Kupang – Mama Peni atau lengkapnya Vinsensia Peni Buan. Perempuan usia 54 tahun ini mendaraskan doa setiap kali dia hampir menyerah dengan pergumulan hidupnya. Di kamus hidupnya tidak ada dendam, pengkhianatan, atau mengabaikan sepahit apapun masalah, bahkan saat nyawanya terancam.
Mama Peni, begitu tim KatongNTT menyapanya saat ditemui di rumah yang dia dirikan di atas tanah seorang pengusaha. Tepatnya berlokasi di di RT 20 RW 01 Kelurahan Belo, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pekan lalu.
Di dalam rumah berdinding rebisan kayu jati dan seng bekas, dan berlantai tanah Mama Peni menjalani hidup bersama keluarganya. Rumah ini dia dirikan dengan keringat peluh dan air mata sebagai pemulung dan pedagang sayur.
Tim KatongNTT yang berkunjung ke rumah Mama Peni tidak mengira ada rumah tepat di belakang Rumah Sakit St. Carolus Borromeus. Karena yang tampak hanya pohon-pohon pisang. Tidak ada rumah warga di dekatnya.
Senyum Mama Peni menyapa tim KatongNTT ramah. Dia kemudian melangkah masuk ke dalam rumah dengan menyeret satu kaki kanannya untuk mengambil kursi. Perempuan asal desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata ini menjelaskandia tinggal bersama suami, dua anaknya, dan dua cucunya di rumahnya.
Suaminya, Hendrikus Hengki Homuen, duduk di luar rumah, anak perempuan sulungnya menunduk sambil menggendong anaknya. Mama Peni menjadi tulang punggung bagi suami, anak dan kedua cucunya.
Baca juga: Martha Kewuan, Pejuang Hak Perempuan dari Noelbaki NTT
Dia tidak banyak berharap pada suaminya, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Anak sulungnya yang disapa Ester mengalami keterbelakangan mental dan jiwanya terguncang dipicu pernah diculik dan diperkosa. Begitu juga anak keduanya, Emanuel, menurut Mama Emi, mengalami keterbelakangan mental.
Dia terkenang saat usia dua tahun, saat itu dia sedang bermain ayunan dan terjatuh. Sejak itu, kaki kanannya tidak berfungsi normal lagi. Memasuki usia kerja, tepatnya tahun 1999 Mama Peni memutuskan merantau ke Kota Kupang untuk mencari pekerjaan.
Di Kupang, dia bekerja sebagai pengasuh anak dan pembantu rumah tangga untuk seorang ibu asal Lembata. Dete, nama majikannya sedang menempuh pendidikan di Universitas Nusa Cendana.
Mama Peni kemudian berkenalan dengan Hendrikus asal Desa Luniup Unina, Kabupaten Timor Tengah Utara. Mereka kemudian hidup bersama di kos di dekat Pasar Inpres Kota Kupang. Di pasar ini, Mama Peni berjualan sayuran. Uang yang diperoleh untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar sewa kos.
Dari pernikahan adat keduanya mendapat dua anak, Ester dan Emanuel, keduanya mengalami keterbelakangan mental. Alhasil, Mama Peni harus bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Saya hanya menjual sayur di pasar Inpres. Satu hari saya mendapatkan uang sekitar Rp 10.000. Belum lagi bayar uang kos dan biaya makan minum, tambah lagi dengan pakaian Ester. Saya harus mengambil sayur lebih banyak lagi untuk dijual. Sayur saya ambil di dalam pasar ini, lalu di jual kembali dengan keuntungan seribu atau dua ribu.” ujar Mama Peni.

Jadi Pemulung Demi Bangun Rumah
Dia kemudian memberanikan diri mencari tanah untuk membangun rumah. Dengan begitu dia tak lagi menyisihkan uang untuk membayar sewa kos. Beruntung, Mama Peni mendapat info dari keluarga tempat dia kos mengenai seorang pengusaha sedang mencari penjaga tanahnya di Belo.
Untuk mewujudkan impian memiliki rumah, Mama Peni memutuskan menjadi pemulung selesai berjualan sayur di Pasar Inpres. Pagi-pagi buta sekitar jam 3 dini hari setelah meneguk segelas air, dia pergi untuk mencari plastik dan besi di sepanjang Belo hingga pasar tradisional Oepura.
