• Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
Sabtu, Desember 2, 2023
  • Login
Katong NTT
  • Ekonomi dan Agribisnis
    • Agribisnis
  • Perempuan dan Anak
  • Pekerja Migran
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Inspirator
  • Sorotan
  • Pemilu 2024
  • Opini
  • Kolaborasi
    • Dekranasda Provinsi NTT
    • Kabar dari Badan Penghubung NTT
    • Cerita Puan
No Result
View All Result
  • Ekonomi dan Agribisnis
    • Agribisnis
  • Perempuan dan Anak
  • Pekerja Migran
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Inspirator
  • Sorotan
  • Pemilu 2024
  • Opini
  • Kolaborasi
    • Dekranasda Provinsi NTT
    • Kabar dari Badan Penghubung NTT
    • Cerita Puan
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Kolaborasi Dekranasda Provinsi NTT

Kisah Penenun Yakoba Dedo Dijanjikan Modal Hingga Tolak Berjualan Online

Ruth Botha by Ruth Botha
11 bulan ago
in Dekranasda Provinsi NTT
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Yakoba Tanggu Dedo, penenun asal Sumba Timur yang kini menetap di Lasiana, Kupang (Ruth Botha-KatongNTT)

Yakoba Tanggu Dedo, penenun asal Sumba Timur yang kini menetap di Lasiana, Kupang (Ruth Botha-KatongNTT)

0
SHARES
61
VIEWS

Kupang – Menjadi penenun sudah terbesit dalam benaknya sejak di bangku sekolah. Bukan karena paksaan, tetapi ia sadar benar jika benang yang kemudian dipadupadankan menjadi kain tenun itu sangat memikat hatinya.

Adalah Yakoba Dedo, perempuan asal Sumba Timur, NTT ini telah mahir menenun sejak SMP. Lingkungan sekitarnya yang kebanyakan adalah penenun, serta adanya pelajaran menenun di sekolahnya, membuat Yakoba semakin dekat dengan kriya tekstil ini.

BacaJuga

Produk 'Dosa', yang adalah cuka tradisional dari Rote, NTT (Ruth-KatongNTT)

Mengenal ‘Dosa’, Cuka Tradisional dari Rote, NTT

27 Mei 2023
Proses produksi garam di CV. Raja Baru milik Ferdinand Latuharu (Dok. CV. Raja Baru)

Pabrik Garam Ferdinand Latuheru Kesulitan Bahan Baku

21 Mei 2023

“Awalnya itu tenun yang kecil-kecil saja. Salendang begitu. Itu tidak ada yang paksa. Saya mau sendiri,” kata Yakoba saat disambangi di rumahnya di Lasiana, Kupang.

Baca Juga: Tenun NTT Hadapi Dilema: Patuhi Adat dan Ikut Tuntutan Pasar

Sejak saat itu dia menekuni tenun. Pelan-pelan Yakoba membuat kain tenun sarung dengan ukuran yang lebih besar.

Dia juga mulai bisa membuat kain tenun dengan motif dari daerah lain di NTT, bukan hanya dari Sumba saja. Hasil kain tenunannya kemudian menjadi koleksi pribadinya.

Hingga ketika ia menikah pada 2001, Yakoba memilih menjadi penenun. Tenunan buatan tangannya dijual.

Hasil tenunan yang rapat dan rapi, serta dapat dihasilkan dalam waktu tiga hari, membuat tenunannya disukai.

Atas daya juangnya dalam membuat tenun yang baik, pada 2011 Yakoba diangkat menjadi pembina penenun di NTT oleh Walikota Kupang Jonas Salean. Ia kemudian melalang buana di dalam dan di luar NTT untuk memberi pelatihan.

“Jadi saya ke mana-mana. Sampai sana kasih ajar orang tenun yang baik bagaimana. Tapi saya juga ikut belajar kalau ke daerah-daerah. Cara mereka tenun bagaimana. Makanya saya juga banyak tahu (motif dan teknik),” ujar perempuan dengan nama lengkap Yakoba Tanggu Dedo itu.

