Desa Hewa – Perempuan-perempuan Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur memiliki keterampilan mengolah tanaman liar beracun menjadi aman dikonsumsi. Keterampilan yang diwariskan secara turun temurun ini masih dirawat.
Kara benguk atau kacang ipe __ begitu warga Desa Hewa menamainya__ merupakan tanaman liar beracun yang tumbuh di dekat kebun atau ladang warga (rekat). Jika buahnya cukup matang, warga memetiknya lalu dikupas untuk mengambil bijinya.
Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Minim Dukungan, Perempuan NTT Bangkitkan Kembali Pangan Lokal
Selanjutnya, proses menghilangkan racun dari bijinya membutuhkan waktu berhari-hari. Bahkan warga Desa Hewa memiliki ritual dalam proses menghilangkan racun dari biji kacang
“Proses olahnya panjang dan berisiko. Salah sedikit bisa bikin gatal, mabuk, bahkan keracunan,” kata Maria Mone Soge, penggerak komunitas pangan lokal Weton Helero di Desa Hewa.
Setelah dipanen, kacang dikupas secara hati-hati karena kulit luarnya berbulu halus yang dapat menyebabkan iritasi. Kemudian, kacang direbus sebentar dan direndam dalam air mengalir—biasanya di sungai—selama empat hari agar racunnya hilang.
Ada ritual sebagai kearifan lokal masyarakat Desa Hewa untuk mengolah kacang ipe beracun hingga dapat dimakan secara aman. Setiap tahapan diberi nama. Dimulai dari tahap nian daran yakni panen kacang ipe pada musim kemarau. Kemudian wori yakni proses menjemur kacang hingga kulit luarnya terbuka.
Berikutnya tahap yang dinamakan huna, yaitu perebusan pertama hingga kacang ipe matang. Setelah itu tahap menyimpannya dalam wadah anyaman daun lontar kemudian bagian atasnya dianyam rapat. Tahap ini dinamakan teli dan ledi.

Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Menjaga Pangan Lokal di Kaki Gunung Lewotobi
Setelah itu, tahap na’in berupa merendam kembali kacang dalam sungai selama sehari semalam agar racun benar-benar tersapu air. Setelah itu kacang direbus ulang untuk memastikan benar-benar aman. Barulah kacang ini bisa dikonsumsi atau diolah menjadi beragam masakan tradisional.
Di Hewa, kacang ipe tidak hanya dimakan begitu saja. Warga mengolahnya menjadi lekun—kacang ipe yang ditumbuk dengan lesung dan alu, lalu dicampur kelapa parut (niur kerun) dan dikukus. Bisa juga diisi ke dalam bambu dan dibakar (tu’in), atau dibuat menjadi kolak bersama umbi-umbian dan kacang-kacangan lain.
Kacang ipe tumbuh liar di pinggir kebun (rekat).Setelah dipanen, bijinya disimpan dalam wadah anyaman dari daun lontar (suket) atau bambu betung (sidu) di dalam pondok kecil (mobo) untuk kemudian diolah saat dibutuhkan.
Menariknya, kacang ini tidak diperjualbelikan secara bebas. “Kami hanya konsumsi untuk keluarga dan komunitas karena pengolahannya butuh pengalaman. Kami khawatir orang luar tidak tahu caranya dan bisa berbahaya,” kata Maria.
Kacang beracun yang diolah agar aman dimakan tersebar di tempat lainnya seperti di Pulau Timor dan Lembata. WikiPangan menyebutkan, kacang beracun yang ditemukan di Pulau Timor berupa arbila atau dengan nama Latin, Phaseolus lunatus L (WikiPangan).
Arbila yang sudah siap dikonsumsi disebut kaotpese atau kotpesi (Bahasa Dawan). Kacang ini berpotensi untuk menjadi makanan pokok saat terjadi kelangkaan pangan. Selain sebagai makanan pokok, arbila juga bisa dijadikan sebagai cemilan.
Di Lembata, kacang beracun yang tumbuh liar di kaki Gunung Ile Lewotolok diberi nama kacang ippa.
Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani
Masyarakat desa di Pulau Timor maupun Lembata memiliki ritual khusus untuk membuang racun dari kacang yang tumbuh liar di pinggir hutan atau kebun mereka.
Saat kelaparan terjadi di Lembata tahun 1960-an, kacang ippa menyelamatkan masyarakat dari kelaparan. Kala itu, mereka menghadapi gagal panen akibat kemarau panjang dan hama menyerang tanaman pangan mereka seperti padi, jagung, dan ubi.
Kacang – kacang beracun ini bukan hanya pangan alternatif—ia adalah simbol kearifan lokal, ketekunan, dan ketahanan komunitas. Dalam setiap bijinya, tersimpan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, dari alam langsung ke tangan yang sabar *****
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id