Di Oepura, Mama Peni menimbang hasil memulungnya untuk mendapatkan uang. Satu kilogram plastik Rp 8.000 dan satu kilogram besi Rp 3.000. Sedangkan tembaga dijual seharga Rp. 12.000 per kilogram.
Dia menjual sekitar satu-dua kilo hasil memulungnya untuk membeli nasi bungkus dan sebotol air mineral untuk makan siangnya.
“Saya timbang satu atau dua kilo untuk bisa membeli nasih bungkus seharga Rp.5.000 dengan aqua gelas seharga Rp 500,” ujar Mama Peni.
Setelah perut terisi, dia melanjutkan perjalanan ke Pasar Inpres dan berlanjut ke kawasan Wali kota. Dia menyempatkan berdoa dalam perjalanan agar ada orang mengulurkan tangan memberinya uang atau makanan dan minuman.
Mama Peni melanjutkan rute perjalanannya memulung ke Jalan Tuak Daun Merah (TDM), Oebufu lalu kembali ke Belo menuju rumahnya. Dia berusaha kembali ke Belo sebelum jam 3 sore agar sempat beribadah di gereja.
Mama Peni biasanya mengumpulkan hasil memulungnya sekitar satu bulan. Sekali timbang dia dapat menghasilkan Rp 500 ribu.
Jika dia membutuhkan uang untuk membeli beras, kopi atau gula, Mama Peni tinggal menjual hasil memulungnya ke Oepura. Di sini ada penerima barang hasil memulung. Mama Peni menyapanya “penimbang Jawa”.
Baca juga: Mitos dan Tafsir Kitab Suci Picu Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di NTT
Dapat Pinjaman dari Koperasi
Hasil dari memulung itu kemudian dia tabung Simpanan Bunga Harian di Koperasi Familia Belo. Mama Feni seorang pengelola uang yang baik. Dia pun mendapat kepercayaan untuk meminjam uang di Koperasi Familia Belo untuk membiayai pembangunan rumahnya.
Mama Peni menjadi anggota Koperasi Familia Sikumana sejak 2015 lalu. Dia sudah sering melakukan pinjaman di Koperasi Familia karena memenuhi persyaratan untuk pinjaman.
“Sekitar emapt kali mama Peni sudah melakukan pinjaman di Koperasi Familia. Sebelumnya kami tahu bahwa mama Peni mempunyai suami yang bekerja,” kata Kepala Kredit Koperasi Familia yang menolak namanya disebut pada Senin, 6 Februari 2023.
Mama Peni melakukan peminjaman sebesar Rp 12 juta pada 13 November 2021 dengan angsuran Rp 420 ribu selama empat tahun. Namun, sudah empat bulan angsuran tidak dibayar.
“Sebelumnya Mama Peni membayar tepat waktu. Baru kali ini Mama Peni melakukan peminjaman lebih besar dari pada sebelumnya,” ujarnya.
Selain meminjam di koperasi, Mama Peni sesekali meminta sisa belahan kayu di bengkel kayu di Belo untuk keperluan membangun rumahnya. Uang sisa dari hasil menjual sayur dia gunakan untuk membeli seng.
Pada Agustus 2008 Mama Peni berhasil membangun rumah dengan ukuran panjang sekitar 5 meter, lebar 3 meter, dan tinggi 2,5 meter. Berdinding rebisan kayu jati dan seng bekas.
Mama Peni memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumahnya dengan menanam jagung milik orang lain. Dia juga membuat kandang ternak agar orang lain dapat menitipkan ternaknya untuk dia pelihara.
“Ketika jagung dipanen dan ternak dijual, barulah saya mendapatkan upah saya,” ucap perempuan yang cerdas dalam melihat peluang.
Suami ODGJ
Meski menderita ODGJ, suami Mama Peni mampu bekerja sebagai penggali sumur. Hanya saja, keluhnya, suaminya sering menerima upah yang tidak sesuai kesepakatan. Bahkan ada yang hanya memberinya makan dan minum usai menggali sumur.

Begitupun, Mama Peni tidak berani meminta uang dari suaminya. Dia ketakutan karena suaminya pernah memukulnya saat meminta uang. Perilaku kejam suaminya kerap dia alami. Dia teringat saat diajak suaminya ke Kefa tahun 2004 untuk diperkenalkan ke anggota keluarganya.
Dia mengikuti ajakan suaminya, tapi dia memilih menitipkan anaknya di Panti Asuhan Agape di Belo.