Yakoba selanjutnya diminta Walikota untuk membentuk kelompok tenun dan dijanjikan akan diberi dana Rp 75 juta untuk mengembangkan kelompok tenun yang diberi nama Nusa Lontar itu.


Keberlangsungan Kelompok Tenun Nusa Lontar

Nyatanya, setelah 12 tahun berlalu, dana Rp75 juta yang dijanjikan pemerintah masih belum direalisasikan.

“Mereka bilang buat proposal trus antar ke dinas perindag, ke dinas ini, itu. Sudah kami buat, tapi bilangnya dana belum cair,” kata Yakoba.

80 anggota yang telah terdaftar, kemudian dituntun Yakoba untuk maju secara mandiri.

Beberapa kali mereka mendapat bantuan dari pemerintah, namun tak bertahan lama. Misalnya peralatan tenun dan juga benang.

“Ini kayu (alat tenun) yang mereka kasih ringan saja. Cepat lapuk. Punya kami justru lebih kuat. Benang yang mereka kasih juga benang putih polos yang tidak tebal. Jadi kami rasa percuma saja,” ungkap perempuan 40 tahun itu.

Ia kemudian lelah berharap pada pemerintah. Katanya, lebih baik kerja saja dan hasilkan yang terbaik. Masih ada 80 orang lainnya yang butuh spirit positif darinya sebagai ketua kelompok untuk terus menenun.

Bangun pagi setelah mengurus ketiga anaknya ke sekolah, ia kemudian mulai menenun. Jam kerjanya ia sesuaikan dengan jam kerja kantoran.

“Jadi ini saya punya kantor ini. Saya mulai kerja jam 8. Istirahat makan siang jam 12-1 siang. Lalu berhenti di jam 4. Tapi kadang kalau saya lagi mau tenun lanjut, sampai malam saya tenun,” tuturnya.

Akan kecintaannya pada menenun yang mengharuskannya lebih banyak menghabiskan waktu dalam rumah. Yakoba beberapa kali disebut tak suka bergaul oleh beberapa pihak. Namun ia tak peduli apa yang dikatakan orang.

Baginya, selagi apa yang ia perbuat halal dan bisa membantu perekonomian keluarganya, akan terus ia lakukan.

“Dari pada saya pi (pergi) duduk cerita tidak jelas, mending saya di rumah tenun. Dapat uang. Jadi istri juga ya jangan harap (uang) dari suami saja lah,” kata ibu dengan tiga anak itu.

Baca Juga:Marak Pencurian, Dekranasda Daftarkan 773 Motif Tenun NTT di Indikasi Geografis

Per helai kain tenun sarung ia jual mulai dari harga Rp 600 ribu – Rp 1 juta. Sedangkan harga kain selendang ukuran kecil harga di bawah Rp 500 ribu. Hasil penjualan akan dibagi rata pada anggota yang juga turut andil dalam pembuatan tenun itu.

Proses menyiapkan bahan dan menenun membentuk motif yang rumit menjadi alasan utama kain tenun dijual mahal.

“Kalau ada yang datang terus tawar sampai murah sekali saya suruh pulang. Saya bilang tidak jual. Kerja ini susah,” cerita Yakoba akan sikap beberapa pembeli.

Beberapa Contoh kain tenun dan aksesoris dari kai tenun yang dibuat Yakoba dan anggota kelompok tenun lainnya (Ruth Botha-KatongNTT)
Beberapa Contoh kain tenun dan aksesoris dari kai tenun yang dibuat Yakoba dan anggota kelompok tenun lainnya (Ruth Botha-KatongNTT)

Menurutnya, pembeli kain tenun paling banyak ialah para turis asing. Lokasi rumahnya dekat dengan pantai Lasiana, salah satu objek wisata di Kupang. Dia juga berjualan di Pantai Lasiana, membuat kain tenunannya laku terjual. Pendapatannya bisa mencapai puluhan juta.

