Kupang – Niat awal masyarakat Indonesia adalah meninggalkan hukum pidana warisan kolonial Belanda. Kemudian, menghadirkan satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang relevan dengan situasi dan kebutuhan dalam penegakan dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi. Kemudian adil dan menghormati hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya, setelah DPR mengesahkan Rancangan KUHP pada Selasa, 6 Desember 2022, gelombang penolakan dari berbagai unsur masyarakat muncul. Sebelum pengesahan pun, RKUHP sudah mendapat banyak kritikan dan tuntutan dari masyarakat sipil untuk dihapus atau direvisi.
Namun pemerintah dan DPR memilih mengesahkannya daripada mendengarkan alasan-alasan penolakan yang disampaikan mengenai sejumlah pasal dari RKUHP.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly saat menanggapi protes RKUHP dengan mengatakan tidak seratus persen orang menerima dan menyetujui RKUHP. Dia menyarankan mereka yang menolak KUHP untuk melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: AJI Tuntut Pencabutan 19 Pasal Bermasalah Dalam RKUHP
Persoalannya, mereka yang menolak pengesahan RKUHP ini adalah mereka yang aktif mengkritisi perjalanan perumusan RKUHP. Jika diterapkan efektif pada tahun 2025, KUHP ini akan berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM, mundurnya demokrasi, hancurnya ranah privasi, dan mengancam hidup para komunitas rentan di negara ini.
Seperti pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid:
“Apa yang kita saksikan merupakan pukulan mudur bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia. Dan, kebebasan dasar selama lebih dari dua dekade.”
“Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR setuju mengesahkan hukum pidana yang secara efektif melemahkan jaminan hak asasi manusia sungguh mengerikan.”
Menurut Usman, KUHP baru ini kontroversial dan melampaui batas . Sehingga hanya akan lebih memperburuk ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia.
Ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pemerintahan yang sedang menjabat serta lembaga negara akan semakin menghambat kebebasan berpendapat. Bersamaan itu, mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai.
Baca juga: UU Narkotika Disebut Korbankan Banyak Buruh Migran Dijerat hukuman Mati
Larangan demonstrasi publik tanpa izin jelas dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai.
“KUHP yang baru secara praktis memberikan wewenang kepada mereka yang berkuasa di masa sekarang dan ke depan untuk menekan pendapat yang tidak mereka sukai melalui penegakan hukum yang selektif. Ini dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kritik damai dan kebebasan berkumpul,” ujar Usman, 6 Desember 2022.
Usman juga mengkritik KUHP baru ini telah melanggar hak privasi yang justru dilindungi oleh hukum internasional. Misalnya dengan adanya pasal melarang hubungan seks di luar nikah.
Bahkan aturan ‘moralitas’ tersebut, kata Usman, berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. Juga bisa menyasar warga hanya karena mereka memiliki identitas dan ekspresi gender tertentu seperit komunitas LGBTI.
Usman menegaskan, hubungan seksual konsensual tidak boleh diperlakukan sebagai kriminal.
“KUHP ini seharusnya tidak pernah disahkan sedari awal dan merupakan kemunduran dramatis dari kemajuan hak asasi manusia di Indonesia,”tegasnya.
Menurut Usman, alih-alih menghancurkan kemenangan hak asasi yang diperoleh dengan susah payah, pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya memperbaiki kondisi kemunduran kebebasan sipil. Dan, memenuhi komitmen hak asasi manusia dan kewajiban konstitusional mereka untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Direktur Eksekutif Kurawal Foundation, Darmawan Tribowo mengatakan, saatnya melakukan pembangkangan untuk merespons pengesahan RKUHP oleh DPR dan didukung penuh pemerintah. Walaupun KUHP ini mendapat penolakan luas dari kelompok masyarakat sipil dan dunia internasional.
Baca juga: Komnas HAM: Pemprov NTT Buka Ruang Dialog Setara dengan Warga Pubabu-Besipae
Darmawan dalam pernyataan pers, 7 Desember 2022, mengatakan, pengesahan KUHP ini merupakan langkah terbaru rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meruntuhkan sendi negara hukum. Dan, mengubah Indonesia menjadi negara kekuasaan.
Menurut Darmawan, pengesahan KUHP bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Deretan undang-undang dan regulasi yang disahkan dari kolaborasi antara pemerintah dan DPR di masa kekuasaan Jokowi menunjukkan upaya sistematis menggunakan hukum untuk melindungi dan melayani kepentingan penguasa. Bersamaan itu, menindas warga negara yang mengekspresikan penolakan atas kesewenang-wenangan negara tersebut.
“Fakta hanya 18 anggota DPR yang hadir secara langsung dalam rapat paripurna pengesahan RKUHP menunjukkan elit politik tidak lagi peduli dengan aspirasi dan kepentingan warga negara yang seharusnya menjadi tuan mereka,” kata Darmawan.
Dia menegaskan, pernyataan pemerintah bahwa pengesahan KUHP ini merupakan momen bersejarah reformasi hukum pidana di Indonesia adalah sebagai dusta. Pengesahan KUHP ini, kata Darmawan, menunjukkan rezim Jokowi dan DPR, serta sistem politik yang menaunginya, telah kehilangan legitimasi moral, politik, dan hukum untuk merepresentasikan kepentingan warga negara.
“Saatnya sudah tiba untuk mengabaikan negara. Pembangkangan adalah sebenar-benarnya pilihan,” tegas Darmawan. *****