Pengantar:
Sudah menjadi pemandangan biasa sampah berserakan di berbagai tempat di Kota Kupang dan Maumere, Kabupaten Sikka. Sampah-sampah yang berserakan di dua kota ini bukan hanya sampah rumah tangga, tapi bahkan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) medis.
Sampah B3 medis ini dibuang begitu saja, baik itu di tempat penampungan sementara hingga di tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah B3 medis bercampur baur dengan sampah lainnya. Meski beberapa sampah itu ada yang dikubur untuk mencegah tindakan melanggar peraturan ini tercium ke publik.
Selain itu, hampir tidak ada insinerator untuk mengelola sampah B3 medis berfungsi, kecuali di Labuan Bajo di Pulau Flores, menurut data Dinas Lingkungan Hidup NTT. Jadi, bisa dibayangkan amburadulnya pengelolaan sampah B3 yang dihasilkan dari ratusan rumah sakit, puskesmas, dan klinik di NTT. Data BPS Provinsi NTT tahun 2020 menyebutkan, ada 329 rumah sakit umum, rumah sakit khusus, puskesmas, dan klinik di Kota Kupang yang beroperasi di Kota Kupang. .
Di Maumere, ibukota Kabupatten Sikka, ada rumah sakit umum yang memfungsikan insinerator. Namun, letak insinerator yang berdekatan dengan fasilitas perawatan dan pemukiman telah memantik protes warga. Satu rumah sakit swasta di Maumere membuang sampah B3 di TPA.
Tak kalah memprihatinkan, letak tempat penampungan sementara sampah B3 di RSUD Johannes yang jaraknya sekitar 5 meter dari ruang perawatan anak!
Selama dua pekan tim redaksi KatongNTT.com melakukan liputan khusus tentang penataan dan pengelolaan sampah B3 medis di rumah sakit di Kota Kupang dan Maumere yakni RSUD Johannes, RSUD dr T.C Hilers Maumere, dan RS St. Gabriel Kewapante. Kami memilih tiga rumah sakit ini berdasarkan penelusuran tim redaksi yang menemukan sampah B3 di tempat penampungan sementara dan tempat penampungan akhir, serta penataan lokasi pengelolaan sampah medis mereka.
Berdasarkan data yang tim redaksi peroleh dari Dinas Lingkungan Hidup NTT, insinerator hanya berfungsi di Labuan Bajo setelah pengelolaannya diserahkan ke pihak ketiga. Mengapa begitu?
Simak laporan khusus tim redaksi KatongNTT yang kami sajikan dalam dua tulisan yang ditayangkan pada Kamis dan Jumat, 13-14 Maret 2025.
Kupang – Bau menyengat saat jurnalis KatongNTT memasuki Ruang Kenanga, ruang perawatan khusus anak di RSUD Prof.DR W.Z Johannes Kupang. Seorang pengunjung bernama Geladis, 23 tahun duduk di lantai di lorong jalan dekat Ruang Kenanga.
“Bau sekali. Saya kira baunya dari aliran got itu,” kata Geladis.
Dia kemudian menunjuk asal bau itu dari arah parit terbuka di sudut dekat bak kosong yang dijadikan tempat pembuangan sampah.
Hari itu Senin, 3 Maret 2025 sore. Perempuan yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di FISIP, Universitas Nusa Cendana mendapat giliran menjaga keponakannya yang dirawat di situ.
“Aroma itu sering tercium saat malam hari, tapi hanya di sekitaran parit ini saja,” ujarnya.
Geladis tidak mendapat informasi dari pihak RSUD Johannes bahwa persis di seberang Ruang Kenanga merupakan tempat penampungan sementara limbah B3. Jaraknya dengan Ruang Kenanga berkisar 5 meter.
Sepintas, tempat penampungan sementara limbah B3 RSUD Johannes seperti ruang tak terpakai. Pintu masuknya terbuat dari seng dan dikeliling pagar kawat. Di dalamnya ada bangunan tiga kamar tertutup rapat. Di ujung terletak insinerator yang sudah karatan dan tidak berfungsi. Di pintu bagian depan tertulis larangan masuk .
