Oleh: Anton Doni Dihen, Calon Bupati Flores Timur dan mantan Jurnalis
Hari ini, di awal tahun 2023 ini, kita berkumpul di tempat ini dalama acara Natal-Tahun Baru Bersama dan Epu Rebun Politik Adonara. Dalam tema “Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Ketangguhan Peradaban, kita hendak melakukan beberapa hal.
Pertama, kita hendak mengenali perilaku-perilaku kita, nulu walen politik kita, yang pasti dibimbing atau dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan nilai-nilai tertentu. Kemudian merefleksikan dan menetapkan mana perilaku-perilaku politik yang kita anggap baik dan patut dipertahankan (nulu walen melan senaren). Dan, mana perilaku-perilaku politik yang tidak baik (nuku walen medhon daten) yang harus kita tinggalkan.
Kedua, melalui forum Epu Rebun ini kita juga hendak mengenali kearifan-kearifan Lamaholot, berbentuk tradisi, pandangan dan nilai-nilai yang berlaku atau yang selama ini mempengaruhi perilaku politik kita. Kemudian merefleksikan dan menetapkan, mana kearifan-kearifan yang positif yang harus diperkuat penerapannya, mana kearifan-kearifan yang negatif yang perlu dihindari. Dan, mana kearifan-kearifan yang harus diterapkan secara hati-hati dan terukur.
Ketiga, kita juga hendak mengkonstruksi apa yang kita sebut sebagai Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot, dengan meramu secara cerdas kearifan-kearifan universal tentang hal-hal yang baik dalam dunia politik. Dan, kearifan-kearifan Lamaholot yang pada aslinya berlaku di aspek kehidupan lain, tetapi yang relevan dan berguna untuk diterapkan dalam dunia politik bagi kebaikan politik itu sendiri.
Baca juga: Kementerian Kominfo Tutup 1.321 Konten Hoaks Politik dan 11 Siaran TV Radikal
Keempat, kita juga hendak melihat dan menanamkan kesadaran tentang hubungan antara budaya politik dan kemajuan peradaban. Bahwa budaya politik baik menyumbang secara positif kemajuan peradaban. Dan, budaya politik yang kurang baik menutup jalan bagi perkembangan positif peradaban.
Kelima, melalui forum Epu Rebun ini kita juga hendak mendefenisikan kepentingan Adonara secara baik. Yakni mendefinisikan kepentingan Adonara dalam kerangka Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot tersebut. Sehingga tidak mengarah pada primordialisme sempit, melainkan berorientasi pada kepentingan yang wajar, sehat, dan terukur. Ini semua dalam kerangka kepentingan yang lebih besar, baik kepentingan Flores Timur secara keseluruhan, maupun kepentingan NTT, Indonesia, dan dunia.
Perilaku Politik Aktual
Tentang perilaku politik aktual yang perlu kita refleksikan, tanpa pretensi (atau maksud) untuk membuat kesimpulan yang ilmiah, kami melihat beberapa perilaku di bawah ini yang perlu kita kenali dan diskusikan. Ada perilaku bermasalah, ada perilaku yang pernh dibenahi, dan ada perilaku yang sudah positif.
Kita mulai dengan perilaku politik bermasalah, yang harus kita persoalkan, untuk perlu diperbaharui:
1. Politik transaksional.
Gejala politik transaksional, atau tepatnya perilaku politik transaksional, relatif umum dapat kita kenali di sejumlah ruang interaksi politik.
Kita mengenal istilah mahar politik, politik uang (jual beli suara). Perilaku politik ini tentu sangat bermasalah. Kita perlu benahi. Kita harus menggantikannya dengan politik yang lebih menggambarkan rasa kemartabatan kita.
2. Politik disinformasi (ope aka).
Perilaku politik ini juga tentu bermasalah. Tidak hanya baru menggejala sekarang, tetapi sudah lama. Ini yang membuat politik dipelesetkan menjadi pelitik dalam pengertiannya yang sangat buruk.
Kita harus menggantikannya dengan politik yang menggambarkan watak asli kejujuran kita. Politik kelohon.
