Kupang – Kerugian ekonomi akibat rabies dan virus African Swine Fever (ASF) pada ternak babi di Nusa Tenggara Timur (NTT) diperkirakan lebih dari Rp 3 triliun. Prediksi kerugian ini sudah mendekati realisasi pendapatan asli daerah (PAD) NTT selama tahun 2022 atau identik dengan target modal dasar Bank NTT pada awal 2024 agar tidak diturunkan statusnya.
Seperti diketahui, dampak dari rabies dan serangan virus pada babi sangat memukul perekonomian masyarakat. Informasi yang dihimpun KatongNTT.com dari sejumlah sumber dan kajian memperjelas kerugian ekonomi tersebut.
Baca : Mindset “Pemadam Kebakaran” Mengatasi Serangan Rabies di NTT
Untuk rabies saja, kerugian ekonomi dalam 25 tahun terakhir diprediksi lebih dari Rp 600 miliar. Sejak tahun 1998, rabies sudah endemik di NTT. Sedangkan kerugian akibat serangan virus demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) juga diperkirakan lebih dari Rp 2,5 triliun.
Baca : Rabies di NTT, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia Turun Tangan
“Rabies telah menulari NTT sejak tahun 1998. Hampir 50% total kerugian merupakan biaya vaksinasi manusia paska gigitan anjing tersangka rabies. Vaksinasi pasca gigitan memang 100% dapat mencegah munculnya gejala rabies pada manusia. Namun, vaksinasi pasca gigitan jauh lebih mahal jika tanpa dibarengi vaksinasi pada populasi anjing,” ujar pakar epidemiologi dan ekonomi kesehatan hewan, Ewaldus Wera, pekan lalu.
Dikatakan, rata-rata di NTT mencapai 10.000 kasus gigitan setiap tahun. Sebagian besar, bahkan hampir semua kasus gigitan mendapat vaksin antibodi dengan total biaya Rp 10 miliar. Jumlah ini dengan asumsi Rp 1 juta per pasien. Kemudian biaya transportasi dan waktu kerja yang hilang diperkirakan sekitar Rp 25 miliar per tahun.
Baca : 666 Kasus Gigitan Anjing Terjadi di TTS Pasca KLB Rabies
Sementara itu, serangan virus demam babi Afrika di NTT hingga akhir 2022 lalu menimbulkan kerugian mencapai Rp 2,3 triliun. Prediksi tersebut belum termasuk serangan ASF selama 2023 dan kerugian karena terhentinya sejumlah mata rantai terkait perdagangan babi.
Data yang dikumpulkan KatongNTT.com tersebut berdasarkan jumlah kematian babi yang pernah dikeluarkan pemerintah atau lembaga yang berkompeten. Data Dinas Peternakan Provinsi NTT pada Juli 2022 lalu menyebutkan dari awal hingga pertengahan 2022 tercatat 122 ribu babi mati akibat ASF.
Baca : Pengawasan Lalu Lintas Babi Lemah Ancam Efektivitas Biosekuriti Cegah Penularan ASF
Informasi lain sebagai rujukan yakni dari Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA). Lembaga ini mempunyai program terkait pencegahan virus ASF tersebut.
CEO Nina FitzSimons di Kupang, Selasa (7/2/2023) lalu menyebutkan jumlah ternak babi yang mati di NTT akibat virus ASF mencapai 500 ribu ekor. Program kemitraan pembangunan Australia- Indonesia ini menyebutkan kematian babi sejak pertama kali mewabah pada 2020 sangat merugikan perekonomian peternak.
Jika mengacu pada data PRISMA saja dan dengan asumsi rata-rata harga babi sekitar Rp 4 juta per ekor, maka kerugian langsung mencapai Rp 2 triliun. Padahal, ada juga babi dewasa bisa mencapai Rp 7 juta per ekor. Jumlah tersebut belum memasukan data kerugian versi Dinas Peternakan NTT dan kerugian tidak langsung terkait bisnis babi.
Baca : Alumni IPB NTT Sambut Tawaran Visa Pertanian Australia
Ketua Himpunan Alumni (HA) IPB NTT Petrus M Bulu sangat prihatin atas potensi kerugian akibat serangan rabies dan virus ASF tersebut. “Kerugian ekonomi itu menunjukkan beban yang sangat besar untuk pemerintah dan masyarakat NTT. Untuk itu, berbagai upaya pencegahan harus dilakukan,” ujar doktor jebolan Murdoch University, Australia ini.
Prediksi yang dihimpun KatongNTT.com menyebutkan jumlah kerugian akibat ASF dan rabies sudah mencapai Rp 3,2 triliun. Jumlah tersebut sebenarnya sudah mendekati realisasi pendapatan asli daerah (PAD) NTT selama tahun 2022 yang mencapai Rp 4,38 Triliun. Sebagai perbandingan lain, prediksi kerugian juga identik dengan target modal dasar Bank NTT pada awal 2024 agar tidak diturunkan statusnya. Data yang dikutip dari Asbanda.org menyebutkan sebagai bank sehat, pada awal tahun 2024 nanti modal dasar Bank NTT ditargetkan mencapai Rp 3 triliun lebih. Hal itu agar Bank NTT tidak akan turun status menjadi BPR, apalagi sampai dibubarkan. [Anto]