• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Sabtu, Oktober 4, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Perempuan dan Anak

#PerempuanRawatBumi: Tradisi Mengolah Kacang Beracun Jadi Pangan Alternatif

Proses olahnya panjang dan berisiko. Salah sedikit bisa bikin gatal, mabuk, bahkan keracunan,” kata Maria

Difan Fandi by Difan Fandi
2 bulan ago
in Perempuan dan Anak
Reading Time: 3 mins read
A A
0
Buah kacang ipe yang mengandung racun dan tumbuh liar di pinggir kebun warga Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur. Para perempuan Desa Hewa mengolah kacang ipe beracun agar dapat dijadikan makanan alternatif. (Yohanes Fandi/KatongNTT).

Buah kacang ipe yang mengandung racun dan tumbuh liar di pinggir kebun warga Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur. Para perempuan Desa Hewa mengolah kacang ipe beracun agar dapat dijadikan makanan alternatif. (Yohanes Fandi/KatongNTT).

0
SHARES
122
VIEWS

Desa Hewa – Perempuan-perempuan Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur memiliki keterampilan mengolah tanaman liar beracun menjadi aman dikonsumsi. Keterampilan yang diwariskan secara turun temurun ini  masih dirawat.

Kara benguk atau kacang ipe __ begitu warga Desa Hewa menamainya__ merupakan tanaman liar beracun yang tumbuh di dekat kebun atau ladang warga (rekat). Jika buahnya cukup matang, warga memetiknya lalu dikupas untuk mengambil bijinya.

Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Minim Dukungan, Perempuan NTT Bangkitkan Kembali Pangan Lokal

BacaJuga

data hiv/aids di kabupaten sikka, ntt.

Kisah Penyintas HIV/AIDS di Sikka Takut Anaknya Didiskriminasi Masyarakat

19 September 2025
Polres Malaka menetapkan 12 tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap anak SMP di Kabupaten Malaka pada Juli - Agustus 2025. (Dok.TribaratanewsPoldaNTT)

Belasan Pria Lakukan Kekerasan Seksual Terhadap 2 Anak di Malaka dalam Sebulan Ini

27 Agustus 2025

Selanjutnya, proses menghilangkan racun dari bijinya membutuhkan waktu berhari-hari.  Bahkan warga Desa Hewa memiliki ritual dalam proses menghilangkan racun dari biji kacang

“Proses olahnya panjang dan berisiko. Salah sedikit bisa bikin gatal, mabuk, bahkan keracunan,” kata Maria Mone Soge, penggerak komunitas pangan lokal Weton Helero di Desa Hewa.

Setelah dipanen, kacang dikupas secara hati-hati karena kulit luarnya berbulu halus yang dapat menyebabkan iritasi. Kemudian, kacang direbus sebentar dan direndam dalam air mengalir—biasanya di sungai—selama empat hari agar racunnya hilang.

Ada ritual sebagai kearifan lokal masyarakat Desa Hewa untuk mengolah kacang ipe beracun hingga dapat dimakan secara aman. Setiap tahapan diberi nama. Dimulai dari tahap nian daran yakni panen kacang ipe pada musim kemarau.  Kemudian wori yakni proses menjemur kacang hingga kulit luarnya terbuka.

Berikutnya tahap yang dinamakan huna, yaitu  perebusan pertama hingga kacang ipe matang. Setelah itu tahap menyimpannya dalam wadah anyaman daun lontar kemudian bagian atasnya dianyam rapat. Tahap ini dinamakan teli dan ledi.

 

Buah kacang ipe yang beracun yang diolah oleh para perempuan Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur agar dapat dimakan. Proses menghilangkan racun berhari-hari lamanya dengan ritual yang diturunkan secara turun temurun. (Yohanes Fandi/KatongNTT)
Proses menghilangkan racun dari buah kacang ipe butuh waktu berhari-hari  dengan ritual yang dirawat secara turun temurun. (Yohanes Fandi/KatongNTT)

 

Baca juga: #PerempuanRawatBumi: Menjaga Pangan Lokal di Kaki Gunung Lewotobi

Setelah itu, tahap na’in berupa merendam kembali kacang dalam sungai selama sehari semalam agar racun benar-benar tersapu air. Setelah itu kacang direbus ulang untuk memastikan benar-benar aman. Barulah kacang ini bisa dikonsumsi atau diolah menjadi beragam masakan tradisional.

