Kupang – Pemberitaan femisida di media masih minim perspektif korban di tengah jumlah kasus yang semakin meningkat. Penggunaan bahasa yang sensasional seperti “tragis,” “sadis,” atau “mengenaskan” pun masih kerap ditemukan dalam laporan-laporan ini.
Selain itu, identitas korban dan keluarganya juga banyak dibongkar, mencakup nama lengkap, alamat tempat tinggal, hingga foto pribadi. Padahal, pengungkapan ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan trauma berulang bagi keluarga korban.
Baca juga: Femisida di NTT, Saksi Ungkap Penganiayaan Sadis Albert Solo terhadap Istrinya, Maria Mey
Magdalene, melalui pemantauan media yang dilakukan pada 14–31 Januari 2025, menemukan, pemberitaan dari tiga portal berita utama—Kompas.com, Detik.com, dan Suara.com—lebih banyak menampilkan sensasi ketimbang konteks struktural kekerasan terhadap perempuan.
Dari total 193 berita yang dianalisis, sebanyak 185 berita (95,3 persen) menulis femisida sebagai pembunuhan biasa yang bersifat sporadis, tanpa menjelaskan konteks sosial, budaya, atau struktural yang menjadi akar kekerasan. Sebanyak 109 berita (56,2 persen) memuat identitas korban, dengan Kompas.com menjadi media yang paling banyak membuka identitas ini.
Dalam hal pemilihan narasumber, 124 berita (64,5 persen) hanya mengutip pernyataan aparat penegak hukum. Tidak sedikit berita yang memberikan porsi besar pada narasi pelaku, bahkan ada yang menyampaikan pembelaan dari pelaku itu sendiri.
Minimnya kontekstualisasi dan kurangnya suara dari organisasi advokasi atau akademisi yang memahami isu kekerasan berbasis gender memperparah narasi. Hal ini membuat publik gagal memahami bahwa femisida bukan sekadar tragedi individual, tetapi bagian pola kekerasan sistemik dan berakar pada ketimpangan gender.
Sebagaimana diungkapkan peneliti Jane Caputi dan Diana E.H. Russell dalam Femicide: The Politics of Woman Killing (1992), media yang gagal membingkai kekerasan terhadap perempuan sebagai kejahatan struktural, turut berkontribusi pada rendahnya kepedulian sosial dan lambatnya perubahan kebijakan.
Baca juga: Dipicu Cemburu, Suami Bakar Istri Disaksikan Anaknya
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono mengatakan hasil pemantauan Magdalene menjadi bahan evaluasi internal newsroom. Evaluasi mengenai pentingnya memenuhi Kode Etik Jurnalistik, kode perilaku, dan pedoman media siber mengenai khususnya pemberitaan tentang perempuan dan anak.
Pemimpin Redaksi Kompas.com, Amir Sohirin menjelaskan, dia perlu membaca hasil penelitian Magdalene secara keseluruhan terlebih dahulu.
Begitupun menurut Amir, penelitian seperti yang diselenggarakan Magdalene sangat dibutuhkan oleh pers untuk dijadikan pembelajaran bersama.
“Apa yang harus dilakukan setelah penelitian? Apakah hanya berhenti di penelitian dan seminar saja? Ataukah perlu ada follow up agar hasil penelitian punya impacts buat dunia pers? Saya menantikan ini,” kata Amir kepada KatongNTT, 23 April 2025.
Memahami Femisida
Femisida, atau pembunuhan perempuan karena gendernya, merupakan kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem. United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) mendefinisikan femisida sebagai manifestasi paling ekstrem dari ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat di berbagai belahan dunia.
UN Women melalui akun Instagramnya menyebutkan tak ada satu negarapun yang bebas dari femisida. Bagaimana dengan Indonesia?
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 290 kasus femisida sepanjang 2024, menjadikannya tahun kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Baca juga: Kasus Petani Bunuh dan Mutilasi Istri di Malaka Nyaris Tak Terdengar, Apa Kabarnya?
Magdalene mengajak kawan-kawan media untuk bertanggung jawab dalam melaporkan femisida dengan perspektif yang berpihak pada korban. Salah satunya dengan berhenti menggunakan bahasa sensasional, tidak mengungkap identitas korban, serta mengedepankan narasumber yang kompeten dalam isu kekerasan terhadap perempuan.
Magdalene sendiri akan merilis rangkaian liputan mendalam mengenai femisida, baik berupa artikel maupun video selama empat minggu, dimulai pada 21 April 2025. Saban minggunya, laporan akan mengangkat sudut pandang berbeda, termasuk dinamika pemberitaan, tantangan pendampingan, hingga kebijakan yang mendesak untuk dibenahi. Seluruh laporan dapat diakses di laman Magdalene.co. [*]