Kupang – Elsye Lesik sudah tujuh tahun menjadi pelaku UMKM di Kupang, NTT dengan produk olahan dari rumput laut.
Ia awalnya seorang guru. Hingga pada 2014, anak keduanya mengalami kanker otak. Situasi ini memaksanya untuk berhenti dari pekerjaan itu untuk fokus merawat anaknya.
Elsye kemudian mencari pekerjaan yang bisa ia kerjakan di rumah. Dia kemudian mengikuti pelatihan pengolahan rumput laut pada 2015, lalu memilih untuk mengembangkannya menjadi sebuah usaha.
“Dan akhirnya terpikirkan untuk buat ceker rumput laut, ada juga kerupuk rumput laut, dodol, jeli, torchips, dan mi dari rumput laut,” ujar perempuan 43 tahun ini.
Tanpa micin dan pengawet, dia mengolah produk-produknya dengan tujuan anaknya yang sakit bisa mengonsumsi makanan ini juga.
Baca Juga: Kisah Orang Muda NTT Bisnis Camilan Jadul Ublin
Dengan modal awal Rp 500 ribu, ia mulai memproduksi makanan ringan itu. Awalnya Elsye hanya memproduksinya pada masa hari raya. Menerima pesanan dari kerabatnya karena belum mendapat izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Dia baru berani memasarkannya di 2019 saat sudah mendapat sertifikat PIRT.
Satu produk dengan penjualan terbaik adalah Ceker Rumput Laut. Camilan dari campuran tepung dan rumput laut ini, diuleni hingga kalis, baru kemudian digoreng menggunakan cetakan yang menghasilkan adonan menyerupai kaki (ceker) ayam.
“Saya melihat keunikan nama itu mempengaruhi orang untuk mau beli. Padahal ini bukan dari kaki ayam, bentuknya saja yang mirip tapi (bahannya) dari rumput laut. Justru bentuknya lebih ke terumbu karang tapi uniknya ceker saja,” cerita Elsye sambil tertawa.
Dia kemudian menitipkan produknya di tiga toko yang ada di Kupang dengan harga Rp15 ribu untuk kemasan 100 gr. Pendapatan terendahnya per bulan Rp1,5 juta. Namun saat pandemi Covid-19 melanda, omset menurun drastis.
“Waktu pandemi itu omset rendah, sampai rumah produksi sempat ditutup karena penjualan kurang,” katanya.

Hingga pada 2022, saat aktivitas masyarakat sudah mulai kembali normal, Elsye kemudian melanjutkan usahanya. Kali ini ia menjualnya ke Dekranasda NTT. Sistem pembayarannya yang langsung, tanpa konsinyasi, bagi Elsye membantunya untuk tetap bisa hidup.
“jadi kami bisa langsung putar modal untuk buat lagi, tanpa harus tunggu laku dulu,” kata perempuan asal Ambon ini.
Hingga kini Elsye terus mengolah makanan berbahan dasar rumput laut. Bahkan dia sedang memformulasikan resep untuk membuat bakso dari rumput laut. Produk ini nantinya dikhususkan bagi para vegetarian.
Alasannya untuk tetap mengembangkan produk makanan dari rumput laut sederhana, agar hasil laut NTT tak hanya dinikmati di luar NTT maupun di luar negeri, namun bisa dikenal oleh masyarakatnya sendiri.
Baca Juga: Dortia Mbura Di Usia Senja Kelola UMKM Setia Kawan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi rumput laut di NTT mencapai lebih dari 2.158 juta ton. Cina menjadi negara tujuan dengan total ekspor terbesar.
Produksi rumput laut di NTT mencapai 22,45 persen dari total produksi Indonesia. Sedangkan per 14 Januari, Pergub NTT dibuat untuk rumput laut di NTT hanya dijual ke tiga perusahaan yang ada di kabupaten Kupang, Sabu,dan Sumba. Untuk selanjutnya dibuat menjadi keripik rumput laut.
Ini membuat pengelolaan rumput laut masih minim, dibanding dengan kelor yang makin banyak dibuat sejak program kelorisasi digaungkan Gubernur NTT pada 2018 lalu.
“Akhir-akhir ini banyak yang beralih ke kelor, padahal ada hasil laut NTT yang juga bagus. Kalau semua lari ke kelor, kompetisinya makin terasa, jadi saya memilih tetap mengolah rumput laut,” ucap ibu dengan tiga anak itu. *****
Silakan hubungi nomor +628125055279 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!