Kita boleh mengerti bahwa di politik ada taktik, di samping strategi. Dan taktik ini banyak kali diterjemahkan sebagai tipu-menipu, ope aka. Tapi politik tidak selalu harus seperti itu.
Hari ini kita mesti menegaskan bahwa politik dan taktik politik sebagai tipu-menipu adalah hal yang sudah semestinya kita tolak. Bahwa orang tidak harus memenangkan suatu kontestasi politik dengan tipu-tipu.
Sebaliknya, seseorang dapat memenangkan kontestasi politik dengan kejujuran. Jujur dalam menyampaikan niat dan program-program politik, jujur dalam tutur kata politik.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Keterbukaan Informasi Cegah Kisruh di Pemilu
Orang Lamaholot itu kelohon. Jujur. Kebaikan Lamaholot ini tidak harus ditiadakan atas nama politik.
3. Politik Isi Tas.
Perilaku politik berikut yang juga bermasalah adalah politik isi tas. Fakta dari beberapa perhelatan politik, banyak terkooptasi dalam pikiran bahwa kepemilikan kita pada sumber daya finansial berlebihan menentukan kemenangan politik.
Dan, tingginya status ekonomi seseorang memberikan jaminan yang lebih besar bahwa orang tersebut tidak korup di masa depan.
Fakta menunjukkan, orang kaya yang masuk ke pemerintahan juga korupsi. Maka pandangan politik yang mengagungkan isi tas perlu kita benahi.
Kepemimpinan dan perwakilan politik bukan soal kekayaan material. Tetapi kekayaan budi dan pikiran. Integritas dan kapabilitas.
4. Politik emosional pikir pendek dan primordial.
Primordialisme sempit kewilayahan tanpa pertimbangan rasional menggeja juga sebagai perilaku sebagian orang. Ini tentu harus pula kita anggap sebagai perilaku politik bermasalah. Hal ini karena mengurangi peluang untuk menghasilkan kepemimpinan dan keterwakilan politik yang baik.
Unit-unit kewilayahan yang kecil membentuk primordialisme mereka yang menyulitkan kita membentuk kebersamaan yang lebih produktif. Ego-ego kewilayahan masih menggejala, yang tragisnya dapat membuat kita menjadi buta dalam menilai kompetensi dan kinerja seorang pemimpin atau calon pemimpin.
5. Politik remeh temeh vs Politiik visioner peradaban.
Politik kita juga msih diwarnai oleh “keramaian” dalam memperebutkan kucuran-kucuran bantuan kecil, yang diberikan hanya untuk menjaga konstituensi. Dan, bukan untuk mengembangkan kemandirian.
Interaksi politik dalam memberi dan menerima kucuran bantuan seperti itu kemudian seolah menjadi urusan utama politik. Bahkan satu-satunya urusan, smeentara urusn memperbesar kue pembangunan dan mengalokasikan secara cerdas untuk kemaslahatan keseluruhan warga terabaikan dalam urusan politik. Merebo-merampa, upek gelapin dalam urusan ini lalu menyita waktu produktif kita.
Selain perilaku politik bermasalah tersebut, ada juga perilaku politik baik, yang kalau tidak dijaga akan mudah diambil untung untuk sesuatu yang buruk.
Sebut saja matematika budi. Orang Lamaholot sangat mengingat budi adat seseorang. Budi adat ini bahkan diadministrasikan dengan rapi untuk harus dibalas pada suatu waktu. Di dalam politik, “kebaikan” ini dapat disalahgunakan.
Seorang politisi korup atau politisi buruk dapat memanfaatkan kebaikan ini dengan membagi “budi” berbentuk apa saja, entah uang, entah materi, untuk mendapatkan dukungan politik.
Kebaikan lain berbentuk “lewotana pithan menukan” juga dapat disalahgunakan untuk pencitraan. Seolah penerimaan Lewo untuk siapapun juga yang datang untuk meminta restu, merupakan dukungan praktis untuk suatu kontestasi politik.
Di luar perilaku politik dalam dua kategori di atas__perilaku bermasalah dan “kebaikan” yang perlu dijaga agar tidak disalahgunakan, pada dasarnya secara teori budaya politik kita mengalami perkembangan yang baik.