“Kok sedekat ini letaknya?” ujar Geladis kaget.
Baca juga: Direktur RSUD W.Z.Johannes: Insinerator Kami Memang Tidak Memenuhi Persyaratan
Sekitar dua tahun lalu, Redaksi KatongNTT pernah bertemu dua petugas tempat penampungan limbah B3 RSUD Johannes Kupang. Mereka menjelaskan, tiga kamar tertutup rapat menyimpan sampah B3 yang berbeda yakni sampah infus, sampah dari kamar bedah, dan sampah radiologi.
Jurnalis KatongNTT kembali mendatangai RSUD Johannes pada 4 Maret 2025. Senja mulai turun di Kota Kupang. Tumpukan sampah medis dan nonmedis meluber keluar dari tempat penampungan. Plastik, sisa perban, dan limbah lainnya bercampur tanpa pemisahan yang jelas.
Beberapa warga bahkan terlihat membuang sampah di tempat yang sama. Seolah area itu sudah menjadi tempat pembuangan sampah umum.
Malam semakin larut, tapi tak ada tanda-tanda petugas kebersihan datang untuk mengurus sampah itu. Truk pengangkut yang dijadwalkan beroperasi tidak tampak di lokasi. Sampah sudah menggunung.
Keesokan hari, truk sampah RSUD Johannes parkir di dekat bak penampungan sementara. Sampah nonmedis telah diangkut ke atas bak truk. Beberapa sisa sampah tercecer di sekitar area penampungan
Matahari tepat di ubun-ubun kepala saat truk sampah medis RSUD Johannes bergerak menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Alak. TPA Alak terletak di sebelah Barat Laut Kota Kupang, tepatnya di Kecamatan Alak. Jarak antara RSUD Johannes dan TPA Alak terpaut 8,4 km jauhnya.
Baca juga: Cerita Dari TPA Alak: Sampah B3 Yang Diacuhkan Pemkot Kupang
Jurnalis KatongNTT mengendarai sepeda motor mengikuti truk menuju TPA Alak. Setibaya di lokasi, supir truk menurunkan muatan yang dibawa. Beberapa truk lain juga membuang sampah. Bau menyengat bercampur asap tipis dari sisa pembakaran menyelimuti udara. Kawanan sapi memamah biak di atas gunungan sampah, mencari sisa makanan di antara sampah yang berserakan.
Sejumlah pemulung berlarian menuju titik pembuangan sampah truk RSUD Johannes. Mereka memilah barang-barang yang masih bernilai jual. Mereka tidak menyadari bahwa di antara tumpukan sampah nonmedis, terselip limbah medis yang berbahaya. Bekas perban, botol obat, hingga jarum suntik bercampur baur.
Sekitar sejam kemudian, truk keluar dari lokasi TPA Alak, meninggalkan para pemulung yang sibuk mengais dan memilah sampah RSUD Johannes.
Jurnalis KatongNTT kembali mendatangi lokasi tempat penampungan limbah non medis RSUD Johannes pada 7 Maret 2025. Seorang pemulung sedang mengumpulkan botol-botol bekas dan juga botol-botol infus di samping truk sampah yang sedang parkir. Truk itu bersiap untuk mengangkut sampah menuju ke TPA Alak.

Pemulung bernama Voni Tapata telah memungut sampah dari lokasi itu sejak 2 bulan lalu. Dia bercerita ketika memungut botol air mineral maupun infus, sering menemukan jarum suntik bekas yang tergeletak di antara sampah medis yang lain.
“Botol-botol infus yang sering saya temukan, terkadang masih ada air infus yang terdapat di dalamnya,” kata Voni.
Botol-botol infus tersebut dikumpulkan oleh petugas pengangkut sampah dan di simpan dalam sebuah bak kecil yang juga terdapat dalam satu area penampungan sampah.
Jurnalis KatongNTT berusaha menyelinap masuk untuk mengecek bak tersebut. Namun terhalang tumpukan sampah medis yang menutupi bak. Penjelasan Voni menunjukkan bahwa bekas botol-botol infus tidak dipilah secara khusus sebagai limbah medis.
