Kupang – Laporan masalah kekerasan yang dialami perempuan di Nusa Tenggara Timur meningkat dalam tiga tahun terakhir. Tidak ada satu kabupaten dan kota yang bebas dari masalah ini. Bahkan Kota Kupang menjadi kota yang terbanyak menerima laporan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang menempati posisi terbanyak kasus kekerasan yang dialami perempuan selama tiga tahun berturut-turut (2022-2024).
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Kupang pada 2022 sebanyak 336 kasus. Urutan kedua Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 185 kasus. Berikutnya Kabupaten Manggarai Barat sebanyak 123 kasus kekerasan dan Rote Ndao di urutan keempat dengan 119 kasus.
Baca juga: Hormati Perempuan Memilih Childfree
Setahun kemudian, jumlahnya menurun menjadi 266 kasus untuk Kota Kupang. Di urutan kedua adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 197 kasus. Kabupaten Timor Tengah Utara sebanyak 101 kasus dan Kabupaten Manggarai dengan 74 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Hingga semester dua tahun 2024 jumlah kasus kekerasan di Kota Kupang sebanyak 200 kasus. Disusul Kabupaten Timor Tengah Selatan 82 kasus, Manggarai Barat sebanyak 59 kasus, dan Timor Tengah Utara sebanyak 57 kasus.
Secara keseluruhan di 21 kabupaten dan kota di NTT, jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan pada tahun 2024 sebanyak 671 kasus. Jumlah kasus kekerasan di 2023 sebanyak 1.241 kasus, dan 2022 sebanyak 1.254 kasus.
Dalam tiga tahun tersebut, perempuan menjadi korban terbanyak dalam kasus kekerasan. Adapun lokasi terjadinya kekerasan itu terbanyak di dalam rumah. (lihat tabel)
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT, Nikolaus Kewuan mengatakan, data kasus kekerasan terhadap perempuan di NTT menunjukkan tren meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Namun peningkatan jumlah kasus kekerasan di NTT, kata Nikolaus, memberi makna bahwa korban sudah mulai berani menyuarakan masalah kekerasan yang dialaminya.
“Data ini memberi makna korban sudah mulai berani bersuara. Selama ini mereka menganggap kekerasan itu aib,” kata Nikolaus kepada KatongNTT, November 2024.
Baca juga: Pacar Terbanyak Melakukan Kekerasan Terhadap Perempuan di NTT
Anggapan “aib” ini terbentuk karena budaya patriarki di NTT yang masih kental di mana laki-laki mendominasi. Sehingga ketika perempuan mengalami serangan fisik maupun psikis, mereka memilih untuk tidak melaporkannya ke aparat penegak hukum.
Menurut Nikolaus, para perempuan NTT sebagai korban kekerasan beranggapn mereka sedang memanggul salibnya. Sehingga tidak perlu orang tahu tentang masalah dalam rumah tangga mereka.
“Ini kami punya salib, sudah. Ini kami punya aib. Kalau kami melapor orang lain jadi tahu,” ujar Nikolaus.
Anggapan yang masih kuat dipegang para perempuan NTT, menurut Nikolaus perlu diubah. Jika perempuan dan anak yang mengalami kekerasan melaporkannya ke aparat penegak hukum, maka itu artinya ada pilihan jalan keluar yang bisa diambil.
Selain itu, korban yang melapor, sebenarnya turut mencegah berlanjutnya kekerasan yang terjadi pada perempuan lain. Bersamaan dengan itu, korban turut melindungi korban-korban lainnya.
“Perempuan dan anak yang sudah berani melapor, mereka sudah menjadi pahlawan bagi dirinya dan keluarganya,” ujar Nikolaus.
Lalu apa yang memotivasi korban mulai berani melaporkan kekerasan yang dialaminya? Menurut Nikolaus, media berita dan media sosial telah memberikan bantuan untuk membangun kesadaran para korban. Informasi yang disebarkan melalui media berita dan media sosial kini dengan mudah diakses masyarakat dan korban melalui telepon seluler berteknologi android.
Baca juga: Femisida di NTT, Saksi Ungkap Penganiayaan Sadis Albert Solo terhadap Istrinya, Maria Mey
“Kita intens menyuarakan di media cetak, elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah mempunyai handphone android. Sehingga kalau ada masalah mereka sudah tahu melapor ke mana,” ujar Nikolaus.
Pejuang kesetaraan gender dan perlindungan pekerja migran NTT, Benedikta Da Silva Noben atau disapa “Mama Noben” menjelaskan, warga di sejumlah desa di Kabupaten Flores Timur masih berpendapat melaporkan masalah kekerasan ke aparat penegak hukum sebagai membuka aib keluarga.
Bersamaan dengan hal itu, menurut Mama Noben, pemerintah masih sangat kurang dalam mensosialisasikan upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Selama ini, ujarnya, pemerintah hanya fokus pada data, namun kurang mensosialisasikan upaya pencegahan dan penekanan jumlah kekerasan yang dialami perempuan. Pemerintah pun dianggap kurang dalam hal mendampingi korban atau penyintas kasus kekerasan.
“Mereka lamban turun ke lokasi,” kata Maman Noben kepada KatongNTT, 29 November 2024.
Baca juga: Mama Medi, Pejuang Lingkungan di TTU Ketakutan atas Ancaman akan Dibunuh Suami
Perubahan sikap pemerintah, kata Mama Noben, baru terjadi dua tahun terakhir dengan mulai mensosialisasikan upaya pencegahan terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak.
Mama Noben menilai, tingginya angka kekerasan yang dialami perempuan di NTT bukan dipicu faktor para korban mulai berani melapor ke aparat penegak hukum. Melainkan, pemerintah belum optimal mensosialisasikan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Aparat penegak hukum juga belum tegas dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Tidak optimal sama sekali. Kalau penegakan hukum tegas, setidaknya ada efek jera,” ujarnya. [*]