“Pendapatan tertinggi dari turis itu pernah sampai Rp21 juta. Paling sedikit itu Rp3 juta. Mereka datang kan pakai bis. Banyak orang,” ceritanya.

Yakoba hanya mengandalkan kartu nama yang ia bagi-bagi kepada setiap mereka yang datang. Dari kartu nama itu, ia lebih banyak dikenal di kalangan wisatawan yang datang ke Kupang.

 

Pandemi dan Asa yang Dirawat

Sayangnya, ketika pandemi COVID-19 mulai merebak pada 2020 di hampir seluruh belahan dunia, mulai mematikan segala aspek kehidupan manusia. Salah satunya dengan penjualan kain tenun di Lasiana.

Rombongan wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang biasanya dua bulan sekali turun ke Lasiana, kini mulai tak muncul.

Larangan untuk berdekat-dekatan dan bahkan mengharuskan untuk diam dalam rumah, seketika menutup pintu pendapatan para penenun.

“Saya itu waktu coba jual online. Tapi orang di sini giliran kita antar mereka tidak mau lagi. Bilang tidak sama dengan yang di gambar. Padahal mata mereka yang bermasalah. Jadi sudah, jangan bikin capai diri,” ungkap Yakoba menyatakan keengganannya untuk berbisnis online.

Sejak saat itu, pendapatan mulai berkurang. Sebelumnya hasil tenunan bisa habis terjual paling lama dalam dua bulan, kini hingga empat sampai lima bulan pun kain tenunan masih terlipat rapi di etalase.

Aksesoris tenun lainnya semisal gelang, tas, bahkan yang telah dijahit menjadi pakaian pun lama terjual. Pendapatannya kini hanya mencapai Rp 300 ribu per bulan.

Beberapa anggota kelompok tenunnya ada yang mulai memilih gantung peralatan tenun. Namun, Yakoba masih merawat asanya dalam melanjutkan warisan leluhur ini.

“Kerja saja. Saya bilang mereka (anggota kelompok) untuk terus tenun. Pasti akan ada berkat. Semoga saja tempat wisata ramai lagi seperti dulu,” pungkasnya. *****

 

Silakan hubungi nomor +6282144316561 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!

Tags: #Corona#Dekranas#DekranasdaNTT#Kupang#Lasiana#Pandemi Covid-19#PantaiLasiana#Tenun#TenunNTT
Ruth Botha

Ruth Botha

Baca Juga

Produk 'Dosa', yang adalah cuka tradisional dari Rote, NTT (Ruth-KatongNTT)

Mengenal ‘Dosa’, Cuka Tradisional dari Rote, NTT

by Ruth Botha
27 Mei 2023
0

Produknya ia beri nama Dosa, yang berasal dari bahasa Rote, yang artinya Cuka. “Tujuannya hanya untuk memperkenalkan saja kalau kami...

Proses produksi garam di CV. Raja Baru milik Ferdinand Latuharu (Dok. CV. Raja Baru)

Pabrik Garam Ferdinand Latuheru Kesulitan Bahan Baku

by Ruth Botha
21 Mei 2023
0

“Sebelumnya itu bahan baku dari tahun lalu bisa bertahan sampai sekarang,” ujar laki-laki yang pernah mengikuti pendidikan di PT. Garam...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© 2023 Katongntt.com - Merawat Suara Hati

No Result
View All Result
  • Ekonomi dan Agribisnis
    • Agribisnis
  • Perempuan dan Anak
  • Pekerja Migran
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Inspirator
  • Sorotan
  • Pemilu 2024
  • Opini
  • Kolaborasi
    • Dekranasda Provinsi NTT
    • Kabar dari Badan Penghubung NTT
    • Cerita Puan

© 2023 Katongntt.com - Merawat Suara Hati

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In