Baca juga: Walhi Temukan Sampah B3 Dua Rumah Sakit di TPA Alak
*****
Butuh sekitar 25 menit berkendaraan sepeda motor menuju Desa Manulai 1 di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur membangun insinerator di desa ini. Insinerator untuk mengolah limbah medis di Kota Kupang ini dibangun dengan dana APBD tahun 2018.
Akses masuk menuju lokasi insinerator ditempuh melalui jalan setapak berbatu dengan jarak sekitar satu kilometer dari jalan raya. Lokasi insenarator ini dikelilingi pemukiman penduduk.
Terdapat tiga bangunan utama di lokasi insinerator, yakni dua bangunan kecil yang difungsikan sebagai kantor operator dan pos penjaga insinerator, serta satu bangunan untuk penyimpanan insinerator.
Di dalam ruang penyimpanan, terpasang beberapa unit mesin insinerator yang dirancang khusus untuk mengolah limbah medis melalui proses pembakaran pada suhu tinggi.
Mesin ini terdiri dari beberapa komponen utama, termasuk ruang bakar utama (primary chamber) yang berfungsi membakar limbah padat, serta ruang bakar sekunder (secondary chamber) yang bertugas mengurangi emisi gas berbahaya sebelum dilepaskan ke udara.
Selain itu, sistem insinerator ini juga dilengkapi dengan cerobong asap yang dirancang untuk menyaring dan mengurangi dampak polutan terhadap lingkungan.
Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan jurnalis KatongNTT, beberapa mesin insinerator di lokasi sudah berkarat akibat tidak lagi beroperasi secara optimal. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terkait efektivitas pengelolaan limbah nantinya.
Farid Taopan, penjaga insinerator dari Unit Pengelola Teknis Daerah Pengelolaan Limbah Medis B3 Dinas Lingkungan Hidup NTT, menjelaskan, pihaknya secara rutin memanaskan mesin setidaknya sekali dalam sebulan. Hal ini untuk menjaga agar insinerator tetap dalam kondisi stabil.
Namun, upaya ini tampaknya belum cukup untuk mencegah kerusakan akibat minimnya penggunaan secara berkelanjutan.

Kondisi insinerator yang tidak beroperasi secara maksimal ini berpotensi mempengaruhi pengolahan limbah medis di wilayah sekitar. Tanpa pengelolaan yang optimal, limbah medis yang seharusnya dimusnahkan dengan prosedur yang aman bisa menumpuk dan beresiko mencemari lingkungan.
Selain kondisi mesin yang berkarat, berkarung-karung residu hasil pengolahan limbah medis masih tersimpan di dalam bangunan. Karung-karung tersebut tidak terkatup rapat, sehingga sebagian dari isinya meluber keluar.
“Residu tersebut merupakan sisa pengolahan limbah medis yang dihasilkan selama pandemi Covid-19,” kata Farid saat ditemui bersama rekannya yang sedang menjaga insinerator pada 5 Maret 2025.
Baca juga: RS di Kota Kupang Klaim Musnahkan Limbah Medis Pakai Incinerator
Kepala Dinas Lingkungan Hidup NTT, Ondy Christian Siagian mengatakan, saat pandemi Covid-19, insinerator yang belum memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup terpaksa dioperasionalkan.
“Setelah pandemi berakhir, insinerator ini dihentikan operasionalnya,” kata Ondy kepada KatongNTT pada Kamis, 6 Maret 2025.
Menurut Ondy, pihaknya menunggu penyelesaian kajian analisa dampak lingkungan (Amdal) oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai syarat insinerator dapat beroperasi
Menunggu izin operasional diperoleh, petugas hanya menjalankan pemanasan berkala untuk menjaga stabilitas mesin, tanpa benar-benar melakukan proses pemusnahan limbah.
******
Pemandangan tak sedap dan bau menyengat saat jurnalis KatongNTT melintas di jembatan Pasar Alok di Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, Maumere, Kabupaten Sikka.
Sampah-sampah menggunung di bawah jembatan Pasar Alok. Seorang warga menceritakan bahwa dirinya dan warga sudah pernah bertemu RT dan pihak kelurahan agar disediakan tempat sampah. Supaya warga tidak membuang sampah di bawah jembatan Pasar Alok. Namun, permintaan warga seolah menguap tanpa ada respons, baik dari RT maupun lurah.
