya, mereka masih mampu untuk berdaya.
“Sehingga kita juga bisa bekerja dan punya penghasilan. Kemudian tidak masuk dalam kategori kemiskinan juga mungkin salah satu teman-teman difabel yang tidak bekerja ini,” katanya.
Baca Juga: Bertemu Mama Peni di Pojok Belo, Sendirian Hidupi Suami ODGJ dan Anak Keterbelakangan Mental
Selain itu, hal lain yang jadi perhatiannya adalah ketersediaan obat pagi para difabel Psychososial atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Menurutnya, pandangan miring dan keacuhan masyarakat bahkan dari dalam keluarganya sendiri yang selalu membiarkan mereka terlantar tanpa perawatan dan bimbingan jadi satu masalah tersendiri yang dihadapi.
“Ada obat untuk mereka. Tapi tidak tersosialisasi dengan baik. Misalnya teman-teman di desa. Oh akses obat ini di mana? Terus apakah gratis atau berbayar? prosesnya seperrti apa?, itu belum tau,” jelasnya.
Untuk itu besar harapannya perwali segera diterbitkan agar pemenuhan perlindungan hak untuk masyarakat termasuk bagi kaum disabilitas bisa terwujud. Sehingga tidak melulu mereka menjadi pihak yang terlupakan dalam kehidupan bermasyarakat.*****