Selain ilmu pengetahuan, satu hal yang menjadi alat utama seorang psikolog, psikiater, konselor dan rohaniwan adalah telinga. Semua orang punya sepasang telinga. Karena telinga, kIta bisa mendengar. Tapi telinga tidak hanya dapat menangkap bunyi (mendengar) tapi bisa lebih dari itu yakni mendengarkan dan memberi makna.
Untuk sampai bisa mendengarkan tidak cukup telinga saja. Dibutuhkan hati yang membuka diri untuk orang lain.
Baca juga: Melukaimu dengan Begitu Lembut: Apresiasi Puisi “Orang Pilihan”
Dalam banyak hal, kita lebih mudah membuka telinga, namun enggan membuka hati untuk mendengarkan orang lain. Banyak alasannya antara lain : sudah sangat sibuk dengan urusan sendiri, tidak mau mencampuri urusan orang, mendengarkan apalagi dalam waktu lama akan sangat melelahkan dan butuh kesabaran.
Jika saja seseorang punya empati, alasan – alasan enggan membuka hati untuk mendengarkan bisa diatasi.
Seorang pasien dengan wajah murung masuk ke kamar praktik psikiater. Dua jam kemudian pasien ke luar dari kamar praktik. Wajahnya kini berseri – seri. Psikiater itu sama sekali tidak memberi obat. Ia beberapa kali bertanya dan sebagian besar waktu dipakai pasien menumpahkan isi hati dan pikirannya. Psikiater mendengarkan penuh perhatian apa yang diungkapkan pasien. Psikiater hanya sesekali melontarkan tanya untuk memancing pasien menemukan solusi.
Baca juga:Menggagas Kolaborasi Setara Antara Budaya, Gereja, dan Negara
Psikiater telah membuka telinga dan hatinya. Giliran kini pasien membuka dompetnya.
Pemerintah dan anggota parlemen mendapat gaji dari negara yang antara lain berasal dari pajak yang dibayarkan warga negara. Tugas aparat pemerintah dan anggota dewan adalah melayani warga negara. Agar pelayanan berhasil memenuhi keinginan dan kebutuhan warga, perlu mendengarkan aspirasi. Seperti seorang dokter yang telah membuka hati untuk mendengarkan pasiennya lalu mengambil tindakan, demikian halnya pemerintah. Action. Action and Action.