Di tengah laut biru dan pantai berpanorama indah, potensi ekonomi dari hasil laut di Nusa Tenggara Timur masih tersembunyi di balik tantangan akses, literasi pasar, dan daya beli masyarakat. Namun di balik keterbatasan itu, secercah harapan muncul melalui inovasi UMKM lokal seperti CV Elitism, yang mencoba mengubah cara kita memandang rumput laut dan ikan: bukan hanya sebagai hasil tangkapan, tetapi juga sebagai bahan dasar ekonomi kreatif.
“Kami memproduksi kopi laut, hasil fermentasi rumput laut dan kopi,” jelas Fency Ola, staf CV Elitism, dalam ajang Kupang Exotic Festival 2025.
Baca juga: Rumput Laut Nelayan Tablolong Luluhlantak Diterjang Gelombang Laut
Produk mereka tak hanya unik secara rasa, tapi juga secara strategi. Selain kopi, Elitism memproduksi camilan dari cumi, udang, kepiting, dan ikan. Dengan harga Rp 25 ribu per item, produk ini disesuaikan untuk pasar lokal dan mulai menembus Timor Leste.
Produk seperti Abon Ikan Tuna, Kerupuk Rumput Laut, Stick Tinta Cumi, dan Rengginang Cumi ditata di meja stand CV Elitism pada Jumat siang, 27 Juni 2025. .
Saat ini, produk Elitism telah dipasarkan di Kupang, Pulau Rote, dan mulai menembus pasar Timor Leste. Pemasaran secara digital juga terus digencarkan melalui media sosial seperti TikTok dan Instagram dengan nama eliteseafood.
Namun tantangan besar tetap ada.
“Penghasilan kadang tidak ada sama sekali,” ujar Yusri Nubathonis, staf lainnya. Ia menyebut rendahnya daya beli sebagai salah satu kendala utama.
Meski sudah menjual sekitar 100 bungkus dan botol, tantangan daya beli masyarakat masih membayangi. Namun, alih-alih menyerah, CV Elitism memilih jalan adaptif: membuka lapak ikan segar di wilayah jauh dari pantai seperti Amarasi dan Baumata. Langkah ini bukan hanya memperluas pasar, tapi juga mendekatkan produk laut kepada masyarakat pedalaman.
“Setiap hari kami siapkan stok ikan segar,” jelas Fency.
Baca juga: Investor Hong Kong Janji Dirikan Pabrik Rumput Laut di NTT, Jaminkan Rp 14 Miliar
Ruang yang Belum Terisi: Literasi Produk dan Kolaborasi
Meski antusiasme pengunjung tinggi, edukasi soal manfaat dan cara pengolahan produk laut masih minim. Yusri menambahkan, belum ada materi visual atau interaktif di stand mereka yang menjelaskan keunggulan produk.
Kritik ini juga dirasakan oleh Zakarias Doroh, Ketua BPD Desa Tablolong, yang melihat peluang pelatihan masih belum menyentuh akar rumput.
“Saya pernah dengar kopi rumput laut, tapi belum pernah coba. Kami petani di desa ingin juga belajar cara mengolah,” harapnya.
Baca juga: Lima Masalah Utama Dihadapi UMKM NTT

Zakarias menekankan pentingnya kolaborasi antar-UMKM, terutama dalam penguatan kapasitas petani dan nelayan. Ia melihat potensi besar untuk menyatukan keahlian olahan rumput laut dan pemasaran agar hasil produksi desa tidak lagi dijual mentah dengan harga rendah.
Potensi yang belum digarap sepenuhnya
Data dari BPS NTT menunjukkan bahwa Kabupaten Kupang menghasilkan 1,17 juta ton rumput laut pada 2022 — terbanyak di provinsi ini. Tapi hanya sebagian kecil yang diolah menjadi produk bernilai tambah.
Banyak nelayan dan petani belum mengenal metode fermentasi atau pengemasan modern. Di sisi lain, UMKM seperti Elitism belum sepenuhnya mampu menjangkau desa-desa penghasil utama bahan baku mereka. Ketimpangan informasi dan infrastruktur membuat rantai nilai ini belum maksimal.
Untuk menjawab tantangan itu, perlu pendekatan lintas sektor: pelatihan oleh dinas koperasi dan perikanan, keterlibatan akademisi dalam riset pengolahan hasil laut, dan penguatan literasi digital UMKM. Keterlibatan perguruan tinggi dan komunitas bisa memperluas strategi promosi, menciptakan produk baru, dan menyalurkan informasi ke masyarakat.
Jika terhubung dalam satu ekosistem, nelayan, petani, dan pelaku UMKM bisa menjadi mitra sejajar, bukan hanya rantai pasok semata. “Kami ingin jadi bagian dari solusi,” kata Zakarias. (Rian|Rita)