• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, Juni 22, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Perempuan dan Anak

Perlawanan Marlina dan Politik Kekerasan terhadap Perempuan NTT

Etika publik menuntut kita bukan hanya untuk tidak melukai orang lain, tapi juga tidak membiarkan mereka dilukai di depan mata. Ketika perempuan seperti Marlina harus mengangkat parang karena polisi tak mau mengangkat telepon, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar hidup dalam masyarakat, atau hanya dalam kerumunan yang saling menutup mata?

PriyaHusada by PriyaHusada
1 bulan ago
in Perempuan dan Anak
Reading Time: 3 mins read
A A
0
Satu adegan menyentuh hati terdalam dalam Film Marlina Si Pembunuh Empat Babak, ketika Marlina melaporkan dirinya telah membunuh pria yang telah memperkosanya dan aparat polisi tidak tergugah mendengar nya.

Satu adegan menyentuh hati terdalam dalam Film Marlina Si Pembunuh Empat Babak, ketika Marlina melaporkan dirinya telah membunuh pria yang telah memperkosanya dan aparat polisi tidak tergugah mendengar nya.

0
SHARES
65
VIEWS

Dalam sunyi sabana Sumba, seorang perempuan dipaksa bertindak. Tapi jauh dari layar, berapa banyak Marlina yang tetap bungkam dalam sistem yang tidak pernah menganggap luka mereka sebagai perkara mendesak?

Masih ingat Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak? Film Indonesia yang dibintangi oleh Marsha Timothy dan dirilis pada tahun 2017 ini bukan hanya mengguncang festival film internasional seperti Cannes, Toronto, dan Busan, tapi juga membawa pulang penghargaan Best Scenario di Festival Film Indonesia 2017 dan masuk daftar Top 10 Films of the Year versi The Hollywood Reporter. Karya Mouly Surya itu menjadi satay Western pertama dari Asia Tenggara yang dengan sunyi tapi tajam mengiris luka kolektif perempuan — terutama mereka yang hidup di pinggiran republik.

Baca juga: Perempuan di NTT Belum Berdaulat pada Rahimnya dalam Program KB

BacaJuga

Ilustrasi Fakta Pemerkosaan Mei 1998

Membungkam Ingatan: Takedown Mei 1998 dan Perlawanan Digital Masyarakat Sipil

20 Juni 2025
Ilustrasi beberapa anak sekolah merokok . (Unair.co.id)

Anak Merokok Aktif Marak di Maumere, Bisakah Kita Peduli dan Bertindak?

14 Juni 2025

Marlina adalah suara yang muncul dari ruang-ruang yang lama diredam. Ia perempuan yang tinggal di pelosok Sumba, hidup sendiri, dan ketika sekelompok pria datang untuk memperkosanya, ia tidak meminta pertolongan. Ia membunuh. Tapi pembunuhan itu bukan klimaks — ia adalah awal dari perjalanan panjang dalam sistem yang tidak percaya pada kebenaran dari mulut perempuan.

Film ini, secara struktural, dibagi dalam empat babak: perampokan, perjalanan, pengakuan, dan kelahiran. Tapi lebih dari itu, ia mencerminkan siklus yang terus berulang dalam kehidupan perempuan di Indonesia: kekerasan yang dilegalkan oleh budaya, pelarian yang ditempuh dalam sunyi, pengakuan yang tertahan di institusi yang beku, dan harapan yang dipaksa lahir di tengah luka.

Politik Tubuh dan Sunyi yang Diwariskan

Dalam esainya yang terkenal The Uses of the Erotic, Audre Lorde menulis bahwa tubuh perempuan telah lama dijadikan alat kontrol oleh sistem patriarki — bukan hanya sebagai objek, tapi juga sebagai simbol kuasa yang harus dijinakkan. Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, tubuh perempuan menjadi arena paling kasat dari kekuasaan adat, negara, dan ekonomi. Ia tidak pernah sepenuhnya milik perempuan itu sendiri.

Dalam jurnal Jurnal Perempuan edisi 96 tahun 2018, studi yang dilakukan oleh Lita Anggraini dan Forum Komunikasi Masyarakat Adat (FKMA) mencatat bahwa di banyak komunitas adat di NTT, kekerasan terhadap perempuan masih dianggap urusan keluarga, diselesaikan lewat denda adat, atau bahkan dianggap sebagai “kesalahan perempuan karena meninggalkan rumah tanpa izin.” Dalam konteks ini, Marlina adalah pengecualian — ia memilih melawan, dan dengan itu, ia juga ditolak oleh sistem.

