Pengantar:
Redaksi KatongNTT.com melakukan liputan jurnalistik tentang temuan puluhan gua pertahanan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang. Kami akan menurunkan hasil liputan secara berseri (1 – 4 tulisan) tentang benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang yang terbesar di Indonesia.
Berawal dari cerita kenangan masa kecil warga tentang gua yang mereka sebut lubang untuk bermain di masa mereka kecil. Cerita dari mulut ke mulut yang kemudian ditelusuri sepasang pendeta majelis Gereja GMIT Mizpa di Kampung Bonen. Hasil penelusuran itu mengungkap kemungkinan gua-gua ini sebagai benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang. Temuan ini dinilai memperkaya sejarah peran Pulau Timor dalam Perang Dunia II yang kurang mendapat perhatian serius pemerintah daerah selama ini.
“Tempat ini sangat luar biasa, terkandung nilai sejarah yang luar biasa. Dan ini harus mendapat perhatian dari pemerintah daerah,” ujar Deassy.
Kupang – Pendeta Otniel Dhany Liu bersama istrinya, Pendeta Deazy Liu – Tatengkeng tampak sibuk. Beberapa mobil dan motor terparkir di halaman Gereja Mizpa di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Di sudut halaman gereja dekat gerbang masuk, tampak tokoh masyarakat Bonen, Opa Niko Bahas, Opa Saul Konis dan beberapa orang lainnya duduk sambil berdiskusi pada Kamis, 4 Agustus 2022. Di depan gereja, para peramuwisata Kota Kupang bersama tim dari Dinas Pariwisata serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang duduk melingkar.
Siang itu, mereka menanti kunjungan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kupang. Hampir jam 12 siang, dua kendaraan roda empat memasuki halaman gereja. Dari atas mobil, turun Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Kupang, Deassy Balo-Foeh dan anggota Mesak Mbura.
Sekitar satu jam kemudian 6 mobil beriringan menuju bukit Fatusuba, bukit tertinggi di Kampung Bonen. Mobil yang ditumpangi Pendeta Dhany memandu perjalanan. Pendeta Dhany menunjukkan beberapa titik gua yang dilewati. Awalnya, mereka mendengarkan penjelasan tentang puluhan gua di Kampung Bonen.
Rombongan dibuat tercengang saat memasuki gua yang diberi nama oleh warga, yakni Gua Barak Pasukan. Kekaguman tersebut lantaran puluhan gua yang diduga dibuat pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 itu masih terjaga baik oleh warga. Hanya di beberapa titik yang runtuh karena Badai Seroja setahun lalu.
Sekitar 80 tahun berlalu setelah Jepang menduduki Pulau Timor, informasi tentang keberadaan puluhan gua di Kampung Bonen baru tersiar secara luas. Pasangan Pendeta Dhany dan Pendeta Deasy yang melayani di Jemaat Gereja Mizpa Bonen punya andil besar dalam mengangkat keberadaan puluhan gua tersebut.
Bersama para pemuda setempat, Pendeta Dhany mengidentifikasi sekitar 53 gua. Gua-gua tersebut tersebar di sekitar bukit Fatusuba, di pemukiman warga, dan di pinggir kali yang tak jauh dari bukit Fatusuba.
“Puluhan gua ini kalau disambungkan panjangnya sekitar 5 kilometer,” ujar Dhany menjelaskan pada rombongan.
Suasana dalam gua terasa sejuk. Sirkulasi udara dalam gua pun pun baik karena mulut gua yang terbuka dan kondisi gua yang tetap bersih.
“Uniknya gua-gua di kampung Bonen ini saling terhubung antara mulut gua yang satu dengan gua yang lainnya,” jelas Dhany.
Rombongan melanjutkan perjalanan mereka menyusuri gua. Sinar dari senter yang dipegang Dhany dibantu nyala senter handphone para pengunjung memandu penjelajahan tersebut.
Decak kagum pada konstruksi gua dan pemilihan lokasi yang strategis menjadi perbincangan rombongan. Perjuangan membangun benteng bawah tanah bagi tentara Jepang itu menjadi bahan obrolan diantara mereka.
Cerita beberapa warga Kampung Bonen yang menjadi saksi mata pendudukan Jepang bahwa puluhan gua itu dibangun oleh pemuda-pemuda dari Pulau Rote dan Pulau Timor. Beberapa benda peninggalan pasukan Jepang dijadikan lonceng gereja. Benda lain seperti proyektil peluru, ranjau darat yang sudah berkarat ditemukan warga menguatkan dugaan puluhan gua itu warisan pasukan Jepang pada masa Perang Dunia II.
