Di pedalaman Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Maubasa Barat, Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende terdapat kisah yang tak asing lagi bagi penduduknya. Kisah tentang perempuan-perempuan tangguh yang merantau demi kesejahteraan keluarga, meninggalkan tanah kelahiran yang dicintai untuk mencari rezeki di negeri orang. Di sana, di balik kerinduan dan keraguan, terukir tekad kuat untuk membawa pulang secercah harapan bagi keluarga yang tertinggal.
Perempuan NTT yang terbatas akses pendidikannya seringkali terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Mereka sulit mencari pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang cukup. Kondisi ini menjadikan mereka rentan terhadap eksploitasi dan terjebak dalam pekerjaan yang tidak menguntungkan.
Peningkatan pendidikan bagi perempuan NTT sangat penting untuk menghentikan angka kemiskinan dan mengurangi jumlah perempuan yang merantau. Pendidikan akan memberikan mereka keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memasuki pasar kerja dengan posisi yang lebih baik.
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya
Pendidikan juga akan meningkatkan kesadaran perempuan tentang hak asasi mereka, sehingga mereka dapat berbicara untuk diri sendiri dan memperjuangkan kesetaraan gender. Perempuan yang berpendidikan akan lebih mampu menentukan masa depan mereka sendiri, baik dalam bidang karir, keluarga, maupun kehidupan sosial.
Kisah ini bukan hanya tentang keberanian dan tekad, tetapi juga tentang realitas pahit yang menyertai kehidupan di NTT. Krisis ekonomi yang melanda daerah ini menjadi faktor utama yang mendorong perempuan NTT untuk merantau. Kehidupan sehari-hari dijalani dengan susah payah, seringkali diwarnai oleh kekurangan pangan dan kesulitan mencukupi kebutuhan hidup.
Perempuan-perempuan NTT memilih merantau ke luar negeri seperti Arab Saudi untuk mengharapkan hidup yang lebih baik karena mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan adat.
Di desa Maubasa Barat sistem adat masih begitu kuat seperti “Wurumana” atau tradisi memberi sumbangan untuk acara penting. Tradisi ini menjadi beban yang tak mudah ditanggung
Sistem “Wurumana” menjalankan prinsip balas budi yang cukup kaku. Namun, ini bukan sekadar balas budi. “Wurumana” di Ende Lio, khususnya di Desa Maubasa Barat, merupakan tradisi turun temurun dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang. Ini bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan aturan yang menjalankan sistem sosial di daerah tersebut. Jika keluarga A memberikan uang dan kain tenun (lawo) kepada keluarga B saat pernikahan, maka keluarga B harus membalas dengan suguhan yang sama saat keluarga A mengadakan acara. Jumlah uang, barang, atau kain tenun yang harus diberikan sudah ditentukan berdasarkan tingkat hubungan antar keluarga.
Tradisi ini seolah menjunjung nilai gotong royong, namun dalam praktiknya, terkadang menjadi beban bagi keluarga yang ekonominya terbatas. Bagi mereka, “Wurumana” bukan sekadar tradisi yang menyenangkan, melainkan kewajiban sosial yang menekan. Keluarga harus berusaha menghasilkan uang dan barang yang cukup untuk menjalankan tradisi tersebut, seringkali menggunakan uang yang harus mereka pinjam. Ketidakmampuan menjalankan “Wurumana” bisa menimbulkan stigma negatif di masyarakat.
Baca juga: Efek Patriarki, PMI NTT Paling Banyak Perempuan
Perempuan NTT yang merantau ke Arab Saudi mencari cara untuk melepaskan diri dari beban ini. Mereka berharap dengan menghasilkan uang yang cukup di luar negeri, keluarga mereka dapat menjalankan “Wurumana” tanpa harus terlilit utang. Mereka ingin memerdekakan keluarga dari kekangan tradisi yang seringkali menimbulkan kesulitan ekonomi. Mereka berani menghadapi tantangan hidup di tanah asing demi mewujudkan mimpi yang sama: mendapatkan hidup yang lebih baik bagi keluarga tercinta.
Keberangkatan mereka meninggalkan luka yang dalam di hati keluarga. Suami yang seharusnya berperan sebagai ayah dan pencari nafkah terasa hilang keberadaannya. Mereka hanya mampu menjaga anak-anak dan mencari penghidupan yang sangat terbatas. Namun, di balik kesedihan perpisahan, terukir harapan yang membara. Harapan untuk melihat anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik, rumah yang nyaman, dan masa depan yang cerah. Harapan itu menguatkan langkah perempuan NTT yang merantau. Mereka menjalani hidup di tanah asing dengan segala tantangannya, melakukan pekerjaan berat dengan penghasilan yang tidak selalu mencukupi, hanya demi membawa pulang berkat untuk keluarga tercinta.
Kisah perempuan NTT yang merantau mencerminkan ketabahan dan keuletan mereka dalam mencari jalan keluar dari kemiskinan dan kesulitan hidup. Namun, keberangkatan mereka juga meninggalkan pertanyaan mendalam tentang peran laki-laki dalam keluarga dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam menemukan kesejahteraan di era globalisasi.
Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan tentang sistem sosial dan budaya yang menjalankan perempuan dalam peran tradisional dan menghambat potensi mereka untuk mendapatkan kesempatan yang sama.
Baca juga: Mitos dan Tafsir Kitab Suci Picu Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di NTT
Kisah ini mengungkapkan bagaimana tradisi yang seharusnya menyatukan masyarakat, justru menimbulkan kesenjangan dan kesulitan bagi kelompok yang kurang beruntung. Sistem “Wurumana” yang kaku harus dievaluasi ulang agar tidak menimbulkan beban ekonomi yang berat bagi keluarga.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai kesetaraan gender dan peran laki-laki dalam mencari nafkah sangat penting. Diskusi terbuka tentang tradisi “Wurumana” dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di desa Maubasa Barat perlu dilakukan. Dengan begitu, perempuan di NTT tidak lagi terpaksa merantau jauh-jauh demi kesejahteraan keluarga. Mereka dapat berkembang di tanah air sendiri dengan kesempatan yang sama dan menjalankan tradisi “Wurumana” dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan.
Diharapkan ke depan, perempuan NTT dapat mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan potensi mereka, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Kita harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan untuk berkembang dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sebagai solusi, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesempatan kerja dan perekonomian di daerah NTT. Pemerintah dan organisasi masyarakat harus bersama-sama mendorong program-program yang mendukung ketahanan ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk bersama-sama mencari solusi yang berkelanjutan dalam mengatasi kesenjangan dan kesulitan hidup yang dihadapi perempuan NTT. Selain upaya pemerintah, peran masyarakat juga sangat penting dalam mendukung pendidikan perempuan. Keluarga, sekolah, dan organisasi masyarakat harus bersama-sama menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan untuk mengakses dan menikmati pendidikan.
Pendidikan bukan hanya mencerdaskan bangsa, tetapi juga merupakan kunci untuk memerdekakan perempuan NTT dari kemiskinan dan ketidakberdayaan. Dengan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, kita dapat menciptakan generasi perempuan NTT yang kuat, independen, dan mampu memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. [*]