Sampah berseakan hingga menuju jalan masuk RSUD Dr.TC Hilers Maumere. Bahkan di belakang gedung rumah sakit, sampah juga berserakan. Seorang petugas rumah sakit menjelaskan warga sekitar membuang sampahnya di situ.
Direktur RSUD TC Hillers Maumere, dr Clara Francis menjelaskan, pihaknya memilah tiga jenis sampah seperti sampah rumah tangga, sampah cair dan sampah B3. Dalam proses pengelolaan sampah non B3 dibuang ke tempat penampungan sementara di area rumah sakit. Kemudian, sampah diangkut oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup Maumere untuk diibuang ke TPA Wae Rii, Desa Kolisia, Kecamatan Magepanda, Maumere.
Biasanya, kata Clara, petugas Dinas Lingkungan Hidup Maumere setiap hari membuang sampah RSUD TC Hillers Maumere ke TPA Wae Rii. Namun, karena Dinas Lingkungan Hidup Maumere kekurangan armada sehingga tidak setiap hari sampah diangkut ke TPA.
“Sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh rumah sakit ini kadang-kadang menumpuk karena Dinas Lingkungan hidup mungkin kekurangan armada pengangkut,” kata Clara kepada KatongNTT, 5 Maret 2025.
Untuk limbah cair, ujar Clara, dibuang dan diproses melalui IPAL dengan indikator ikan yang ada di kolam. Letak IPAL ini di belakang RSUD TC Hillers Maumere.
“Jadi terkait limbah cair kami mengelolanya dengan menggunakan IPAL yang ada di belakang rumah sakit. IPAL sudah ada sejak Rumah Sakit ini didirikan dengan indikator Ikan yang ada di kolam sebelum dibuang keluar,” kata Clara
Sedangkan untuk limbah B3 medis yang padat diolah oleh insinerator. Insinerator sudah ada sejak RSUD TC Hillers Maumere. Insinerator ini beberapa kali mengalami kerusakan. Selama insinerator diperbaiki, sampah B3 ditampung di satu gudang.
“Sehingga tidak pernah limbah B3 dibuang ke TPA,” ujar Clara.
Namun sejak 10 Januari 2025, operasional insinerator dihentikan karena pengaduan warga sekitar RSUD TC Hillers Maumere tentang asap hitam yang keluar dari cerobong pembuangan.

Baca juga: Walhi Sebut Pengelolaan Sampah Kumpul-Angkut-Buang di Kota Kupang Saatnya Ditinggalkan
Berdasarkan pengamatan KatongNTT, jarak insinerator dengan pemukiman warga berkisar 50 meter. Letak insinerator ini juga hanya sekitar 10 meter dari ruang Dapur Gizi rumah sakit.
Limbah B3 di dalam gudang penampungan sementara sudah menggunung disebabkan insinerator yang belum beroperasi.
Ketua RT Kelurahan Kota Uneng, Gabriel Rudi menjelaskan, pengoperasian inseniator dihentikan akibat pengaduan warga beberapa waktu lalu yang sangat terganggu dengan asap hitam dari cerobong insinerator.
“Awal kami melapor karena kami merasa tergangu akibat asap yang dikeluarkan oleh inseniator yang ada di rumah sakit. Setiap proses pembakaran kami merasakan pedih saat dihirup. Sehingga kami melaporkan dan sudah mendapatkan balasan dari Ombusman untuk menghentikan pengoperasian insinerator,” jelas Rudi.
Warga, ujarnya, meminta agar inseniator tersebut segerah dipindahkan dari lokasi yang sekarang. Sehingga asap hitam dari insinerator tidak menggangu aktivitas warga dan sekolah.
“Kami berharap agar insinerator segera dipindahkan ke lokasi lain agar tidak menggangu kesehatan kami dan juga sekolah yang berada disini,” kata Rudi yang rumahnya berjarak 50 meter dari insinerator RSUD TC Hillers Maumere.
