Dalam sunyi sabana Sumba, seorang perempuan dipaksa bertindak. Tapi jauh dari layar, berapa banyak Marlina yang tetap bungkam dalam sistem yang tidak pernah menganggap luka mereka sebagai perkara mendesak?
Masih ingat Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak? Film Indonesia yang dibintangi oleh Marsha Timothy dan dirilis pada tahun 2017 ini bukan hanya mengguncang festival film internasional seperti Cannes, Toronto, dan Busan, tapi juga membawa pulang penghargaan Best Scenario di Festival Film Indonesia 2017 dan masuk daftar Top 10 Films of the Year versi The Hollywood Reporter. Karya Mouly Surya itu menjadi satay Western pertama dari Asia Tenggara yang dengan sunyi tapi tajam mengiris luka kolektif perempuan — terutama mereka yang hidup di pinggiran republik.
Baca juga: Perempuan di NTT Belum Berdaulat pada Rahimnya dalam Program KB
Marlina adalah suara yang muncul dari ruang-ruang yang lama diredam. Ia perempuan yang tinggal di pelosok Sumba, hidup sendiri, dan ketika sekelompok pria datang untuk memperkosanya, ia tidak meminta pertolongan. Ia membunuh. Tapi pembunuhan itu bukan klimaks — ia adalah awal dari perjalanan panjang dalam sistem yang tidak percaya pada kebenaran dari mulut perempuan.
Film ini, secara struktural, dibagi dalam empat babak: perampokan, perjalanan, pengakuan, dan kelahiran. Tapi lebih dari itu, ia mencerminkan siklus yang terus berulang dalam kehidupan perempuan di Indonesia: kekerasan yang dilegalkan oleh budaya, pelarian yang ditempuh dalam sunyi, pengakuan yang tertahan di institusi yang beku, dan harapan yang dipaksa lahir di tengah luka.
Politik Tubuh dan Sunyi yang Diwariskan
Dalam esainya yang terkenal The Uses of the Erotic, Audre Lorde menulis bahwa tubuh perempuan telah lama dijadikan alat kontrol oleh sistem patriarki — bukan hanya sebagai objek, tapi juga sebagai simbol kuasa yang harus dijinakkan. Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, tubuh perempuan menjadi arena paling kasat dari kekuasaan adat, negara, dan ekonomi. Ia tidak pernah sepenuhnya milik perempuan itu sendiri.
Dalam jurnal Jurnal Perempuan edisi 96 tahun 2018, studi yang dilakukan oleh Lita Anggraini dan Forum Komunikasi Masyarakat Adat (FKMA) mencatat bahwa di banyak komunitas adat di NTT, kekerasan terhadap perempuan masih dianggap urusan keluarga, diselesaikan lewat denda adat, atau bahkan dianggap sebagai “kesalahan perempuan karena meninggalkan rumah tanpa izin.” Dalam konteks ini, Marlina adalah pengecualian — ia memilih melawan, dan dengan itu, ia juga ditolak oleh sistem.
Baca juga: Resensi: Hati Bening di Balik Jendela, Refleksi tentang Pergulatan Perempuan Timor
Cover Film Marlina si Pembunuh Empat Babak karya Moulky Surya tahun 2017.
Hukum yang Tak Punya Telinga
Adegan paling memilukan dalam Marlina bukan ketika kepala Markus dipenggal, tapi ketika Marlina duduk di kantor polisi kecil, menjelaskan apa yang terjadi, dan tidak satu pun petugas terlihat tergugah. Sistem hukum Indonesia, terutama di wilayah terpencil, sering kali mewarisi sikap pasif, misoginis, dan birokratis dari negara kolonial yang lebih peduli pada stabilitas ketimbang keadilan.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, jumlah kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) yang tercatat mencapai 330.097 kasus, meningkat 14,17% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 289.111 kasus. Sebagian besar kasus ini terjadi di ranah personal/domestik, menunjukkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan dan hanya sebagian kecil yang berujung pada hukuman pelaku. Banyak di antaranya berhenti di level laporan, didamaikan secara sepihak, atau dihentikan karena tidak cukup “bukti yang meyakinkan”.
Pertanyaannya: bukti seperti apa yang harus dimiliki seorang perempuan agar didengar?
Melahirkan di Tengah Luka
Simbolisme yang paling kuat dalam film ini terjadi di babak terakhir: kelahiran. Novi, perempuan hamil yang ikut Marlina, melahirkan di rumah Marlina saat trauma belum reda, saat dunia belum berubah. Mouly Surya seakan ingin berkata: hidup tetap lahir, meski dunia belum layak dihuni.
Namun justru di sanalah letak daya film ini: ia tidak memberikan resolusi yang nyaman. Marlina tidak menang. Ia hanya bertahan.
Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?
Apakah Kita Layak Menyebut Diri Masyarakat?
Etika publik menuntut kita bukan hanya untuk tidak melukai orang lain, tapi juga tidak membiarkan mereka dilukai di depan mata. Ketika perempuan seperti Marlina harus mengangkat parang karena polisi tak mau mengangkat telepon, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar hidup dalam masyarakat, atau hanya dalam kerumunan yang saling menutup mata?
Filsuf Emmanuel Levinas menyebut “wajah orang lain” sebagai panggilan etis. Ketika Marlina mengangkat kepala Markus, ia bukan hanya membawa bukti. Ia membawa wajah ketidakadilan yang ditolak dilihat oleh dunia.
Penutup: Marlina Tidak Sendiri, Tapi Terlalu Lama Dibiarkan Sendiri
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film yang masih relevan hingga kini, karena kenyataan sosial yang ia pantulkan masih utuh: perempuan tidak pernah sepenuhnya aman, bahkan di rumah sendiri. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka juga tidak sepenuhnya didengar — baik oleh hukum, budaya, maupun media.
Untuk masyarakat NTT — dan Indonesia lebih luas — pertanyaannya sederhana: berapa banyak lagi Marlina yang harus membawa kepalanya sendiri agar kita percaya bahwa perempuan juga bisa, dan harus, didengar? [*]