Maumere– Lahan pemukiman warga kampung Waerii di Desa Kolisia, Kabupaten Sikka menjadi tempat pembuangan limbah mengandung bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).
Limbah berbahaya dan beracun yang sering ditemukan warga di pekarangan rumah mereka berupa botol-botol infus, botol obat, bahkan limbah berbahaya untuk pertanian yang sudah kadaluarsa.
Jurnalis KatongNTT saat berkunjung ke Kampung Waerii, 24 Marett 2025, menemukan limbah B3 medis dan non-medis berserakan di kebun rumah warga. Jarak tumpukan limbah tersebut ke rumah warga sekitar 10 meter.
Baca juga: Pengelolaan Limbah B3 Rumah Sakit di NTT Amburadul
Marselus Servasius, 60 tahun, warga Kampung Waerii menjelaskan, warga sudah lam menyaksikan limbah berbahaya dan beracun itu dibuang ke pekarangan rumah mereka. Biasanya limbah itu dibuang pada malam hari dengan menggunakan mobil. Namun warga sepertinya enggan mencari tahu siapa pelakunya atau melaporkannya ke pemerintah.
Jarak Kampung Waerii dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah berkisar 600 meter. Servasius menduga, pelaku membuang limbah berbahaya dan beracun itu ke pemukiman penduduk karena jaraknya dekat ke TPA Waerii.
‘’Botol infus dan botol obat pertanian kadalwarsa tersebut sudah ada lama tapi kami tidak tau siapa yang membuangnya di lokasi tersebut. Mungkin jarak kami dengan TPA dekat sehingga mereka membuang disitu,” kata Servasius kepada KatongNTT.
Warga tampaknya kurang mempersoalkan limbah berbahaya dan beracun itu dibuang di pekarangan rumah mereka. Mereka selama ini tidak mendapatkan informasi bahwa limbah itu berbahaya bagi manusia.
Warga Protes Asap Hitam dan Bau Busuk TPA Waerii
Warga fokus memprotes asap hitam dan bau menyegat dari TPA Waerii. Asap hitam muncul dari pembakaran sampah di TPA saat musim panas. Pembakaran berlangsung biasanya pada jam 8 malam WITA.
Sedangkan bau busuk menyengat berasal dari sampah yang lembab saat musim hujan.
Servasius dan keluarganya sejak tahun 2010 merasakan dampak dari pembakaran sampah di TPA Waerii dan bau busuk saat musim hujan. Terkadang mereka tidak bisa tidur pulas di malam hari karena terpapar asap dari pembakaran sampah. Bau busuk sampah diperparah dengan ulah orang-orang yang membuang bangkai hewan ke TPA Waerii.

Saat musim hujan tiba, kata Servasius, sampah dari TPA Waerii dibawa air hujan masuk ke pemukiman warga. TPA Waerii terletak di perbukitan dan di bawahnya adalah pemukiman Kampung Waerii.
Baca juga: Nelayan Temukan Limbah Aspal di Laut hingga Pantai Tablolong
Servasius kemudian mengungkapkan cucu-cucunya dan tetangganya sering mengalami dia, sedikitnya dua kali dalam setahun. Dia menduga penyakit itu bersumber dari air sumur warga yang sudah terkontaminasi dari sampah TPA Waerii.
“Saya punya cucu-cucu dan warga sekitar sering mengalami diare setahun 2 kali, kami di sni menggunakan air dari sumur sehingga mungkin saja air tersebut sudah terkontaminasi zat kimia yang berasal dari sampah di TPA,” katanya..
Alexander Leksi, warga Kampung Waerii mengamini protes Servasius. Dia dan keluarganya sudah tinggal di kampung tersebut sejak tahun 2004. Mereka memprotes keberadaan TPA di dekat pemukiman mereka.
Namun, sekitar tahun 2010, mereka mendapatkan informasi tentang upaya mensertifikasi lahan untuk dijadikan TPA.
“Kami sempat melakukan penolakan karena berpikir soal dampaknya namum kami tidak berhasil,” kata Alex.
Baca juga: Direktur RSUD TC Hillers Maumere: Insinerator Dihentikan karena Warga Keberatan
Di tahun 2013, warga Waerii melakukan protes melalui Kepala Desa dan juga pada saat musyawarah perencanaan pembangunan Kabupaten Sikka . Namun tidak membuahkan hasil. Pihak Pemda Sikka mengatasinya dengan memadamkan api menggunakan air yang disiram dan menggeser tumpukan sampah dengan menggunakan alat berat.
Alex realistis dengan kekalahan warga. Dia berharap Pemerintah Daerah Sikka meningkatkan upaya pengelolaan sampah di TPA Waerii agar sesuai dengan peraturan. Dengan begitu, dampak buruk dari sampah di TPA Waerii dapat ditiadakan. [Difan/Rita]