Protes warga agar insinerator dipindah, sepertinya tidak diindahkan pihak RSUD TC Hillers Maumere. Menurut Clara, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Ombdusman dan pihak ketiga untuk mengadakan uji atas asap hitam dari insinerator. Warga, ujarnya perlu diberi penjelasan bahwa asap itu tidak bermasalah bagi kesehatan mereka.
“Sebab limbah B3 yang ada di rumah sakit ini tidak asal dibakar. Sehingga insinerator bisa digunakan kembali oleh kami,” ujarnya.
Selain itu, pihak RSUD dr TC Hillers Maumere juga sedang membangun kerjasama dengan pihak ketiga untuk proses pengangkutan limbah B3. Namun kerjasama itu belum membuahkan kepastian karena belum ada kesepakatan harga antar kedua belah pihak.
“Proses kemarin sempat terhenti karena kesepakatan harga yang berbeda dari kami dan juga pihak PT tersebut,’’ kata Clara.
Baca juga: Penjabat Wali Kota Kupang Targetkan Masalah Sampah Teratasi 2 Bulan
*****
Saat jurnalis KatongNTT menyusuri TPA Wae Rii, 6 Maret 2025, limbah B3 medis teronggok di antara timbunan sampah rumah tangga. Seorang petugas TPA Wai Rii, Yulianus Rewo mengatakan, limbah B3 medis itu berasal dari Rumah Sakit St Gabriel Kewapante.
“Yang sering membuang sampah itu biasanya hanya dari rumah sakit di Kewapante. Sedangkan RSUD .dr. TC Hillers hanya membuang sampah sisa makanan,” kata Yulianus.
Untuk memastikan keberadaan sampah B3 medis di TPA Wae Rii Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Sikka, Pius Markus Temalurus bersama jurnalis KatongNTT ke TPA Wae Rii.
Markus mengaku baru menerima informasi jika RS St Gabriel Kewapante membuang sampah B3 medis ke TPA Wae Rii.
Pihak Rumah Sakit St Gabriel Kewapante menolak untuk diwawancarai mengenai sampah B3 rumah sakit tersebut ditemukan di TAP Wae Rii. Surat permohonan wawancara tidak dibalas.

*****
Markus menjelaskan, sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh masyarakat Kabupaten Sikka tahun 2024 sebanyak 138 ton/hari.
Setiap tahun, Dinas Lingkungan Hidup Sikka menyediakan kontainer sampah di setiap fasilitas publik dan kantor-kantor serta kelurahan di Kota Maumere.
Namun dalam proses pengangkutan sampah, kata Markus, armada yang dimiliki hanya 6 armada Dump Truck dan 4 armada Amrol. Meski setiap hari hanya 5 drump truck yang beroperasi. Satu drump truck lainnya mengalami kerusakan. Sedangkan Amrol, yang beroperasi 3 unit. Satunya lagi rusak akibat kecelakaan.
Markus setiap tahun mengajukan tambahan armada pembuangan sampah ke pemerintah Sikka, namun tidak ada respons.
“Setiap tahun kami selalu menyampaikan tolong kami disediahkan armada karena dari kondisi yang ada hari ini sangat minim karena kami harus melayani cakupan wilayah yang luas,“ kata Markus.
Baca juga: 10 Brand Penyumbang Sampah Plastik di Perairan Kupang
Menurut Markus, dari 21 kecamatan di Kabupaten Sikka, hanya 5 kecamatan yang dilayani untuk proses pengangkutan sampah.
Begitu juga dengan pengolahan sampah di TPA, menurut Markus tidak sesuai dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Alasannya, tempat pengelolaan sampah di Maumere tidak menggunakan prinsip 3R yakni Reduce, Reuse, Recycle.
Maumere tidak memiliki TPS dan juga TPST karena Pemda Sikka tidak menyediakan fasilitas.
“Sampah di Kabupaten Sikka tidak pernah dikelola. Masih menggunakan cara lama dengan cara kumpul, angkut dan dibuang saja ke TPA Maumere di Wae Rii. Tempat pemrosesan akhir sampah kita di TPA Wae Rii masih menggunakan paradigma lama,” ujarnya menyesalkan. [Kelvin|Difan|Rita]