• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, Oktober 19, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Opini

Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani

Oleh: Asti Melisa, Mahasiswa Prodi Hukum di Universitas Muhammadiyah Kupang

Tim Redaksi by Tim Redaksi
12 bulan ago
in Opini
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Efek Patriarki, PMI NTT Paling Banyak Perempuan

Para perempuan NTT calon PMI mengikuti pelatihan kerja di BP3MI NTT. (Dok BP3MI NTT).

0
SHARES
313
VIEWS

Di pedalaman Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Maubasa Barat, Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende terdapat kisah yang tak asing lagi bagi penduduknya.  Kisah tentang perempuan-perempuan tangguh yang merantau demi kesejahteraan keluarga, meninggalkan tanah kelahiran yang dicintai untuk mencari rezeki di negeri orang.  Di sana, di balik kerinduan dan keraguan, terukir tekad kuat untuk  membawa pulang secercah harapan bagi keluarga yang tertinggal.

Perempuan  NTT yang  terbatas  akses  pendidikannya  seringkali  terjebak  dalam  lingkaran  kemiskinan.  Mereka  sulit  mencari  pekerjaan  yang  layak  dengan  penghasilan  yang  cukup.  Kondisi  ini  menjadikan  mereka  rentan  terhadap  eksploitasi  dan  terjebak  dalam  pekerjaan  yang  tidak  menguntungkan.

Peningkatan  pendidikan  bagi  perempuan  NTT  sangat  penting  untuk  menghentikan  angka  kemiskinan  dan  mengurangi  jumlah  perempuan  yang  merantau.  Pendidikan  akan  memberikan  mereka  keterampilan  dan  pengetahuan  yang  dibutuhkan  untuk  memasuki  pasar  kerja  dengan  posisi  yang  lebih  baik.

BacaJuga

Tim Badan Gizi Nasional didampingi Kepala SMP Negeri 8 Kota Kupang, Maria Theresia Rosalina Sadinah Lana memberikan penjelasan resmi tentang keracunan massal siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang setelah mengkonsumsi makanan bergizi gratis pada 23 Juli 2025. (dok. katongntt).

Membaca Krisis MBG (Negara) dari Pinggir

16 Oktober 2025
Beberapa contoh UMKM di NTT yang disebut Kadis Kemenparekraf sebagai salah satu hal yang bisa menarik wisatawan ke NTT (KatongNTT-Ruth)

Program Dukungan UMKM di Daerah Masih Sebatas Jargon

13 Oktober 2025

Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya

Pendidikan  juga  akan  meningkatkan  kesadaran  perempuan  tentang  hak  asasi  mereka,  sehingga  mereka  dapat  berbicara  untuk  diri  sendiri  dan  memperjuangkan  kesetaraan  gender.  Perempuan  yang  berpendidikan  akan  lebih  mampu  menentukan  masa  depan  mereka  sendiri,  baik  dalam  bidang  karir,  keluarga,  maupun  kehidupan  sosial.

Kisah  ini  bukan  hanya  tentang  keberanian  dan  tekad,  tetapi  juga  tentang  realitas  pahit  yang  menyertai  kehidupan  di  NTT.  Krisis  ekonomi  yang  melanda  daerah  ini  menjadi  faktor  utama  yang  mendorong  perempuan  NTT  untuk  merantau. Kehidupan  sehari-hari  dijalani  dengan  susah  payah,  seringkali  diwarnai  oleh  kekurangan  pangan  dan  kesulitan  mencukupi  kebutuhan  hidup.

Perempuan-perempuan NTT memilih merantau  ke  luar negeri seperti Arab Saudi untuk  mengharapkan  hidup  yang  lebih  baik  karena mendapatkan  penghasilan  yang  lebih  tinggi. Penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan adat.