“Suatu hari di kebun, tanpa sebab Bapak menyayat tangan kanan mama Peni dengan parang sampai berdarah,” kenang Mama Peni.
Melihat perlakuan suaminya, dia memutuskan untuk segera kembali ke Kupang meski tak punya uang sepeserpun. Mama Peni terpaksa membayar supir dengan sekarung jagung dan padi.
Dalam perjalanan bahtera rumah tangga mereka, terbersit kerinduan Mama Peni untuk menikah secara agama pada Oktober 2006. Suaminya sepakat dengan ide istrinya. Namun, pernikahan mereka gagal karena suaminya kabur dari gereja.
“Ya Tuhan kuatkan saya,” ujar Mama Peni menitikkan air mata kala itu.
Kepergian sang suami tidak membuat dia putus asa. “Saya harus mencarinya. Besok lusa anak masuk sekolah pasti membutuhkan surat nikah,” ujar Mama Peni sambil mendaraskan doa.
Sekitar dua bulan kemudian suaminya pulang. Mama Peni lapang dada menerima kepulangan suaminya.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Kekerasan Pada Perempuan Jalan di Tempat
Keduanya kembali berencana menikah di gereja. Kembali suaminya berulah kabur entah kemana. Dia mencari tahu ke keluarga suaminya, namun tak satupun tahu keberadaan Heribertus.
“Saya pergi ke tim pendoa untuk mendokan suami saya agar segera kembali,” tutur Mama Peni.
Dua minggu kemudian, suaminya pulang. Mama Peni berusaha bersabar menerima suaminya demi kedua anak mereka yang menginjak dewasa.
Untuk ketiga kalinya, pasangan ini sepakat menikah di gereja.Menjelang dua hari pernikahan, suaminya kembali kabur entah kemana. Nyaris putus asa, namun Mama Peni ingat kedua anaknya. Dia kembali berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesabaran untuk menghadapi tantangan hidupnya.
“Saya di Kota Kupang tidak punya orang tua. Tidak punya siapa-siapa. Saya hanya bisa berdoa,” ucap Mama Peni dengan suara bergetar.
Selang dua minggu kemudian, pulang dari dari kandang ternak, Mama Peni dikagetkan suaminya sudah ada di rumah. Namun ada yang berubah pada diri suaminya. Ketika melihat Mama Peni, suaminya mengamuk dan memukuli istrinya. Dengan terseok-seok dia berusaha menyelamatkan diri. Dia pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar suaminya tidak memukulnya dengan benda tajam.
“Terkadang saya dipukuli sampai berdarah dan ditarik keliling rumah dan mengejar saya dengan parang. Jagung dan pisang yang ditanamnya di depan rumah ini tidak boleh saya sentuh. Dia juga tidak mengizinkan saya untuk makan jagung dan pisang yang ditanamnya,” tutur Mama Peni.
Begitupun, pasangan ini tetap berupaya untuk menikah di gereja. Namun, saat persiapan menujuh ke gereja, suami Mama Peni menghilang dan bersembunyi di atas pohon Kelapa.
Melihat tingkah sang suami, Mama Peni akhirnya berpikir mungkin ini jalan hidupnya. Dan di tahun 2007 sang suami pun menghilang entah kemana.
Sekitar Januari 2010, Mama Peni menyambut kedatangan sang suami yang menghilang untuk ketiga kalinya. Dan, tindak kekerasan Heribertus semakin mengancam keselamatan Mama Peni dan kedua anaknya.
“Saya tidak mau Ester dipukul terus. Apalagi kadang suami saya sering kejar kami dengan parang. Untuk menjaga keselamatan, kami sering menginap di rumah keluarga yang bernama Erni di Hokutu (daerah sekitaran Belo),” tuturnya.
Perilaku Heribertus yang sering mengamuk dan memukuli kedua anaknya membuat Mama Peni ketakutan. Sehingga dia kerap membawa anaknya menginap di rumah saudaranya di Hokutu.
“Kami trauma dengan kelakuan suami saya yang sering mengamuk dan marah-marah. Jadi saya membawa kedua anak ke Hokutu,” ungkap Mama Peni.
Anak keduanya pernah bertengkar hebat dengan Bapaknya. Pertengkaran itu membuat sang Bapak terluka parah akibat pukulan anaknya.