Baca juga: Resensi: Hati Bening di Balik Jendela, Refleksi tentang Pergulatan Perempuan Timor

 

Cover Film Marlina si Pembunuh Empat Babak karya Moulky Surya tahun 2017 dan mengguncang festival film internasional seperti Cannes, Toronto, dan Busan, masuk daftar daftar Top 10 Films of the Year versi The Hollywood Reporter.

Cover Film Marlina si Pembunuh Empat Babak karya Moulky Surya tahun 2017.

 

Hukum yang Tak Punya Telinga

Adegan paling memilukan dalam Marlina bukan ketika kepala Markus dipenggal, tapi ketika Marlina duduk di kantor polisi kecil, menjelaskan apa yang terjadi, dan tidak satu pun petugas terlihat tergugah. Sistem hukum Indonesia, terutama di wilayah terpencil, sering kali mewarisi sikap pasif, misoginis, dan birokratis dari negara kolonial yang lebih peduli pada stabilitas ketimbang keadilan.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, jumlah kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) yang tercatat mencapai 330.097 kasus, meningkat 14,17% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 289.111 kasus. Sebagian besar kasus ini terjadi di ranah personal/domestik, menunjukkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan dan hanya sebagian kecil yang berujung pada hukuman pelaku. Banyak di antaranya berhenti di level laporan, didamaikan secara sepihak, atau dihentikan karena tidak cukup “bukti yang meyakinkan”.

Pertanyaannya: bukti seperti apa yang harus dimiliki seorang perempuan agar didengar?

Melahirkan di Tengah Luka

Simbolisme yang paling kuat  dalam film ini terjadi di babak terakhir: kelahiran. Novi, perempuan hamil yang ikut Marlina, melahirkan di rumah Marlina saat trauma belum reda, saat dunia belum berubah. Mouly Surya seakan ingin berkata: hidup tetap lahir, meski dunia belum layak dihuni.

Namun justru di sanalah letak daya film ini: ia tidak memberikan resolusi yang nyaman. Marlina tidak menang. Ia hanya bertahan.

Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?

Apakah Kita Layak Menyebut Diri Masyarakat?

Etika publik menuntut kita bukan hanya untuk tidak melukai orang lain, tapi juga tidak membiarkan mereka dilukai di depan mata. Ketika perempuan seperti Marlina harus mengangkat parang karena polisi tak mau mengangkat telepon, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar hidup dalam masyarakat, atau hanya dalam kerumunan yang saling menutup mata?

Filsuf Emmanuel Levinas menyebut “wajah orang lain” sebagai panggilan etis. Ketika Marlina mengangkat kepala Markus, ia bukan hanya membawa bukti. Ia membawa wajah ketidakadilan yang ditolak dilihat oleh dunia.

Penutup: Marlina Tidak Sendiri, Tapi Terlalu Lama Dibiarkan Sendiri

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film yang masih relevan hingga kini, karena kenyataan sosial yang ia pantulkan masih utuh: perempuan tidak pernah sepenuhnya aman, bahkan di rumah sendiri. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka juga tidak sepenuhnya didengar — baik oleh hukum, budaya, maupun media.

Untuk masyarakat NTT — dan Indonesia lebih luas — pertanyaannya sederhana: berapa banyak lagi Marlina yang harus membawa kepalanya sendiri agar kita percaya bahwa perempuan juga bisa, dan harus, didengar? [*]

 

Tags: #FilmMarlinaSiPembunuhEmpatBabak#Kekerasanterhadaperempuan#KomnasPerepmuan#PerempuanNTT#Sumba
PriyaHusada

PriyaHusada

Baca Juga

Ilustrasi Fakta Pemerkosaan Mei 1998

Membungkam Ingatan: Takedown Mei 1998 dan Perlawanan Digital Masyarakat Sipil

by Rita Hasugian
20 Juni 2025
0

Pagi itu, 18 Juni 2025, pengelola akun @neohistoria_id membuka surel dari platform X. Isinya mengejutkan—pemberitahuan resmi bahwa Kementerian Komunikasi dan...

Ilustrasi beberapa anak sekolah merokok . (Unair.co.id)

Anak Merokok Aktif Marak di Maumere, Bisakah Kita Peduli dan Bertindak?

by Rita Hasugian
14 Juni 2025
0

Waiblama – Di tengah perbukitan di Kecamatan Waiblama, Maumere, Kabupaten Sikka, kisah seperti Roky bukan hal langka. Roky (bukan nama...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati