Kupang – Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat tetap ngotot agar siswa-siswi kelas XII di 10 sekolah subuh kendati menuai protes dari publik di daerah hingga nasional.
Imbauan masuk sekolah jam 05.00 Wita memang sempat diubah menjadi jam 05.30 Wita di hari kedua setelah penerapannya sejak 27 Februari lalu.
Penolakan tetap saja terus bermunculan. Penolakan ini mempertimbangkan kesehatan mental dan fisik anak akibat mengikuti arahan tak berbasis kajian ilmiah ini. Murid pun sebenarnya tidak sepakat dan terpaksa mengikuti tekanan yang ada.
Siswi kelas XII jurusan IPA SMA Negeri 1 Kota Kupang, Desi Dopong Tonung, mengungkapkan banyak kekurangan dari kebijakan ini.
Ia setuju membawa pendidikan NTT lebih baik tetapi dalam pelaksanaannya tidak semudah ambisi pemerintah.

Baca juga: Kepala SMAN 6 Kupang Surati Orang Tua Berdalih Sekolah Subuh untuk Rehab Kelas
“Kita sebagai siswa tidak semua waktu tidur sama di bawah jam 10. Ada yang waktu malam punya aktivitas sosial misalnya di gereja. Dalam persiapan mendekati ujian ini pun saya dan beberapa teman juga mengambil kursus online,” jelas Desi saat dihubungi.
Terdapat live class selama kursus online yang dia ambil. Kelas ini hanya berlangsung setelah sekolah berakhir yaitu pada malam hari. Kursus ini bisa diikuti hingga di atas jam 10 malam.
“Jadi kalau kita tidur mendekati jam 12 malam kemudian mempersiapkan diri jam 4 pagi untuk ke sekolah jam 5, maka tidak efektif untuk otak kita menerima pelajaran di kelas pagi. Kebijakan begini tidak pas,” ujarnya.
Pada hari pertama saja ia sudah risih. Dan tubuhnya lebih cepat lelah karena sejak pagi-pagi benar dirinya dipaksa untuk berpikir.
Sedangkan saat pulang sekolah dan pada malam hari ada berbagai aktivitas yang juga harus dilakukan. Banyak aktivitas yang perlu diatur apalagi dirinya yang menumpang tinggal di rumah Omanya.
Biasanya saat bangun pagi-pagi di jaml 04.00 Wita, ia akan mempersiapkan diri, menyiapkan buku pelajaran hingga bekal sebelum berangkat ke sekolah. Sekolah dalam imbauannya meminta orang tua menyiapkan bekal untuk anak.
Baca juga: Cerita Siswa Masuk Sekolah Subuh, dari Jalan Kaki 8 Km Hingga Takut Jalanan Sepi
“Karena tinggal bersama wali (Oma) maka persiapan itu harus dilakukan sendiri. Jadi selesai doa, selesai persiapan diri. Lalu siapkan bekal sendiri lagi,” ceritanya.
Ia tidak diantar ke sekolah seperti anak lainnya juga. Pada hari biasa ia akan menggunakan angkutan umum atau bemo dari Kelurahan Oebobo untuk ke sekolah. Sedangkan di jam-jam seperti itu ia hanya dapat menggunakan ojek.
Biaya transportasi sekolah pun membengkak daripada biasanya. Pada jam pagi seperti itupun tidak ada potongan promo juga dari ojek online.
Selisih pengeluaran sejak penerapan sekolah pagi itu kurang lebih sebesar Rp 8 ribu dari hari normal. Biaya itu hanya untuk berangkat ke sekolah.
“Itu seperti tadi pagi sudah Rp 11 ribu. Iya ada tambahan biaya lebih,” ungkap Desi.
Ia juga khawatir saat pergi sendiri di pagi hari dengan ojek seperti itu kendati ada beberapa orang yang juga telah beraktivitas. Jarak dari rumah ke sekolahnya kurang lebih 10-15 menitan.
Sarannya, pemerintah fokus meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah dengan alasan rasional ketimbang mengubah jam pelajaran lebih cepat.
“Yang menjadi atensi publik adalah ngototnya pemerintah dan ngototnya kepala dinas. Ini yang harus dipertimbangkan lagi, bagaimana kinerja dinas ini. Tetapi evaluasi secara menyeluruh kembali lagi kepada gurbernur,” ungkap Ketua Komisi V, Yunus Takandewa, secara terpisah.
Sebelumnya ia menilai Pemerintah Provinsi NTT tidak menghiraukan respons yang menguat di khalayak umum tentang jam sekolah lebih dini ini.
“Pemerintah tetap jalan terus, tetap ngotot, kami Komisi V melihat respon negatif publik ini dan tanggapan pemerintah pusat juga. Kami ingin kebijakan ini dicabut,” lanjut dia.
Baca juga: Dampak Sekolah Subuh, Siswa Rentan Depresi dan Bunuh Diri
Menurut dia, ambisi Gubernur NTT ini sangat kontradiktif terhadap hak-hak anak. Dinas pendidikan pun terbukti tidak fokus pada aspek-aspek kemanusiaan dan hal-hal positif dalam kurikulum merdeka.
Kebijakan ini jelas merisaukan publik ini, kata Yunus, juga menjadi bentuk pemaksaan dan memasung hak-hak anak.
“Yang kita dorong itu sebagaimana kurikulum merdeka ya yang kita lebih fokus pada peningkatan literasi anak, fasilitas pendidikan, aspek-aspek infrastruktur dan kesejahteraan guru,” sebutnya, Jumat 3 Maret 2023.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi, juga disebut sebagai algojo yang atas arahan itu hanya dalam waktu tiga hari setelah Viktor menemuinya.
Pandangan Viktor itu muncul dalam pertemuan bersama seluruh kepala SMAN/SMKN di Kota Kupang pada 23 Februari 2023. Pandangan Viktor dieksekusi Linus tanpa dasar ilmiah maupun landasan hukum apapun.
Linus dalam berbagai kesempatan pun tidak dapat mempertanggungjawabkan dengan sungguh mengenai dasar hukum dan dasar ilmiah dari aturan itu.
“Pak Kadis ini harusnya membuka ruang dengan pihak yang kompeten dalam dunia pendidikan. Jangan sampai hanya menjadi algojo, dalam pengertian, dia menerjemahkan arahan itu begitu saja,” ujar praktisi pendidikan Universitas Nusa Cendana, Marsel Robot, secara terpisah.
Urusan pendidikan adalah urusan masa depan bangsa yang harus berasal dari riset ilmiah. Ia meminta kebijakan ini ditinjau lagi dan memberikan riset yang mendukung kebijakan ini.
“Ini kan sulit kita ukur. Mau ukurnya dengan cara apa? Bukan diterjemahkan instruksi gubernur ini secara langsung oleh Pak Kadis,” ucapnya.
Ia mempertanyakan indikator ilmiah, lamanya penerapan kebijakan ini, serta alat evaluasinya seperti apa saja yang digunakan oleh dinas pendidikan.
“Ini anak-anak menjadi kelinci percobaan dan sebaiknya ini diriset dulu baru kita bisa tau apakah benar ini bisa diberlakukan atau relevan tidaknya,” ungkap Marsel. (Putra Bali Mula)