Di desa Maubasa Barat sistem adat masih begitu kuat seperti “Wurumana” atau tradisi memberi sumbangan untuk acara penting. Tradisi ini  menjadi beban yang tak mudah  ditanggung

Sistem  “Wurumana”  menjalankan  prinsip  balas  budi  yang  cukup  kaku.  Namun,  ini  bukan  sekadar  balas  budi.  “Wurumana”  di Ende  Lio,  khususnya  di  Desa  Maubasa  Barat,  merupakan  tradisi  turun  temurun  dengan  aturan  yang  sudah  ditetapkan  oleh  nenek  moyang.  Ini  bukan  sekadar  kewajiban  sosial,  melainkan  aturan  yang  menjalankan  sistem  sosial  di  daerah  tersebut. Jika  keluarga  A  memberikan  uang  dan  kain  tenun  (lawo)  kepada  keluarga  B  saat  pernikahan,  maka  keluarga  B  harus  membalas  dengan  suguhan  yang  sama  saat  keluarga  A  mengadakan  acara.  Jumlah  uang,  barang,  atau  kain  tenun  yang  harus  diberikan  sudah  ditentukan  berdasarkan  tingkat  hubungan  antar  keluarga.

Tradisi  ini  seolah  menjunjung  nilai  gotong  royong,  namun  dalam  praktiknya,  terkadang  menjadi  beban  bagi  keluarga  yang  ekonominya  terbatas.  Bagi  mereka,  “Wurumana”  bukan  sekadar  tradisi  yang  menyenangkan,  melainkan  kewajiban  sosial  yang  menekan.  Keluarga  harus  berusaha  menghasilkan  uang  dan  barang  yang  cukup  untuk  menjalankan  tradisi  tersebut,  seringkali  menggunakan  uang  yang  harus  mereka  pinjam.  Ketidakmampuan  menjalankan  “Wurumana”  bisa  menimbulkan  stigma  negatif  di  masyarakat.

Baca juga: Efek Patriarki, PMI NTT Paling Banyak Perempuan

Perempuan NTT yang  merantau  ke  Arab  Saudi  mencari  cara  untuk  melepaskan  diri  dari  beban  ini.  Mereka  berharap  dengan  menghasilkan  uang  yang  cukup  di  luar  negeri,  keluarga  mereka  dapat  menjalankan  “Wurumana”  tanpa  harus  terlilit  utang.  Mereka  ingin  memerdekakan  keluarga  dari  kekangan  tradisi  yang  seringkali  menimbulkan  kesulitan  ekonomi. Mereka  berani  menghadapi  tantangan  hidup  di  tanah  asing  demi  mewujudkan  mimpi  yang  sama:  mendapatkan  hidup  yang  lebih  baik  bagi  keluarga  tercinta.

Keberangkatan  mereka  meninggalkan  luka  yang  dalam  di  hati  keluarga.  Suami  yang  seharusnya  berperan  sebagai  ayah  dan  pencari  nafkah  terasa  hilang  keberadaannya.  Mereka  hanya  mampu  menjaga  anak-anak  dan  mencari  penghidupan  yang  sangat  terbatas. Namun,  di  balik  kesedihan  perpisahan,  terukir  harapan  yang  membara.  Harapan  untuk  melihat  anak-anak  mereka  mendapatkan  pendidikan  yang  baik,  rumah  yang  nyaman,  dan  masa  depan  yang  cerah.  Harapan  itu  menguatkan  langkah  perempuan  NTT  yang  merantau.  Mereka  menjalani  hidup  di  tanah  asing  dengan  segala  tantangannya,  melakukan  pekerjaan  berat  dengan  penghasilan  yang  tidak  selalu  mencukupi,  hanya  demi  membawa  pulang  berkat  untuk  keluarga  tercinta.

Kisah  perempuan  NTT  yang  merantau  mencerminkan  ketabahan  dan  keuletan  mereka  dalam  mencari  jalan  keluar  dari  kemiskinan  dan  kesulitan  hidup.  Namun,  keberangkatan  mereka  juga  meninggalkan  pertanyaan  mendalam  tentang  peran  laki-laki  dalam  keluarga  dan  tantangan  yang  dihadapi  perempuan  dalam  menemukan  kesejahteraan  di  era  globalisasi.

Kisah  ini  mengajak  kita  untuk  merenungkan  tentang  sistem  sosial  dan  budaya  yang  menjalankan  perempuan  dalam  peran  tradisional  dan  menghambat  potensi  mereka  untuk  mendapatkan  kesempatan  yang  sama.

Baca juga: Mitos dan Tafsir Kitab Suci Picu Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di NTT

Kisah  ini  mengungkapkan  bagaimana  tradisi  yang  seharusnya  menyatukan  masyarakat,  justru  menimbulkan  kesenjangan  dan  kesulitan  bagi  kelompok  yang  kurang  beruntung.  Sistem  “Wurumana”  yang  kaku  harus  dievaluasi  ulang  agar  tidak  menimbulkan  beban  ekonomi  yang  berat  bagi  keluarga.