Objek bersejarah tersebut menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Seperti berapa banyak warga yang dikerahkan membangun puluhan gua dan berapa banyak yang menjadi korban saat bekerja.
“Bayangan saya adalah orang tua kita dulu bekerja menggunakan tenaga mereka dan tangan kosong untuk membangun gua sebagai benteng pertahanan Jepang yang ada di sini,” kata Ketua Komisi III, Deassy Balo-Foeh.
“Ada cerita bagaimana orang timur bertahan sebagai warga Republik Indonesia, tetapi juga cerita bagaimana mereka dijajah oleh Jepang,”tambahnya.
Dari Gua Barak Pasukan, rombongan keluar di gua lain yang punya fungsi sama dan saling terhubung. Mereka kemudian masuk ke gua lain yang terhubung dengan satelit pantau di puncak bukit.
Suasana puncak bukit Fatusuba menyambut para rombongan setelah meniti satu demi satu anak tangga menuju puncak bukit. Beberapa orang bergegas menuju panggung kayu yang dibuat warga untuk berfoto. Masing-masing mengambil gadgetnya dan mengabadikan momen tersebut.

Wisata Alam dan Wisata Sejarah
Terik matahari menyengat di Kampung Bonen. Rombongan melanjutkan diskusi seputar pengembangan puncak bukit Fatusuba menjadi objek wisata alam dan wisata sejarah.
Para anggota Dewan berdiskusi dengan Kepala Dinas Pariwisita Kabupaten Kupang, Piter Sabaneno untuk membangun lopo-lopo sebagai tempat berteduh diatas puncak Fatusuba. Lokasi ini memang strategis dengan pemandangan yang indah, terutama di sore hari. Pengunjung bisa bersantai menikmati senja setelah menyusuri gua peninggalan Jepang.
“Kami sudah berdiskusi dengan Kadis Pariwisata setelah ini kami akan rapat tindak lanjut kunjungan hari ini dan akan kami anggarkan tahun depan,” kata Deassy.
Dari puncak Fatusuba, rombongan bergeser ke gua Panglima. Gua ini cukup unik dengan tiga pos penjagaan. Ada parit yang menghubungkan antara mulut gua utama ke pos-pos ini. Gua yang hanya memiliki satu kamar ini, punya 3 mulut gua.
“Rumah para petinggi itu biasanya punya pos penjagaan. Nah dari sini kami mengasumsikan bahwa ini adalah gua bagi petinggi perang pasukan Jepang,” kata Dhany menjelaskan sebelum rombongan masuk ke dalam gua.
Dugaan itu semakin dikuatkan dengan struktur dinding dan atap kamar pada gua tersebut. Dinding dan atapnya dipahat begitu halus.
“Seperti diplester,” kata beberapa orang dibenarkan yang lainnya sambil meraba-raba dinding dan atap gua.
“Ini bisa menjadi wisata alternatif bagi mereka yang berkunjung ke Kota Kupang dan hanya transit beberapa sementara di Bandara El Tari karena jaraknya tidak jauh dari Bandara,” kata Yayang Sutomo, pemandu wisata di Kota Kupang.
Setelah puas menikmati beberapa dari puluhan gua itu, Yayang dan pemandu wisata lain bersepakat untuk kembali lagi saat sore hari. Selain itu menikmati senja, mereka akan mengambil gambar untuk dipromosikan bagi para wisatwan.

“Luar biasa,” itulah kesan yang didapatkan Yayang dan teman-teman.
“Setelah 80 tahun, gua ini masih rapi, arsitekturnya sangat bagus. Tetapi dibalik ini juga saya merasa sedih ya, yang membangun ini adalah orang-orang kita, para leluhur kita. Betapa romusha, kerja rodi itu benar-benar ada di NTT,” kata Yayang.
Puluhan gua itu memang menyimpan banyak sejarah. Selain bisa menikmati benteng bawah tanah yang dibuat senyaman mungkin seperti rumah sendiri, gua-gua ini menjadi bukti dari kerja rodi penjajah Jepang.
DPRD Kabupaten Kupang, menurut Deassy, segera mendorong Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT untuk mempercepat proses pendaftaran situs ini menjadi cagar budaya. Tujuannya, agar bisa terlindungi dan menjadi temapt belajar.
“Tempat ini sangat luar biasa, terkandung nilai sejarah yang luar biasa. Dan ini harus mendapat perhatian dari pemerintah daerah,” ujar Deassy.
Puluhan gua dengan berbagai fungsi ini menjadi benteng pertahanan yang sangat aman bagi Jepang. Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, belum ada catatan sejarah tentang puluhan gua beserta cerita mengenai kekejaman yang harus dialami para warga saat bekerja. (Joe)