Jakarta – Dalam sebuah video yang kini viral, Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi tampak berbincang dengan seorang bapak yang memiliki sebelas anak. Di tengah percakapan, sang bapak menyebut bahwa istrinya sedang hamil anak ke-12. Reaksi spontan Kang Dedi pun terdengar ringan namun mengundang diskusi: “Sebelas anak? Bapaknya yang KB dong.”
Tawa pun pecah, namun ironinya menyayat: tubuh sang ibu, yang bekerja hampir dua dekade tanpa jeda, kembali jadi bahan ejekan. Yang menganggur adalah sang suami. Yang terus bekerja dan melahirkan adalah sang istri. Namun yang ditanya soal keputusan ber-KB justru sang ayah—dan ia menolak, dengan alasan agama.
Baca juga: Hormati Perempuan Memilih Childfree
Tubuh Perempuan, Kuasa Siapa?
Di banyak rumah tangga Indonesia, termasuk di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, keputusan tentang kontrasepsi bukan milik perempuan. Banyak ibu mengaku tidak berani menolak permintaan suami untuk berhubungan intim, bahkan ketika tubuhnya belum pulih dari persalinan. Yang lebih menyakitkan: keputusan itu kerap dibalut atas nama agama.
Mariana Yunita Hendriyani, pendiri komunitas Tenggara yang bergerak di bidang edukasi hak kesehatan reproduksi di NTT, pernah menyampaikan bahwa orangtua harus memastikan anak-anak memiliki pemahaman komprehensif soal hak kesehatan seksual dan reproduksi. “Agar mereka bisa bersikap bertanggung jawab atas tubuh mereka sendiri,” ujarnya (IDN Times, 2021).
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Jurnal Women’s Health and Reproductive Rights in Southeast Asia (2023) mencatat bahwa 61 persen perempuan di kawasan timur Indonesia tidak memegang keputusan akhir soal kontrasepsi. Sebagian besar menyerah pada keputusan suami atau pemuka agama. Bagi sebagian lelaki, menggunakan alat kontrasepsi seperti vasektomi dianggap “tidak jantan”—dan yang seharusnya dikendalikan adalah tubuh perempuan.
Antara Agama dan Cinta yang Membungkam
Dalam video itu, Kang Dedi memang menyampaikan niat baik. Tapi kalimatnya yang ringan dan disambut tawa membuka luka yang lebih dalam. Lelucon tentang jumlah anak bukanlah hal baru. Tapi mengapa tak seorang pun bertanya: bagaimana kabar si ibu?
Apakah ia menginginkan 12 anak? Apakah ia pernah punya ruang untuk menolak? Apakah ia tahu tubuhnya punya hak?
Sang ayah menolak vasektomi karena keyakinan. Tapi pertanyaannya: apakah iman lebih penting daripada pendidikan anak-anaknya? Daripada keselamatan sang ibu? Daripada keadilan dalam rumah tangga?
R.A. Kartini, lebih dari satu abad lalu, telah menulis dalam suratnya kepada Abendanon: “Sampai kini perempuan adalah budak dari pria. Kewajibannya melahirkan dan melayani.” Hari ini, kalimat itu tetap terasa relevan.
Kedaulatan Ibu: Bukan Kompromi, Tapi Hak
Di banyak dusun di Indonesia timur, para ibu tahu bahwa mereka letih. Tapi mereka tidak tahu bahwa mereka punya pilihan. Atau lebih tepatnya: tidak diberi tahu bahwa mereka boleh memilih. Banyak dari mereka yang dilarang menggunakan spiral karena dianggap “dosa”. Ketika ditanya soal vasektomi, mereka tertawa getir. “Laki-laki mana yang mau?”
Tawa ini—yang terdengar juga dari Kang Dedi—menjadi bukti bahwa tubuh perempuan masih jadi ladang tafsir maskulin.
Aktivis perempuan asal Mesir, Nawal El Saadawi, pernah berkata bahwa perjuangan sejati bukan antara Barat dan Islam, atau antara pria dan wanita. “Tapi antara mereka yang menggunakan agama untuk berkuasa dan mereka yang menggunakannya untuk membebaskan.” (The Hidden Face of Eve, 1977).
Sementara akademisi asal Uganda, Sylvia Tamale, dalam kuliahnya di Universitas Makerere, menegaskan: “Vagina adalah bagian tubuh perempuan yang paling banyak diatur—oleh negara, oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan lain.” (Kuliah umum, “Decolonizing the Academy”, 2011).
Baca juga: Pasien Keluhkan Surat Keterangan Miskin Tak Lagi Berlaku di RSUD Naibonat
Kita Butuh Apa?
Bukan kebijakan satu arah. Bukan ejekan. Bukan pula candaan yang menjadikan tubuh ibu sebagai punchline politik populis.
Yang kita butuhkan adalah kedaulatan. Hak penuh seorang ibu atas tubuhnya sendiri. Hak untuk memutuskan mau punya anak berapa, kapan, dan bagaimana. Hak untuk menolak—bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa rahimnya bukan milik siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
Program Keluarga Berencana bukan sekadar alat pengendalian populasi. Ia seharusnya jadi tonggak pembebasan: dari kemiskinan, dari keterpaksaan, dan dari patriarki.
Sebagai gambaran, angka kemiskinan di NTT mencapai 19,02 persen pada September 2024. Badan Pusat Statisik NTT pada 15 Januari 2025 melaporkan jumlah penduduk miskin mencapai 1,11 juta jiwa. Adapun populasi penduduk NTT tahun 2025 mencapai 5,7 juta jiwa.
Bagaimana dengan angka kematian ibu melahirkan di NTT? BPS mencatat angka kematian ibu melahirkan di NTT mencapai 592 kasus tahun 2024 atau jauh lebih rendah dari target nasional 2024 yakni 205 kasus per 100 ribu kelahiran hidup.
Penyebab kematian ibu melahirkan di NTT tak beda dengan ibu-ibu di daerah lain seperti pendarahan, preeklampsi/eklampsi, infeksi serta trauma obstetri. Khusus untuk NTT, satu penyebab lainnya adalah layanan kesehatan berkualitas yang masih terbatas.
Baca juga: NTT Yang Miskin Selama 8 Gubernur Berganti
Penyair sekaligus aktivis Audre Lorde pernah berkata: “Diam tidak akan menyelamatkanmu.” Maka suara para ibu—yang selama ini tenggelam dalam tawa para lelaki—sudah saatnya didengar. Tidak hanya di meja kebijakan, tapi juga di ruang keluarga.
“Tubuh ibu bukanlah ladang tafsir agama ayah. Ia adalah ruang pribadi yang harus dilindungi oleh hukum dan dihormati oleh cinta.” [*]