Dari luka lama yang dipertontonkan publik hingga akhirnya berdiri di pelaminan, Luna Maya bukan sekadar pengantin. Ia adalah simbol perempuan yang tidak membiarkan dunia mengatur akhir cerita hidupnya.
“Seburuk-buruknya masa lalu, ia tetap berhak dicintai.” Kalimat itu terdengar seperti kutipan dari novel roman yang terlalu manis, tapi hari ini, ketika Luna Maya mengucapkan janji suci pernikahan dengan Maxime Bouttier, kalimat itu menjadi manifesto diam-diam para penyintas budaya penghakiman publik.
Kita hidup di dunia yang gemar menggali masa lalu orang lain hanya untuk memastikan mereka tidak bisa berjalan lagi. Dan Luna Maya tahu itu lebih dari siapa pun. Dia adalah korban dari satu fase gelap dalam sejarah internet Indonesia—saat teknologi lebih cepat dari etika, dan ketika video skandal pribadi bisa menjungkirbalikkan seluruh hidup seorang perempuan.
Baca juga: Resensi: Hati Bening di Balik Jendela, Refleksi tentang Pergulatan Perempuan Timor
Selama hampir dua dekade, nama Luna Maya selalu datang dengan beban. Bukan beban prestasi, tapi stigma. Ia pernah disanjung, dicintai, lalu dijatuhkan dari dunia hiburan seperti pesakitan. Ia diseret, dijadikan bahan konsumsi media infotainment, dan ditertawakan di belakang punggung yang bahkan tak sempat ia jaga. Tapi ketika ia menikah dengan Maxime Bouttier, pria berdarah Prancis-Indonesia yang juga menganut Islam, orang-orang terdiam. Mereka tak punya kata-kata lain selain: “Ia pantas mendapat bahagia.”
Pernikahan Luna bukan cuma tentang gaun putih, bunga, atau lagu pengiring. Ini adalah klimaks dari perjalanan panjang yang terlalu sering dikomentari orang lain. Ini adalah pembuktian bahwa masa lalu tidak berhak mencabut hak siapapun atas cinta. Dan ini bukan hanya cerita Luna Maya.
Britney Spears dan Luka Kolektif Kita
Mari melompat ke Hollywood. Britney Spears pernah mengalaminya—penghakiman publik, kegilaan media, dan stigma yang dilekatkan tanpa konsensus. Di awal 2000-an, Britney dianggap “hilang kendali,” padahal yang hilang justru kontrolnya atas hidupnya sendiri. Ayahnya mengambil alih kekuasaannya melalui konservatori, publik mengolok-oloknya, dan media menelanjangi krisis mentalnya seperti pertunjukan sirkus.
Tapi dunia berubah. Muncul gerakan #FreeBritney, dan perlahan-lahan orang menyadari: yang gila bukan Britney, tapi sistem yang mengurungnya. Pada 2021, ia akhirnya bebas, dan tahun-tahun berikutnya diisi dengan kebebasan yang tak selalu rapi—tapi miliknya sendiri. Sama seperti Luna, Britney juga memperjuangkan narasi baru tentang siapa dirinya, tanpa harus meminta maaf karena pernah terjatuh.
Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?
Monica Lewinsky: Dari Simbol Skandal ke Suara Perubahan
Nama lain yang layak masuk dalam narasi ini adalah Monica Lewinsky. Ia bukan selebritas di awal kisahnya—hanya seorang staf Gedung Putih yang terjebak dalam pusaran politik dan skandal seksual. Tapi dunia tidak peduli. Ia diolok-olok, dijadikan meme sebelum meme itu ada, dan dijadikan simbol kebodohan atau penggoda.
Dua dekade kemudian, Monica menulis esai tajam, berbicara di TED Talk, dan menjadi advokat melawan cyberbullying. Ia merebut kembali namanya yang pernah dijadikan lelucon nasional. Seperti Luna, Monica tidak menunggu belas kasih publik—ia menciptakan panggungnya sendiri.
Mengapa Kita Terlalu Kejam pada Perempuan?
Ada satu pola besar di semua kisah ini: perempuan selalu dibebani ekspektasi moral yang lebih berat. Ketika pria terlibat skandal, ia bisa kembali dengan cepat, bahkan dipuja. Tapi perempuan? Ia harus menanggung aib berlapis, dihakimi atas tubuh dan pilihan hidupnya, lalu diminta hidup diam-diam.
Luna Maya melawan semua itu. Ia tidak pensiun diam-diam. Ia tidak pura-pura suci. Ia tidak menjilat publik untuk minta maaf. Ia membangun kariernya kembali, memilih proyek yang ia sukai, menciptakan bisnis, dan pada akhirnya, jatuh cinta dengan cara yang sederhana: apa adanya. Pernikahan ini bukan tentang melupakan masa lalu. Tapi tentang berdamai dengan masa lalu, dan tetap berjalan menuju masa depan.
Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani
Bukan Cinderella. Ini Lebih Keren.
Yang paling indah dari kisah Luna Maya adalah ini: ia tidak berubah jadi Cinderella. Tidak ada pangeran yang menyelamatkan. Tidak ada sepatu kaca. Yang ada hanya perempuan yang bangkit perlahan dari reruntuhan opini publik, menata ulang hidupnya, dan berkata: “Aku tetap layak mencintai dan dicintai.”
Pernikahannya dengan Maxime bukan hadiah karena telah “cukup menderita.” Pernikahan ini adalah pilihannya. Dan itu membuatnya jauh lebih kuat.
Kita Butuh Lebih Banyak Akhir Bahagia
Hari ini, ketika linimasa dipenuhi foto dan video pernikahan Luna Maya dan Maxime Bouttier, banyak dari kita yang ikut tersenyum. Bukan karena kita suka kisah cinta, tapi karena kita pernah menyaksikannya disakiti dan tetap tidak menyerah. Kita ikut bahagia karena kita tahu: jika Luna Maya bisa melalui semuanya dan tetap menemukan cinta, mungkin kita juga bisa.
Ini bukan soal jadi penggemar. Ini tentang harapan bahwa dunia bisa berubah, bahwa stigma bisa pudar, bahwa comeback bukan mitos, dan bahwa kita semua, sesekali, berhak menulis ulang cerita kita sendiri.
Masa lalu bukan kutukan. Ia hanya bagian dari bab yang lebih panjang.
Dan Luna Maya, hari ini, menunjukkan bahwa akhir bahagia bukan milik mereka yang sempurna. Tapi milik mereka yang terus percaya, meski dunia bilang mereka tidak layak.
Kalau kamu setuju bahwa dunia harus belajar memaafkan, bukan hanya menonton kejatuhan orang lain, maka kamu tahu: Luna Maya bukan sekadar artis. Ia adalah pelajaran hidup yang berjalan dengan gaun putih dan senyum penuh makna. [*]
*Priya Husada, Pemerhati Sosial dan Penyatu PMKRI