Partisipasi kita berbentuk pemberian suara pada pemilihan umum sangat tinggi. Demikian pula budaya musyawarah sebagai unsur penting demokrasi juga sudah dilembagakan dengan baik melalui berbagai lembaga dan sistem permusyawaratan.
Baca juga: Generasi Muda Helong Merawat Budaya Warisan Leluhur
Kearifan Lamaholot
Lamaholot mempunyai banyak kearifan, berbentuk tradisi dan nilai-nilai yang dapat mengisi dan memperkuat perkembangan suatu budaya politik.
1. Gelekat.
Jika di Barat, dan dalam ajaran sosial Gereja, dikenal istilah bonum commune (kebaikan bersama) sebagai tujuan dan orientasi yang harus dicapai dari setiap kegiatan politik. Maka kita bersyukur, kita Lamaholot mempunyai padanan yang serasi: Gelekat. Pengabdian diri seseorang untuk kebaikan bersama.
Makna pengabdian di balik istilah gelekat bersifat mulia. Gelekat itu tidak kalkulatif, menghitung berapa bayaran suara yang bisa saya dapat dari satu kegiatan gelekat.
2. Gemohing.
Gemohing juga modalitas kebudayaan kita, modalitas politik kita. Kita tahu dengan gemohing banyak pekerjaan pertanian kita diringankan. Banyak urusan lewotana tertangani.
Relevansi dan kegunaan gemohing dalam dunia politik tentu sangat besar. Pertama, gemohing pikiran sangat berguna dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang baik membuka ruang bagi partisipasi pemikiran banyak orang. Dan gagasan-gagasan terbaik dapat disaring dari sana.
Kedua, gemohing tenaga. Jika saling percaya sudah tumbuh, maka proses politik dalam suatu kontestasi dapat lebih ringan secara biaya. Ini karena banyak orang menyumbang tenaga dengan sukarela.
3. Epu Rebun, dasar-dasar musyawarah.
Musyawarah adalah jantungnya demokrasi. Demokrasi lahir dari keinginan rakyat agar suaranya didengar. Epu Rebun sebagai bagian dari tradisi budaya Lamaholot dapat kita revitalisasi untuk menopang perkembangan budaya politik yang lebih baik.
4. Keloho Helo Rera Wulan Galan, Dasar Integritas.
Kebenaran dan kejujuran aslinya adalah watak-watak utama orang Lamaholot. Watak ini mendefinisikan siapa orang Lamaholot, siapa orang Adonara. Kelurusan hidup adalah kita. Siapa yang bengkok dan tidak lurus hidupnya akan terluka di medan laga. Ini keyakinan tradisional kita.
Ketika keyakinan ini diceritakan oleh orang-orang tua ke kita, kita tidak hanya menanamkannya untuk menerapkan dalam urusan perang tradisional. Karena sesungguhnya perang itu pun tidak ada lagi. Tetapi untuk diterapkan dalam keseluruhan urusan hidup kita, di segala aspek. Kita bekerja dengan penuh kejujuran, kita bekerja dalam kelurusan.
Baca juga: Menata Nilai Hel Keta: Antara Budaya dan Agama
5. Keru Baki, Perekat dasar.
Demokratisasi yang merasuk masuk sampai ke kelompok-kelompok sosial terkecil. Bahkan sampai ke unit terkecil keluarga, memang tak bisa dihindari. Pertemanan, persaudaraan, dan kekeluargaan tradisional juga mulai terancam ikatannya. Maka semangat keru baki sesama Lamaholot menjadi modal penting untuk menjaga hubungan-hubungan pertemanan, persaudaraan, dan kekeluargaan tradisional.
Perbedaan-perbedaan politik sudah perlu dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi persaudaran keru baki tetap perlu dijaga dalam relasi-relasi sosial.
Di samping itu ada Mela Sare sebagai semacam “sakramen” rekonsiliasi. Prinsip “lewotana pithan menukan” sebagai kesantunan dasar. Prinsip Ata Diken sebagai moralitas dasar. Huden Tada sebagai insting evaluatif penting. Dan, dopi kepo sebagai etos perjuangan. *****