Kupang – Nelayan pesisir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) kini dihadapkan dengan sejumlah persoalan. Hasil tangkapan mereka kini mengalami penurunan drastis.
Persoalan sampah hingga kekurangan infrastruktur pengaman bagi perahu nelayan menjadi keluhan sejumlah nelayan yang mengikuti program visioning yang dilaksanakan Yayasan Pikul pada pekan lalu. Tak ketinggalan, mereka juga mengeluhkan tentang hasil tangkapan yang mulai menurun.
Program visioning tersebut mengangkat tema “Merancang Masa Depan Pesisir Kota Kupang”. Peserta yang dilibatkan tidak hanya para nelayan, ada juga penjual ikan hingga istri dari para nelayan.
Mereka berdiskusi dalam kelompok – kelompok kecil, mengajukan permasalahan dan mencari solusi sebagai upaya bersama menjaga wilayah pesisir Kota Kupang. Pada lembaran hasil diskusi yang ditempelkan di dinding, sejumlah persoalan disebut tidak sulit dihindari.
Masalah sampah di laut dinilai tidak bisa dihindari. Penyebabnya sampah di laut disebabkan oleh perilaku warga yang masih acuh tak acuh. Sampah plastik yang banyak akan merusak ekosistem laut.
Maria Mbaddarudin, nelayan perempuan dari kelurahan Air Mata, Kecamatan Kota Lama ini merasakan benar penurunan hasil tangkapan. Sejak badai Seroja, hasil tangkapan mereka menurun drastis.
“Dulu kita pakai jaring 1 jam saja kita sudah dapat sampai dua ratus ribu. Sekarang masuk sejauh apapun tetap tidak sama seperti dulu,” kata wanita berusia 58 tahun itu.
Dina Soro, Program Koordinator Project VCA (Voice for just Climate Action) dari Yayasan Pikul mengatakan, sejumlah nelayan pesisir masih mengeluhkan tentang informasi cuaca. Dina menyebut nelayan di Oebelo, Tanah Merah, Sulamu dan Pariti, Kabupaten Kupang yang ditemui Yayasan Pikul menyampaikan keluhan tersebut.
Keterbatasan infrastruktur seperti pemecah gelombang sampai saat ini belum ada. Pemecah gelombang ini berfungsi pelindung pantai dari erosi sehingga terjadi endapan di belakang bangunan.
Dina mengatakan, selama ini batu-batu karang yang memecah gelombang laut, namun seberapa kuat batu-batu karang itu bertahan belum diketahui.
“Jadi para nelayan meminta Pemerintah kalau bisa segera bangun pemecah gelombang yang inklusif,” kata Dina.
Berkaca dari kejadian saat badai Seroja, Dina menyampaikan masalah yang dihadapi para nelayan dalam hal menyelamatkan perahu-perahu mereka. Sebagian besar wilayah pesisir Kota Kupang tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk melindungi perahu nelayan. Dina menyebut hanya ada dua lokasi di Kota Kupang yakni pantai Oeba dan Lasiana yang memiliki tempat berlindung untuk perahu.
WALHI NTT dalam rilisnya mengatakan, perubahan iklim menjadi salah satu masalah yang dihadapi nelayan NTT saat ini. Deddy Febrianto Holo, koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT mengatakan, perubahan iklim berkibat pada tidak berlakunya kalender tangkap para nelayan.
“Hal ini menyebabkan nelayan merasa kesulitan dalam menentukan waktu-waktu untuk memulai kegiatan melaut,” kata Deddy.
Deddy mengatakan daerah pesisir dan pulau kecil harus berfungsi salah satu daerah konservasi guna mengatasi perubahan iklim. Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kendati sudah diatur dalam Undang-undang, pemanfaatan wilayah pesisir di NTT belum sesuai fungsinya. Deddy mengangkat beberapa kasus di wilayah pesisir seperti para nelayan di Labuan Bajo yang harus berhadapan dengan kebijakan pembangunan resor premium. Hal yang sama terjadi di pulau Sumba. WALHI NTT menyebut 80 persen wilayah pesisir dialihfungsikan untuk kepentingan pariwisata.
“Bahkan temuan WALHI NTT menunjukkan adanya kriminalisasi nelayan, seperti yang terjadi di pesisir pantai Aili, Kabupaten Sumba Tengah,” kata Deddy.
WALHI NTT menyarankan Pemerintah di NTT harus memastikan keberlanjutan dan pelestarian kawasan mangrove di wilayah pesisir. Selain itu, kebijakan pembangunan harus bersahabat dengan nelayan atau adanya perlindungan di wilayah pesisir NTT.
Pemerintah, kata Deddy, harus serius dalam mengimplementasikan Rencana Aksi Daerah NTT Adaptasi Perubahan Iklim (RAD-API ) dengan melibatkan masyarakat dan nelayan.(Joe)