Di seluruh Nusantara, lagu “Gemu Fa Mi Re” dan “Nona Pica Pica” menjadi pengiring wajib di acara-acara seremonial. Tapi di balik iramanya yang mengajak tubuh bergoyang, tersimpan ironi pahit: angka kemiskinan tinggi, dan kekerasan terhadap perempuan di NTT terus membubung.
“Gemu Fa Mi Re, Gemu Fa Mi Re, Gemu Fa Mi Re…”
Begitu kalimat pembuka lagu ciptaan Nyong Franco dari Maumere itu menggema di aula pelatihan, dari gedung kementerian di Jakarta hingga ruang rapat desa-desa di pelosok Timor. Lagu itu tidak pernah gagal membuat seisi ruangan bangkit, menyilangkan lengan, memutar bahu, lalu berputar bersama. Irama riang dan tariannya yang sederhana menjadikannya lagu wajib dalam setiap bimtek, upacara, hingga penutupan seminar.
Namun ketika musik berhenti, peserta bubar, dan tarian usai, realitas yang tak menari justru muncul: angka kemiskinan yang memburuk, minimnya layanan dasar, dan perempuan-perempuan yang masih hidup dalam ketakutan.
Baca juga: Perlawanan Marlina dan Politik Kekerasan terhadap Perempuan NTT
Antara Nada dan Nyata
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki angka kemiskinan tertinggi ketiga di Indonesia, setelah Papua dan Papua Pegunungan. Sebanyak 19,5 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Manggarai Timur, hingga Belu, ketimpangan penghasilan dan akses pendidikan menjadi kronis.
Catatan Komnas Perempuan tahun 2024 menyebutkan bahwa NTT masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi, didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, serta perkawinan anak yang marak di wilayah pedalaman.
Ironisnya, provinsi dengan angka penderitaan setinggi itu justru dikenal lewat lagu-lagu yang penuh canda dan euforia.
Nona Pica-Pica dan Ilusi Gembira
Ambil contoh “Nona Pica Pica”, lagu rakyat yang mendadak viral karena gerak dansanya yang lincah dan menggoda. Dengan lirik seperti:
“Nona pica-pica, sayang nona pica-pica, beta pung hati su gila, nona manis dari Rote.”
Lagu ini menyulap stereotip perempuan NTT sebagai sosok penggoda, riang, dan eksotis—tanpa cela dan tanpa luka. Tapi di balik lirik manis itu, tersimpan fetishization budaya yang rumit: perempuan NTT dirayakan dalam tarian dan lagu, namun sering tak diberi ruang bicara dalam rumah, apalagi dalam kebijakan publik.
Baca juga: Paus Leo XIV Perluas Peran Perempuan Tanpa ‘Tabrak’ Tradisi Gereja
Musik sebagai Mekanisme Koping Kolektif
Menurut jurnal Musical Escapism karya Dorsa Rohani dari University of Toronto, musik seringkali digunakan masyarakat untuk menciptakan “realitas alternatif”—semacam pelarian kolektif dari dunia yang keras dan tidak adil. Ini bukan cuma hiburan, tapi cara untuk bertahan.
“Musik bisa menjadi cara masyarakat menciptakan ruang emosional yang aman, terutama ketika negara dan sistem gagal memberikan rasa aman yang nyata,” tulis Rohani.
Dalam konteks ini, musik berfungsi sebagai mekanisme koping (coping mechanism), yaitu cara seseorang atau sekelompok orang mengelola tekanan atau beban emosional akibat situasi sulit (dalam hal ini: kemiskinan, kekerasan, dan ketimpangan), baik secara sadar maupun tidak sadar. Koping bisa bersifat adaptif—seperti menciptakan lagu atau menari bersama untuk menjaga semangat hidup—atau maladaptif, jika hanya menjadi pelarian tanpa perubahan struktural.
Di banyak desa, menyanyi dan menari adalah satu-satunya bentuk ekspresi yang tidak dikenai harga. Ia bisa dilakukan kapan saja, bahkan ketika tak ada listrik, ketika bantuan tak kunjung datang, atau ketika anak gadis harus menikah pada usia 14 tahun karena alasan ekonomi.
Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?
Budaya Riang yang Diinstitusikan
Yang membuat semuanya makin rumit adalah bagaimana negara dan lembaga-lembaga formal ikut menormalisasi budaya “riang tanpa sebab” ini. Lagu “Gemu Fa Mi Re” secara tidak resmi menjadi lagu kebangsaan kedua bagi birokrasi Indonesia. Lagu ini dikumandangkan di setiap pelatihan ASN, acara dinas luar, bahkan saat pelantikan pejabat.
Bahkan Kementerian Dalam Negeri, pada satu surat edaran tahun 2014, pernah mengimbau penggunaan “Gemu Fa Mi Re” sebagai lagu senam wajib untuk meningkatkan semangat kerja.
Tapi tidak ada yang bertanya: semangat kerja untuk siapa? Dan apakah dengan menari bersama, masalah struktural bisa hilang begitu saja?
Luka yang Tidak Ditari
Peneliti budaya asal Kupang, Johanis Monefalo, pernah menulis dalam esainya di Jurnal Ilmu Sosial Undana bahwa,
“Tarian kolektif di NTT seringkali adalah bentuk pementasan penderitaan agar tampak manis di mata luar.”
Menurutnya, ritual menari dalam acara seremonial seringkali bersifat performatif, bukan reflektif. Ia dirancang bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk menyembunyikan.
Dalam wawancara dengan media lokal, seorang aktivis perempuan di Kefamenanu menegaskan hal serupa,
“Kami dipanggil untuk menari ketika tamu datang, tapi tidak ada yang menanyakan bagaimana hidup kami sesudah semua pulang.”
Menari di Atas Ketidakadilan
Gemu Fa Mi Re memang berhasil menyatukan gerak ribuan orang. Tapi hingga kini, belum ada gerakan besar yang menyatukan langkah untuk memerangi praktik belis yang membebani perempuan, atau menghapus praktik kawin tangkap yang masih terjadi di pulau-pulau tertentu.
Apakah kita hanya bisa bergerak dalam lingkaran tari, dan bukan dalam lingkaran kebijakan?
Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani
Realita Butuh Lagu Baru
Sudah saatnya lagu-lagu NTT bukan hanya membuat kita ingin bergoyang, tapi juga bertanya. Sudah saatnya kita bertanya kenapa lagu-lagu ini begitu gembira, sementara desa-desa di Amfoang masih kesulitan air bersih.
Mungkin kita perlu lagu baru. Lagu yang bukan hanya menyebut “nona manis dari Rote”, tapi juga menyuarakan kisah nona yang harus keluar sekolah karena dipaksa menikah. Lagu yang bukan hanya mengajak “goyang ke kiri ke kanan”, tapi juga mengajak berpikir ke depan.
Seperti kata sosiolog Prancis Pierre Bourdieu:
“Budaya populer adalah medan perjuangan antara dominasi dan resistensi.”
Jika budaya populer di NTT hari ini terlalu riang, barangkali karena masyarakatnya tidak diberikan alternatif selain itu.
Neno Ema Ma Lulik
Tarian bisa menyatukan, tapi juga bisa membungkam. Lagu bisa menghibur, tapi juga bisa menipu. Masyarakat NTT tidak kekurangan irama; yang mereka butuhkan adalah ruang bicara. Maka sebelum kita kembali menyilangkan tangan dan memutar bahu dalam irama “Gemu Fa Mi Re”, mari bertanya: siapa yang bersenang-senang, dan siapa yang diam-diam menahan sakit?