Oleh: Tonnio Irnawan, Pembaca buku sejarah
Jakarta – Jacinda Kate Ardern. Tak banyak yang mengenal perempuan kelahiran 26 Juli 1980 ini meski dia sebagai Perdana Menteri Selandia Baru, negara kecil, indah dan makmur. Tidak banyak kasus besar terjadi di sana, sehingga media massa kurang tertarik memberitakannya. Rakyatnya tenang – tenang saja.
Pada 15 Maret 2019 seorang warga Selandia Baru membabi buta menembaki orang – orang yang berada di mesjid di Kota Christchurch. Puluhan warga Muslim meninggal dunia. Inilah peristiwa besar yang merusak nama baik negara ini.
Peristiwa tragis ini menjadi ujian bagi Ardern, 42 tahun dan ia bisa melaluinya dan menyelesaikannya.
Baca juga: Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Pertama)
Ardern mulai memimpin Selandia Baru sejak 2017. Dia dari Partai Buruh. Kamis, 19 Januari 2023 dia membuat kejutan ketika mengatakan akan menjadi perdana menteri hingga 7 Februari 2023. Padahal sesuai konstitusi jabatannya belum berakhir pada tanggal itu. Namun Ardern memilih mengundurkan diri.
Tentu saja muncul berbagai dugaan mengapa ia mundur. Kepada rakyatnya, Ardern berujar: “Saya tidak lagi memiliki cukup kapasitas untuk menjalankan jabatan ini dengan benar.”
Apakah pernyataan itu benar atau hanya alasan yang dia buat – buat? Hingga saat ini tak terdengar nyaring rasa ketidakpuasan rakyat terhadap kinerjanya.
Saya jadi teringat ucapan Paus Benediktus XVI ketika pada 2013 mengundurkan diri.
”Setelah berulang kali memeriksa hati nurani di hadapan Tuhan, saya sampai pada kesimpulan bahwa kekuatan saya tidak lagi sesuai dengan tuntutan menjadi Paus,” ungkap Paus Benediktus XVI.
Baca juga: Frans Seda Pahlawan Nasional Penjembatan Budaya, Politik, dan Agama
Pemimpin yang baik memperlakukan jabatan sebagai suatu tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya untuk dijalankan. Dia melakukannya sesuai harapan orang – orang yang mempercayakannya.
Pemimpin yang baik akan melakukan pemeriksaan hati nurani untuk mengetahui apakah dirinya masih pantas memimpin. Jika nuraninya mengatakan ‘cukup sampai di sini’, ia harus berani mengambil keputusan yang benar.
Seorang pemimpin harus bisa mengukur dirinya. Ia harus bisa merasakan apakah baju yang dikenakan (kekuasaan) masih pas dan nyaman dipakai di badannya. Jika tidak pas lagi bukan saja menganggu penampilan (kinerja) juga dapat membuat yang bersangkutan serba salah.*****