Tak kenal putus asa, Mama Peni kembali berpikir untuk menikah. Dia menemui satu keluarga pihak suaminya untuk meminta bantuan untuk mencegah suaminya kabur. Permintaan Mama Peni disetujui. Pernikahan di gereja pun berjalan lancar. Hari bersejarah itu tanggal 10 November 2011.
Baca juga: Kisah Warga Adonara Lolos dari Jeratan Perdagangan Orang di Medan

Berjuang Sekolahkan Anak, namun Diculik
Masalah yang datang bertubi-tubi tidak membuat Mama Peni lupa untuk merancang masa depan anaknya. Dia berupaya mendaftarkan anak sulungnya masuk sekolah di SMP Negeri 12 Sikumana, Kota Kupang. Namun, pihak sekolah menyarankan Ester mendaftar di sekolah luar biasa (SLB). Masalahnya SLB jauh dari rumahnya.
Tak menyerah, Mama Peni terus berdoa dan meminta guru-guru di SMP Negeri 12 Sikumana agar anaknya diterima sebagai siswa di sekolah itu. Perjuangan Mama Peni membuahkan hasil. Ester diterima di SMPN 12 Sikumana pada 2018 dengan usia 15 tahun.
Setahun kemudian, pihak sekolah mengeluarkan Ester pada 20 Mei 2019 karena sekitar lima bulan tidak masuk sekolah. Tidak ada penjelasan mengapa Ester tidak masuk sekolah.
“Sekolah sudah melakukan pendekatan ke pihak keluarga. Namun tidak ada informasi kejelasan mengenai Ester,” kata Operator SMPN Sikumana Kota Kupang, Fery Seke pada Senin, (6/2/2023).
Ester tidak masuk Sekolah sejak masih kelas 7 atau kelas 1 SMP. Saat pendaftaran masuk Sekolah, menurut Fery, kondisi Ester normal seperti anak lainnya.
Ester mengikuti kegiatan belajar di kelas seperti biasa. Tidak ada gejala gangguan jiwa. Saat pelajaran dimulai Ester pun dengan tenang mengikuti materi yang dipaparkan oleh guru.
“Dalam kelas Ester membaur dengan teman-temannya. Kondisinya baik. Dalam Kelas dia hanya diam mengikuti pelajaran,” jelas Ana Widya, Guru pengasuh mata pelajaran IPS saat ditemui ruang Guru SMPN 12 Sikumana.
Mama Peni menuturkan, Ester pernah diculik pria yang tidak dia kenal. Setelah dua minggu, dia menemukan anak perempuannya itu di area wisata Tedis di Kota Kupang. Dia menyaksikan anaknya kebingungan. Ester sontak menangis histeris saat melihat ibunya dan memeluknya erat.
Ester diculik pada 24 November 2018 dan dibawa ke Medan, Provinsi Sumatera Utara. Di kota ini, Ester dipaksa menjadi pekerja seks. Mama Peni hanya mampu berdoa agar anaknya selamat untuk pulang.
Dua tahun kemudian, Ester kembali menghilang. Mama Peni mengadukan anaknya hilang ke Polres Kupang Kota. Namun polisi tidak merespons dengan cepat pengaduannya. Ester pulang dalam keadaan hamil. Mama Peni mengutamakan keselamatan anaknya. Dia menerima kehadiran cucunya yang diberi nama Venti.
Tahun 2022, Ester dihamili seorang pria asal Rote berusia sekitar 60an tahun. Ester melahirkan anak keduanya pada Oktober 2022 yang diberi nama Ferdi.
“Saya fokus mengurus kedua cucu. Saya mau mereka bisa bersekolah,” ucap Mama Peni menunjukkan ketulusannya merawat kedua cucunya.
Namun ulah suaminya yang kerap melakukan kekerasan, membuat Mama Peni memutuskan keluar dari rumahnya. Pada 19 Januari 2023, Mama Peni membawa Ester dan kedua cucunya tinggal di rumah satu keluarga asal Adonara di Kelurahan Fatukoa. Hanya sesekali dia kembali ke rumahnya di Belo, itupun penuh kewaspadaan agar suaminya tidak melukainya.
Perjalanan hidup yang penuh kepahitan dan kegetiran dijalani Mama Peni dengan tabah dan sabar. Doa yang selalu didaraskannya menjadi penopang hidupnya. Di akhir pertemuan, Mama Peni menitip pesan singkat: “ Saya hanya mohon anggota keluarga saya boleh dapat BPJS Kesehatan dan tempat tinggal layak.” (Gega Making)