Kupang – Mengapa kekerasan terhadap anak dan perempuan terus berkembang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? Apakah hukum masih terlalu lunak? Bagaimana Gereja dalam memandang perempuan?
Pertanyaan di atas mengemuka dalam Dialog Publik Perempuan Berdaya, Indonesia Maju pada Jumat, 16 Desember 2022. Acara ini diselenggarakan Dewan Pengurus Cabang Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Paroki Santa Maria Assumpta, Kota Baru Kupang, NTT untuk memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2022.
Veronika Ata, aktivis perlindungan anak dan perempuan, sebagai pembicara dalam dialog publik ini memaparkan, angka kekerasan seksual terhadap anak di NTT pada tahun 2021 sebanyak 34 kasus . Menyusul masalah hak asuh anak 8 kasus, penganiayaan dan perdagangan anak (trafficking) masing-masing 7 kasus. Selanjutnya, penelantaran anak 6 kasus, Kekerasan dalam rumah tangga: fisik dan psikis 4 kasus, dan anak berhadapan dengan hukum 4 kasus.
Baca juga: Ironi Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Orang Terdekat Jadi Pelaku, Berdamai Jadi Solusi
“Anak itu rentan, ketika mengalami kekerasan dia tidak mampu membela dirinya sendiri,” kata Tori Ata, sapaan akrab Veronika Ata.
Orang tua, masyarakat, dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak anak yang diatur dalam hukum nasional maupun internasional. Ada 4 hak utama anak yang harus dipenuhi dan dilindungi. Yakni hak untuk hidup, bertumbuh kembang, mendapat perlindungan, dan berpartisipasi,
Masyarakat NTT masih percaya dalam mendidik anak dengan melakukan kekerasan terhadap anak. Misalnya memaki, memukul, mencubit, menendang, dan menampar anak.
Ini wujud dari mitos “ di ujung rotan ada emas” yang dipercaya masyarakat NTT dalam mendidik anak.
Para peserta dialog publik yang mayoritas perempuan tersenyum mendengarkan tentang mitos tersebut. Beberapa ibu saling mengingatkan agar mereka tidak mempraktekkan cara ini kepada anak mereka.
“Cubit juga tidak boleh ko,” kata seorang peserta.
Selain masalah kekerasan terhadap anak, masalah kekerasan terhadap perempuan juga masih banyak ditemukan di NTT. Masalah tingginya pengajuan perceraian oleh pasangan yang baru beberapa tahun menikah, menjadi sorotan peserta. Padahal Gereja Katolik tidak pernah mengizinkan perceraian.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Kekerasan Pada Perempuan Jalan di Tempat
Romo Giovani Adytia Pr, pemateri dalam dialog publik ini menegaskan, Gereja tidak pernah memberikan surat cerai atau merestui perceraian. “Yang Gereja lakukan adalah anulasi, dan prosedurnya juga sangat ketat, ada tribunal, “ ujarnya.
Anulasi itu dikeluarkan oleh keputusanTribunal yang menyatakan bahwa perkawinan terbukti telah batal sejak awalnya.
Di awal memberikan materi, Romo Adytia memaparkan tentang sejarah panjang Gereja memandang perempuan. Menurutnya, dalam sejarah panjang Gereja pernah ada tafsir-tafsir yang mengsubordinasikan perempuan.
Pada masa itu, tafsir dari Kitab Kejadian telah menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Namun Gereja dalam dinamikanya menyadari kekeliruannya.
“Gereja kemudian memperbaharui tafsiran yang keliru bahwa martabat perempuan mulia sejak awal diciptakan Allah,” kata Romo Aditya.
Dia menegaskan, citra Allah ada pada perempuan dan laki-laki.
Baca juga: Menggagas Kolaborasi Setara Antara Budaya, Gereja, dan Negara
Tori Ata dalam paparannya menyebutkan bahwa penyebab kekerasan terhadap perempuan antara lain adalah penafsiran agama tentang perempuan. Dalam beberapa kasus yang dia advokasi, kaum pria mengutip secara keliru isi Kitab Suci tentang peran perempuan. Cara ini dipakai untuk membenarkan subordinasi perempuan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Adapun penyebab lain suburnya kekerasan terhadap perempuan adalah sosial/budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan media sosial di era digitalisasi.
Memberdayakan Perekonomian Perempuan
Raineldis Hayon, pemateri yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam memberdayakan perekonomian perempuan, disambut peserta dengan antusias. Ibu tiga anak ini membantu memberdayakan perempuan-perempuan di Kabupaten Kupang lewat usaha berskala kecil (UMKM).
Dia memotivasi perempuan-perempuan tersebut untuk memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya untuk mendapatkan penghasilan. Seperti kelor yang diolah menjadi teh kelor dan menganyam tas dari pelepah kelapa. Dari santan kelapa dihasilkan minyak kelapa murni (VCO).
Baca juga: Lima Masalah Utama Dihadapi UMKM NTT
Usaha ini telah membuahkan hasil dengan mengandalkan jejaring dan saling menolong antar sesama perempuan untuk memasarkan produknya.
Dari penghasilan itu, para perempuan membuat komunitas simpan-pinjam untuk membantu modal kerja mereka. Hingga akhirnya berdiri koperasi pada tahun 2017 dengan keanggotaan puluhan perempuan.
“Mari kita bersama-sama berjalan karena banyak hal yang bisa kita lihat, perhatikan dengan hati, maka muncullah ide-ide dan kita berjejaring,” kata Raineldis. *****