Kupang – Kantor Perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan didirikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun ini. Kehadiran kantor perwakilan LPSK ini untuk memudahkan akses dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.
“Kantor perwakilan LPSK sudah harus operasional di NTT tahun 2025. Paling lambat sebelum pertengahan tahun 2025 sudah berdiri,” kata Ketua LPSK Achmadi dalam wawancara via telepon dengan KatongNTT.com pada Senin, 27 Januari 2025.
Pendirian kantor perwakilan LPSK di NTT juga mempertimbangkan letak geografisnya yakni kepulauan sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat disegerakan .
Baca juga: Korban Perdagangan Orang di Ngada Dapat Restitusi
Achmadi menjelaskan LPSK sering menghadapi beberapa kendala atau tantangan dalam memberikan pemenuhan restitusi untuk korban atau keluarga korban di NTT. Misalnya, kelengkapan formil pemohonan, komponen-komponen untuk pemberian restitusi, dokumen pendukung, dan pemahaman semua pihak.
“Penilaian restirisi perlu support data dari berbagai sumber misalnya, dokumen medis, dokumen psikologis. Oleh karena itu kita perlu kolaborasi untuk perlindungan,” ujar Achmadi.
Sebagai informasi untuk masyarakat, Achmadi menjelaskan bahwa pengaturan tentang pemenuhan restitusi ada di beberapa undang-undang. Misalnya UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, UU nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, UU nomor 12 tahun 2022, dan UU nomor 5 tahun 2018 tentang terorisme.
Sebelumnya, LBH Apik NTT mengeluhkan tentang kerja LPSK yang lamban merespons tentang pemenuhan restitusi kepada korban.
Baca juga: Saksi dan Korban Kasus Viral Bisa Buat Identitas Baru
“Seringkali hasil perhitungan (restitusi) LPSK terlambat dikeluarkan, sehingga berpengaruh pada putusan hakim terkait restitusi,” kata Ansy Rihi Dara, Direktur LBH Apik NTT dalam konferensi pers tentang catatan akhir tahun 2024 pada Kamis, 23 Januari 2025.
Sepanjang 2024, LBH Apik NTT mengupayakan restitusi untuk 5 kasus yang ditangani. Pertama, kasus persetubuhan disabilitas berinisial FRL. Proses restitusi masing dalam tahap perhitungan LPSK. Kasus berikutnya tentang persetubuhan anak inisla JRS. LBH Apik NTT sedang memproses pengajuan restitusi ke LPSK. Kasus ketiga tentang kecelakaan lalu lintas, namun permohonan restitusi ditolak LPSK dengan alasan bukan pidana prioritas.
Baca juga: Guru, Teman, dan Keluarga Terbanyak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak di NTT
Kasus lainnya adalah kasus pemerkosaan terhadap difabel berinisial DB. Perhitungan LPSK untuk restitusi yang dibayarkan pelaku ke korban adalah Rp 101.832.900. Namun belum ada putusan hakim karena masih dalam tahap persidangan. Restitusi juga belum dimasukkan dalam tuntutan. Terakhir adalah kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan inisial pelaku OT. Jumalh restitusi hasil perhitungan LPSK sebesar 67.616.000. Jumlah restitusi yang diputuskan hakim adalah Rp 33.808.000 dan yang bisa dieksekusi dari pelaku sebesar Rp 16.904.000.
Dari fakta-fakta ini, LBH Apik NTT berharap peran LPSK perlu semakin ditingkatkan, terutama dalam merespons kasus-kasus di daerah. [*]