Kupang – Kota Kupang Peduli HAM sepertinya sekadar simbol atau jargon. Mengapa? Sejak Kota Kupang diberi penghargaan sebagai kota peduli HAM oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2016, justru penghuninya merasakan perlakuan diskriminatif, diabaikan, tidak aman, bahkan tidak masuk dalam hitungan.
Penilaian ini disampaikan para peserta Workshop Penyusunan Policy Brief dan Rancangan Peraturan Kota Kupang Peduli HAM Rekomendasi Masyarakat Sipil pada 23-24 Mei 2023. Workshop diselenggarakan LBH Apik NTT di hotel Neo, Kota Kupang.
Mereka mewakili komunitas dan masyarakat rentan, perwakilan pemerintah Kota Kupang, dan media menggali pengalaman, fakta dan data untuk direkomendasikan dalam policy brief.
Baca juga: Bertemu Mama Peni di Pojok Belo, Sendirian Hidupi Suami ODGJ dan Anak Keterbelakangan Mental
Elmi Ismau, perwakilan komunitas difabel Garamin NTT menjelaskan, pemerintah belum memiliki data terpilah difabel yang akurat. Hal ini tentu berdampak pada pemenuhan hak-hak difabel seperti memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
“Data yang tidak saling sinkron ini menyulitkan Pemerintah dalam menyusun program dan kegiatan bagi difabel dalam upaya pemenuhan haknya,” ujar Elmi.
Jhow dari Yayasan Inset/JIP NTT secara rinci memaparkan berbagai persoalan yang dihadapi para penyandang HIV/AIDS di Kota Kupang. Misalnya diskriminasi dan stigma yang datang dari masyarakat, kantor pemerintah maupun swasta yang masih sangat kuat. Bahkan mereka juga mendapat stigma dan diskriminasi dari petugas pelayanan kesehatan.
Jhow juga meminta Dinas Kesehatan Kota Kupang menyediakan obat antiretroviral (ARV) bagi anak-anak penyandang HIV. Obat ini, ujarnya, belum tersedia di NTT.
“Selama ini ARV yang dipakai tuh ARV orang dewasa terus digerus diberikan ke anak. Memang permintaan teman selama ini ingin dapat ARV anak yang 1×1,” kata Jhow kepada KatongNTT.com usai Workshop pada Kamis, 25 Mei 2023.
Baca juga: Miris! Pencabulan Anak Terjadi Lagi Dalam Lingkup Gereja
Para peserta workshop juga menyoroti tentang kehadiran masyarakat miskin kota di Kota Kupang seperti gelandangan, pengemis, hingga penyandang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Mereka ini tidak memiliki identitas sebagai penghuni Kota Kupang. Mereka juga tidak memiliki tempat tinggal layak, tidak punya pekerjaan. Bahkan hidup terancam khususnya ODGJ dan gelandangan yang kini jumlahnya bertambah.
Stigma hingga ancaman persekusi juga dialami mereka sebagai LGBTQ di Kota Kupang. Kehadiran mereka bahkan ditolak keluarga dan masyarakat.
Direktur LBH Apik NTT, Ansi Rihi Dara mengatakan, lembaganya ingin mendorong pemerintah Kota Kupang untuk serius menjalankan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenhukham) nomor 22 tahun 2021. Permenhukham ini tentang indikator kota/kabupaten peduli HAM berdasarkan dua protokol HAM yakni di bidang sosial politik dan ekonomi dan sosial budaya.
“Kami melihat antara implementsi Permenhukham di lapangan masih jauh dari Kota Kupang Peduli HAM. LBH Apik ingin mendorong Permhenhukham dan Rencana Aksi Nasional HAM dapat mendorong penghormatan, perlindungan, pemenuhan, peningkatan dan mendorong HAM dapat diimplementasikan secara nyata oleh pemerintah,” kata Ansi kepada KatongNTT.com, Rabu, 24 Mei 2023.
Dalam Permenhukham nomor 22 tahun 2021 disebutkan:
- Hak Sipil dan Politik, meliputi:
1.1. Hak atas bantuan hukum terdiri dari 6 indikator.
1.2. Hak atas informasi terdiri dari 4 indikator.
1.3. Hak turut serta dalam pemerintahan terdiri dari 5 indikator.
1.4. Hak atas keberagamanan dan pluralism terdiri dari 10 indikator.
1.5. Ha katas kependudukan terdiri dari 11 indikator.
2. Hak ekonomi, sosial dan budaya, meliputi:
2.1. Hak atas kesehatan terdiri dari 30 indikator.
2.2. Ha katas pendidikant terdiri dari 20 indikator.
2.3. Ha katas pekerjaan terdiri dari 11 indikator.
2.4. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta ha katas perumahan yang layak terdiri dari 10 indikator.
2.5. Hak perempuan dan anak terdiri dari 13 indikator.
Baca juga: Warga NTT Diingatkan Pentingnya Dokumen Kependudukan Anak
Selama ini, tutur Ansi, tidak ada gerakan sipil yang secara sistematis mendorong pemenuhan HAM di Kota Kupang, terutama dari kelompok masyarakat rentan dan minoritas.
“Memang aksi-aksi ada, tapi secara regulasi tidak terlalu melihat payung hukum,” paparnya.
Melalui penyusunan policy brief ini, kata Ansi, LBH Apik NTT ingin mengisinya dengan meminta partisipasi masyarakat sipil untuk mendorong lahirnya peraturan daerah. Peraturan ini sebagai cantolan pemerintah Kota Kupang membuat peraturan walikota.
“Masyarakat butuh mekanisme yang dibangun bersama untuk mengakomodir kebutuhan dasar HAM yang harus dipenuhi negara. Ini inisiatif lokal,” ujarnya.
Seorang peserta bernama Indra menuturkan, umat Ahmadiyah hidup aman dan tenang di Nusa Tenggara Timur. Situasi ini tidak akan mereka temukan di luar Nusa Tenggara Timur di mana persekusi kerap mereka alami. Begitupun, Indra menitipkan harapan agar papan nama mushola dapat berdiri di area lahan Ahmadiyah di Jalan Tuak Daun Merah, Kota Kupang.
“Kami umat Ahmadiyah merasa aman dan diterima di Kota Kupang. Permintaan kami hanya pendirian papan nama mushola,” ujar Indra, staf di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ansi mengatakan, problematik yang dialami masyarakat sipil di Kota Kupang akan dimasukkan dalam policy brief. Untuk selanjutkan policy brief ini diserahkan ke pemerintah dan DPRD Kota Kupang pada pertengahan Juni 2023. Harapannya pemerintah dan DPRD Kota Kupang dapat memenuhi indikator kota peduli HAM sebagaimana diatur dalam Permenhukham nomor 22 tahun 2021.
“No one left behind, tak seorangpun dilupakan dan diabaikan. Itu prinsip HAM yang mau kita suarakan di Kota Kupang peduli HAM,” tandas Ansi.*****