Peningkatan  kesadaran  masyarakat  tentang  nilai-nilai  kesetaraan  gender  dan  peran  laki-laki  dalam  mencari  nafkah  sangat  penting.  Diskusi  terbuka  tentang  tradisi  “Wurumana”  dan  dampaknya  terhadap  kehidupan  masyarakat  di  desa  Maubasa  Barat  perlu  dilakukan. Dengan  begitu,  perempuan  di  NTT  tidak  lagi  terpaksa  merantau  jauh-jauh  demi  kesejahteraan  keluarga.  Mereka  dapat  berkembang  di  tanah  air  sendiri  dengan  kesempatan  yang  sama  dan  menjalankan  tradisi  “Wurumana”  dengan  cara  yang  lebih  adil  dan  berkelanjutan.

Diharapkan  ke depan,  perempuan  NTT  dapat  mendapatkan  kesempatan  yang  lebih  baik  untuk  mengembangkan  potensi  mereka,  baik  dalam  bidang  pendidikan,  ekonomi,  maupun  sosial.  Kita  harus  bersama-sama  menciptakan  lingkungan  yang  kondusif  bagi  perempuan  untuk  berkembang  dan  berkontribusi  dalam  membangun  masa  depan  yang  lebih  baik  bagi  diri  sendiri,  keluarga,  dan  masyarakat. Sebagai  solusi,  diperlukan  upaya  untuk  meningkatkan  kesempatan  kerja  dan  perekonomian  di  daerah  NTT.  Pemerintah  dan  organisasi  masyarakat  harus  bersama-sama  mendorong  program-program  yang  mendukung  ketahanan  ekonomi  masyarakat  di  daerah  tersebut.

Semoga  kisah  ini  menginspirasi  kita  untuk  bersama-sama  mencari  solusi  yang  berkelanjutan  dalam  mengatasi  kesenjangan  dan  kesulitan  hidup  yang  dihadapi  perempuan NTT. Selain  upaya  pemerintah,  peran  masyarakat  juga  sangat  penting  dalam  mendukung  pendidikan  perempuan.  Keluarga,  sekolah,  dan  organisasi  masyarakat  harus  bersama-sama  menciptakan  lingkungan  yang  kondusif  bagi  perempuan  untuk  mengakses  dan  menikmati  pendidikan.

Pendidikan  bukan  hanya  mencerdaskan  bangsa,  tetapi  juga  merupakan  kunci  untuk  memerdekakan  perempuan  NTT dari  kemiskinan  dan  ketidakberdayaan.  Dengan  meningkatkan  akses  dan  kualitas  pendidikan,  kita  dapat  menciptakan  generasi  perempuan  NTT  yang  kuat,  independen,  dan  mampu  memperjuangkan  masa  depan  yang  lebih  baik  bagi  diri  sendiri,  keluarga,  dan  masyarakat. [*]

Tags: #DesaMaubasabarat#EndeLio#Kemiskinan#PerempuanNTT#TradisiWurumana
Tim Redaksi

Tim Redaksi

Media berita online berkantor di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Baca Juga

Tim Badan Gizi Nasional didampingi Kepala SMP Negeri 8 Kota Kupang, Maria Theresia Rosalina Sadinah Lana memberikan penjelasan resmi tentang keracunan massal siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang setelah mengkonsumsi makanan bergizi gratis pada 23 Juli 2025. (dok. katongntt).

Membaca Krisis MBG (Negara) dari Pinggir

by KatongNTT
16 Oktober 2025
0

MBG (Makanan Bergizi Gratis) adalah program unggulan Presiden Prabowo yang terlalu rapuh. Dengan dana begitu besar, desain program MBG bermasalah...

Beberapa contoh UMKM di NTT yang disebut Kadis Kemenparekraf sebagai salah satu hal yang bisa menarik wisatawan ke NTT (KatongNTT-Ruth)

Program Dukungan UMKM di Daerah Masih Sebatas Jargon

by KatongNTT
13 Oktober 2025
0

Laurensius Bagus, mahasiswa di Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. (KatongNTT) Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah terus menempatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati