Kupang- Kematian Yosefina Maria Mey menambah panjang daftar kasus femisida di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya kasus femisida menimpa seorang perempuan petani di dusun terpencil di Kabupaten Malaka, kemudian pembunuhan keji transpuan Desy Aurelia alias Oktovianus Tafulli. Selanjutnya, seorang anggota polisi melukai jari tangan istrinya dengan parang.
Mengapa kasus-kasus ini disebut sebagai femisida? Pertama-tama femisida bukan pembunuhan yang terjadi pada umumnya. Sidang Umum Dewan HAM PBB menyatakan femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan. Dengan begitu pelaku boleh berbuat sesuka hatinya.
Femisida mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, dan opresi. Femisida merupakan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi baik di ranah privat, komunitas, maupun negara.
Berdasarkan data PBB, 80 persen dari pembunuhan terencana terhadap perempuan dilakukan orang terdekatnya.
Baca juga: Efek Patriarki, PMI NTT Paling Banyak Perempuan
Indonesia secara regulasi telah memiliki undang-undang khusus terhadap pelaku femisida, yakni Undang Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Namun, kasus kejahatan femisida ini terus terjadi, begitu juga di NTT yang masih kental budaya patriarkis.
Dalam kasus penganiayaan keji Albert Solo yang berujung pada kematian istrinya, Yosefina Maria Mey, 53 tahun dipicu oleh keinginan pelaku agar istrinya tidak masuk kerja. Karena hari itu Sabtu, 10 Agustus 2024, kantor libur.
Mey bekerja sebagai ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi NTT. Namun Mey diharuskan mengikuti rapat bersama Komisi V DPRD NTT untuk membahas perubahan KUA-PPAS Pemprov NTT 2024 pada hari Sabtu itu.
Mey memutuskan untuk tetap pergi berangkat kerja dengan memesan supir online. Supir Grabbike, Jener Aryanto yang mengantar Mey mengungkapkan kepada KatongNTT, Rabu, 21 Agustus 2024 bahwa dia mengantar Mey hingga depan pintu masuk DPRD NTT di Jalan Polisi Militer, Kupang. Jam waktu itu sekitar jam 9 pagi.
Dia juga teringat Mey menyerahkan uang Rp 15 ribu dan bergegas masuk gedung Dewan tanpa menunggu kelebihan uangnya.
“Mamtua tidak ambil kembalian, mestinya hanya bayar Rp 12 ribu,” katanya.
Saksi: Pemukulan dan tendangan bertubi-tubi
Sekitar jam 3.30 sore, Mey tiba di rumah diantar supir Grabbike.
Berdasarkan kesaksian seorang tetangga yang ditemui KatongNTT menuturkan, Mey belum turun dari motor, suaminya sudah memukuli wajahnya berulang kali hingga helm terlepas.
Supir Grabbike ketakutan dan langsung berbalik meninggalkan pekarangan rumah korban tanpa sempat menerima uang. Saksi yang ketakutan dan panik melihat Mey yang meski kesakitan dipukuli berusaha merogoh tasnya untuk mengambil uang membayar jasa supir Grabbike.
Albert Solo, pelaku penganiayaan sadis istri, Yosefina Maria Mey. (Tangkapan layar FB Yosefina Maria Mey).
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
Menurut saksi, pemukulan dan tendangan bertubi-tubi membuat Mey jatuh tersungkur di tanah. Korban memohon maaf kepada suaminya sambil bertanya kenapa dia dianiaya.
“’Ampun bapak, cukup ko… beta salah apa’?” kata saksi meniru ucapan Mey. Kedua mata saksi memerah menahan tangis dan penyesalan.
Saksi melihat penganiayaan itu dari ujung jalan masuk rumah korban. Saksi yang berusia 68 tahun panik dan tidak punya keberanian untuk menolong Mey yang terdengar meminta pertolongan dari tetangganya.
“’Tolong… tidak adakah yang bisa tolong Beta’,” ujar saksi menirukan ucapan korban.
Sambil terus berdoa memohon Mey kuat, saksi berusaha mencari pertolongan dari orang-orang di dekat rumahnya. Bahkan saksi berlari hingga ke jalan raya untuk mencari bantuan. Pria-pria yang ditemui saksi menolak memberikan bantuan karena takut pada pelaku.
Saat itu, ujarnya, lingkungan sekitar rumah pelaku sepi, meski letak rumah warga saling berdekatan. Diduga warga takut keluar rumah.
Terakhir kali saksi melihat pelaku menendang bagian rusuk korban dan menginjak leher kiri korban yang sudah tak berdaya.
Saksi kembali berlari panik mencari pertolongan hingga bertemu wakil RT di jalan raya. Wakil RT ini pun segera mencari pertolongan. Mobil seorang warga digunakan untuk membawa korban ke Rumah Sakit Leona. Saat itu sekitar jam 5 sore.
Marselina, tetangga berdekatan dengan rumah Mei kepada KatongNTT, Rabu, 21 Agustus 2024 mengungkapkan, dia awalnya tidak merasa curiga mendengar suara sepeda motor digas, suara pintu depan rumah digedor-gedor. Kemudian teriakan makian Albert Solo.
Menurutnya, Albert biasa seperti itu jika dalam keadaan mabuk.
“Ciri-ciri dia mabuk,” ujar saksi.
Dia juga mengira Mey ada di dalam rumah karena hari Sabtu adalah hari libur.
Staf di SMPN 11 Naimata mulai curiga ketika suasana di rumah korban kemudian sepi. Dia lalu mengintip dari jendela belakang rumah yang berbatasan langsung dengan halaman depan rumah korban. Dia kaget melihat tubuh Mey tergeletak di tanah dekat pohon mangga. Dengan memberanikan diri Marselina keluar dari pintu dapur menerobos masuk pekarangan rumah korban.
Baca juga: Pacar Terbanyak Melakukan Kekerasan Terhadap Perempuan di NTT
Wargapun mulai berdatangan membantu korban yang sudah tidak sadarkan diri. Marselina memberanikan diri mendekati tubuh Mey meski Albert yang duduk di dekat korban mengusirnya.
“’Biarkan dia mati’,” ujarnya mengutip ucapan pelaku.
“Jangan Om, kasihan dia,” teriak Marselina.
Warga kemudian bersama-sama mengangkat tubuh Mey ke teras rumah yang dipenuhi pecahan kaca jendela.
Beberapa menit kemudian dua anak korban yang baru pulang sekolah kaget dan menangis menyaksikan kondisi ibunya. Warga yang menyaksikan kehadiran dua anak korban turut menangis.
Warga yang lain mencari mobil untuk membawa korban ke rumah sakit. Awalnya, kata Marselina, Mey dibawa ke rumah sakit Kartini, namun ditolak karena penuh. Korban kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Leona.
Kedua anak korban ikut mengantar ibunya ke rumah sakit. Saat dokter bertanya kenapa korban seperti ini, kata Marselina, seorang anak korban berujar singkat: KDRT.
Di malam harinya, pelaku memasuki kamar ICU dimana korban dirawat. Pelaku menangis sambil memohon maaf. Tak lama polisi Polres Kupang Kota datang untuk menangkap pelaku atas laporan keluarga korban. Penyidik Polres Kupang Kota menjerat Albert dengan pasal 44 UU KDRT, tanpa pasal pemberat lainnya.
Baca juga:Korban KDRT Saatnya Bicara
Adik bungsu korban, Yane, nama panggilannya, mengungkapkan kepada KatongNTT pada Senin sore, 19 Agustus 2024 bahwa dia pernah menyaksikan pelaku beberapa kali memukul Mey. Namun tidak separah seperti Sabtu, 10 Agustus lalu.
“Pukul si pukul tapi tidak parah,” ujarnya yang pernah tinggal di rumah korban saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan Universitas Nusa Cendana.
Yane yang duduk di tangga rumah berdekatan dengan makam Mey mengenang saat ulang tahunnya pada Juni 2023 memberi nasehat yang tidak biasa.
“Dia beri nasehat agar memilih suami yang sayang dan baik kepadanya. Tidak seperti yang dia alami,” ujar Yane, ibu tunggal seorang anak laki-laki usia 10 tahun.
Beberapa bulan sebelum dia berulang tahun, ujarnya, korban “curhat” tentang masalahnya dengan suami. Namun korban berpesan kepada Yane untuk tidak menceritakan kepada siapapun.
Setelah itu Yane tidak mendapat kabar lagi dari kakak sulungnya hingga pada Sabtu malam itu, dia menerima telepon dari Marselina. Yane diminta segera ke Rumah Sakti Leona karena kakak sulungnya sekarat. Yane yang tinggal di Takari, Kabupaten Kupang bergegas ke Rumah Sakit Leona. *****