Di Hewa, kacang ipe tidak hanya dimakan begitu saja. Warga mengolahnya menjadi lekun—kacang ipe yang ditumbuk dengan lesung dan alu, lalu dicampur kelapa parut (niur kerun) dan dikukus. Bisa juga diisi ke dalam bambu dan dibakar (tu’in), atau dibuat menjadi kolak bersama umbi-umbian dan kacang-kacangan lain.

Kacang ipe tumbuh liar di pinggir kebun (rekat).Setelah dipanen, bijinya disimpan dalam wadah anyaman dari daun lontar (suket) atau bambu betung (sidu) di dalam pondok kecil (mobo) untuk kemudian diolah saat dibutuhkan.

Menariknya, kacang ini tidak diperjualbelikan secara bebas. “Kami hanya konsumsi untuk keluarga dan komunitas karena pengolahannya butuh pengalaman. Kami khawatir orang luar tidak tahu caranya dan bisa berbahaya,” kata Maria.

Kacang beracun yang diolah agar aman dimakan tersebar di tempat lainnya seperti di Pulau Timor dan Lembata. WikiPangan menyebutkan, kacang beracun yang ditemukan di Pulau Timor berupa arbila atau dengan nama Latin, Phaseolus lunatus L (WikiPangan).

Arbila yang sudah siap dikonsumsi disebut kaotpese atau kotpesi (Bahasa Dawan).  Kacang ini berpotensi untuk menjadi makanan pokok saat terjadi kelangkaan pangan. Selain sebagai makanan pokok, arbila juga bisa dijadikan sebagai cemilan.

Di Lembata, kacang beracun yang tumbuh liar di kaki Gunung Ile Lewotolok diberi nama kacang ippa.

Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani

Masyarakat desa di Pulau Timor maupun Lembata memiliki ritual khusus untuk membuang racun dari kacang yang tumbuh liar di pinggir hutan atau kebun mereka.

Saat kelaparan terjadi di Lembata tahun 1960-an, kacang ippa menyelamatkan masyarakat dari kelaparan. Kala itu, mereka menghadapi gagal panen akibat kemarau panjang dan hama menyerang tanaman pangan mereka seperti padi, jagung, dan ubi.

Kacang – kacang beracun ini bukan hanya pangan alternatif—ia adalah simbol kearifan lokal, ketekunan, dan ketahanan komunitas. Dalam setiap bijinya, tersimpan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, dari alam langsung ke tangan yang sabar *****

 

Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id

 

Tags: #DesaHewa#Florestimur#Kacangberacun#Kacangipe#katongntt#NTT#PanganlokalNTT#Perempuanrawatbumi
Difan Fandi

Difan Fandi

Baca Juga

data hiv/aids di kabupaten sikka, ntt.

Kisah Penyintas HIV/AIDS di Sikka Takut Anaknya Didiskriminasi Masyarakat

by Difan Fandi
19 September 2025
0

Sikka– Angka kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sikka terus meningkat. Berdasarkan data Komite Penanggulangan HIV/AIDS, hingga Februari 2025 tercatat 1.195 kasus...

Polres Malaka menetapkan 12 tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap anak SMP di Kabupaten Malaka pada Juli - Agustus 2025. (Dok.TribaratanewsPoldaNTT)

Belasan Pria Lakukan Kekerasan Seksual Terhadap 2 Anak di Malaka dalam Sebulan Ini

by Rita Hasugian
27 Agustus 2025
0

Kupang -  Dalam kurun waktu sebulan kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur....

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati