Kupang -Banyak orang menyebut pohon lontar sebagai pohon kehidupan. Mengapa? Buahnya bisa dijadikan makanan dan minuman, air niranya yang bisa diolah menjadi gula semut dan gula aren, bisa diolah menjadi kecap. Bahkan daun dan serat pohon lontar bisa dijadikan bahan baku anyaman.
Jublina Juliana Kule (67) atau yang biasa disapa Julia memilih mengembangkan potensi dalam dirinya dan potensi alam yang ada di NTT untuk menghasilkan karya yang bernilai. Ia memanfaatkan daun dan serat pohon lontar yang tumbuh liar di NTT, khususnya Kota dan Kabupaten Kupang untuk membuat anyaman seperti tas, topi, dompet.
Julia mengisahkan, keterampilannya menghasilkan berbagai jenis anyaman tersebut ia dapatkan dari hasil mengamati. Di daerah asalnya Bokai, Kabupaten Rote, NTT, hanya anak bangsawan yang diperbolehkan belajar menganyam. Rakyat biasa hanya sekadar melihat.
Hingga kemudian ketika ia berkeliling di Dekranasda dan melihat kerajinan anyaman yang dijual di sana. Ingatannya kembali ke masa kecilnya. Ia pun tergugah untuk membuat anyaman dan berhasil.
“Awalnya saya hanya buat-buat saja jadi siapa yang mau ya ambil saja. Karena saya tidak tahu mau jual kemana,” kata Julia.
Kemudian pada 2017, Dekranasda mengadakan pameran di Oepoi, Kupang. Julia lalu diminta melengkapi topi dari anyaman lontar.
Sejak saat itu ia mulai dikenal. Julia pun mulai memasarkan produknya lewat Facebook atau pun dengan berkabar lewat sanak saudara dan kerabatnya.
Awalnya Julia hanya menganyam menggunakan daun lontar. Akan tetapi dia melihat ada kerajinan dari serat pelepah lontar dengan nilai jual yang lebih tinggi. Namun dia bertanya-tanya bagaimana bisa mengambil serat dari pelepah pohon lontar itu.
Rasa ingin tahunya begitu kuat. Walau asam uratnya kambuh saat itu, Julia memutuskan untuk mengikuti pelatihan di kabupaten Takalar, oMakasar, Sulawesi Selatan selama 10 hari. Pelatihan itu untuk mengetahui cara orang Makasar membuat kerajinan dari serat pohon lontar tersebut.
“Saya pikir-pikir, saya orang Rote, dan di kampung saya banyak pohon lontar. Lalu ini (kerajinan anyaman dari serat) dapatnya bagaimana? Pelepah ya pelepah tapi bagaimana supaya bisa dapat serat ini? Baru ketika ikut pelatihan di Makasar baru saya tahu,” ungkapnya.
Rabu, 15/06/2022, Julia mengajak penulis untuk melihat proses pengambilan serat dari pelepah pohon lontar di rumahnya di Jln. Bunda Hati Kudus, Kota Kupang, NTT.
Hal pertama yang dilakukan ialah mengambil pelepah pohon lontar. Biasanya Julia mengambilnya di kelurahan Tarus, Kupang tengah, atau di Oebelo, Kabupaten Kupang. Pelepahnya gratis, Julia hanya perlu membayar jasa orang yang membantunya mengambil pelepah ini.
Pelepah pohon lontar yang diambil adalah yang masih mentah. Sehingga seratnya masih kuat dan tidak gampang putus. Kemudian, pelepah digebuk menggunakan kayu dengan kencang agar pelepahnya hancur.
Proses selanjutnya, pelepah direndam selama sebulan. Namun setiap 3-4 hari perendaman, pelepah diambil untuk digebuk lagi agar lebih cepat lunak. Selama proses itu pun, pelepah disisir hingga tersisa seratnya.
“Disisir supaya daging dalam pelepahnya itu bisa keluar supaya nanti hanya tersisa seratnya saja,” jelas Julia.
Selanjutnya direndam dalam air pewarnaan alami yang didapatnya dari campuran kulit pohon Kesambi, Bidara/Kom, dan Buni, untuk mendapatkan warna merah bata. Bila tak ingin berwarna, seratnya kemudian dikeringkan tanpa terkena sinar matahari langsung.
Pelepah yang direndam itu mengeluarkan aroma yang tak sedap. Julia sampai berulang kali meminta maaf akan hal itu. Keluarganya tak mau membantunya karena aromanya yang tidak mengenakan indra penciuman.
Awalnya ia pun demikian. Namun ucapan mentornya ketika pelatihan di Makasar dulu mengubah pandangannya.
“Dia bilang begini. Hey, itu bukan bau tai, bau dollar. Oleh karena saya mengikuti bahasa ini, maka saya berusaha supaya ini barang benar-benar jadi dollar. Dan kenyataannya jadi dollar, yang beli produk-produk saya ini ada yang dari Singapura. Jadi memang betul berubah jadi dollar kan?,” kata Julia sambil tersenyum mengingat masa itu.
Selanjutnya setelah dikeringkan, serat pelepah lontar siap dikreasikan. Julia duduk bersila di lantai rumahnya. Ia mulai menganyam motif dasar produk dengan beralaskan meja putar. Siang itu, ia mengayam bantal sofa.

Satu persatu serat dibuat saling tindih menindih dan menyilang sehingga membentuk motif yang diinginkan.
Sesekali jarinya ia celupkan ke air agar memudahkan proses menganyam.
“Ini kan lengket ini serat. Jadi kasih bersih di air ini jari supaya seratnya licin jadi gampang ditarik-tarik,” ungkapnya.
Julia mengatakan, motif tiap produk yang ia buat adalah murni datang dari pikirannya dan tak punya buka panduan atau semacamnya. Sehingga tiap satu motif yang dibuat adalah terbatas. Ini juga yang membuat produknya dipatok harga tinggi.
Bermacam produk Julia pun sejak 2021 lalu sudah masuk di Dekranasda NTT seperti tempat sirih, dompet, tas handphone, topi, keranjang pasar, tas jinjing wanita, tempat tisu, dan lainnya, dengan nama merek JBL. Yang artinya Julia (namanya sendiri), Bokai (daerah asalnya), dan Lontar (sebagai bahan baku utama pembuatan kerajinannya).
Produknya yang rapi, tebal, dan tahan lama membuat hasil tangannya itu laku terjual. Julia pun mengakui bila masih banyak pengrajin anyaman di NTT ini yang menghasilkan produk yang bahkan lebih bagus dari miliknya, namun kualitas dari produknya itu yang bisa diadu.
“Saya tidak bilang punya saya ini paling bagus. Banyak yang bagus, tapi kalau punya yang lain itu kita lipat begini saja sudah patah. Tapi punya saya ini tidak patah kalau dilipat, justru tambah lentur,” kata Julia sambil melipat-lipat dompet buatan tangannya itu, membuktikan.

Kini ia hanya membutuhkan mesin jahit khusus untuk menjahit serat, agar produk-produknya bisa dimodifikasi dengan lebih modern.
Vera Therik, pembinanya ketika pelatihan di Makasar mengatakan, ada begitu banyak pengrajin yang ia temui, namun kualitas hasil kerajinan anyaman Julia lebih bagus.
“Produknya berbeda. Beliau adalah orang yang mengerjakan secara detil, dan halus, serta kuat. Beliau pun konsisten untuk terus membuat kerajinan ini. Karena susah ya sekarang ini temui orang yang konsisten membuat ini dan yang hasilnya bagus,” ujar Vera yang hadir di rumah Julia siang itu.
“Saya punya produknya beliau, sudah hampir 10 tahun dan sampai sekarang masih utuh, bagus,” lanjut Vera.
Julia menyebut pekerjaan yang ia lakoni sekarang memang susah sehingga banyak orang yang tidak tertarik. Ia bahkan pernah diangkat sebagai instruktur di Dekranasda untuk mengajar menganyam. Namun murid-muridnya tak melanjutkan secara serius.
“Orang tidak mau belajar karena katanya ini pekerjaan gila. Dan memang anyaman serat ini susah. Tapi saya sudah rasakan hasilnya, anak saya sudah pergi pendidikan Brimob di Watukosek. 20 hari lagi balik,” ungkap Julia penuh rasa bangga.
Setiap produk dijual dengan harga berbeda sesuai tingkat kesulitan anyaman. Produk dibanderol mulai dari Rp. 100 ribu. Setiap bulan, Julia meraup untung lebih dari sejuta. *****
Silakan hubungi nomor +6281237939355 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!