Kupang – Dimulai sejak 25 November – 10 Desember 2023 nanti, dunia melaksanakan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan (16 Days of Activism against Gender-Based Violence).
Kampanye tahunan ini sudah sejak 1991 diadakan di seluruh dunia. Dilansir dari laman Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sebagai inisiator kegiatan ini di Indonesia, tujuan kampanye ini untuk menyosialisasikan upaya mencegah dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di dunia.
Baca Juga: 187 Kasus Perempuan dan Anak di Kota Kupang, Ada Pelacuran Online
Dalam Lembar Fakta catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, ada empat jenis kekerasan yang dialami perempuan.
1. Kekerasan Fisik. Di mana perempuan mendapat kekerasan berupa pemukulan, dibacok, dibunuh, dan lainnya. Kekerasan jenis ini dapat dilihat karena menyebabkan luka di tubuh korban bahkan kematian.
Di Indonesia, berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang 2022, kekerasan fisik pada perempuan sebanyak 6.001 kasus.
Untuk di wilayah NTT, dalam laporan yang masuk di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), kekerasan jenis ini terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2020, kekerasan fisik terdapat mencapai 175 kasus. di 2021 naik menjadi 252 kasus. Lalu di 2022 mencapai 413 kasus.
Baca Juga: 3 Kabupaten di NTT Tak Punya Unit Khusus Tangani Perempuan dan Anak
2. Kekerasan Psikis. Yaitu sesorang mendapat serangan lewat kata-kata seperti mengancam atau mengintimidasi. Dalam Pasal 7 UU No.23 Tahun 2004 menyebut, kekerasan ini dapat membuat korban ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, dan hilangnya kemampuan untuk bertindak. Juga rasa tidak berdaya, dan atau bahkan menderita psikis yang berat.
Jenis kekerasan ini tercatat sebanyak 2.083 kasus yang terlapor di Komnas Perempuan pada 2022.
Sedangkan di NTT, kekerasan ini pun melonjak dalam tiga tahun terakhir. Di 2020, ada 182 kasus yang terdata. 321 kasus di 2021. Sedangkan pada 2022, ada 446 kasus yang dilaporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Kekerasan ini kini dapat terjadi secara daring (dalam jaringan) atau Online maupun luring (luar jaringan). Makin bebasnya seseorang berselancar dalam dunia maya, tak menutup kemungkinan pula seseorang menjadi korban kekerasan psikis bahkan dari orang yang tak dikenalnya.
Baca Juga: UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
3. Kekerasan Seksual. Merupakan kekerasan paling dominan terjadi pada perempuan. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan, kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan.
Tindakan ini dilakukan dengan memaksa korban atau mengancam. Seperti mencubit, mencolek, menepuk, atau menyentuh di bagian tubuh tertentu atau secara sepihak tanpa persetujuan korban. Yang berujung terjadinya pemerkosaan maupun pencabulan.
Termasuk dalam kekerasan seksual adalah perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.
Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.
Komnas Perempuan mencatat, di 2022 ada 2.228 kasus yang terdata.
Di NTT, total ada 216 kasus yang terjadi pada 2020 menurut data Simfoni PPA. Pada 2021 ada 309 kasus, lalu di 2022 tercatat sebanyak 429 kasus.
Baca Juga: Komnas Disabilitas: Penganiaya ODGJ di Lembata Rendahkan Martabat Manusia
Sama halnya dengan kekerasan psikis, kekerasan seksual sekarang ini dapat terjadi juga secara daring.
Komnas Perempuan mencatat ada beberapa jenis kekerasan seksual yang terjadi secara daring. Mulai dari pelecehan di dunia maya, peretasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto dan video intim. Ada pula sextortion, atau pemerasan lewat video intim.
Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, ada 940 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan pada 2020.
4. Kekerasan Ekonomi. Melansir dari Forbes, kekerasan jenis ini ialah taktik yang dilakukan pelaku untuk meningkatkan kendali atas korbannya seperti mengurangi akses korban terhadap rekening bank dan aset, atau memaksa mereka berhenti dari pekerjaannya.
Kekerasan ini acap kali menghalangi korban untuk meninggalkan pelaku karena korban sudah tidak lagi memiliki kemampuan finansial untuk bertahan hidup.
Bisa juga suami mengambil penghasilan atau tabungan tanpa persetujuan istri, penelantaran terhadap istri dan anak, dan memaksa istri atau anak untuk menjadi pelacur.
Hal ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, terlepas dari apakah mereka sudah menikah dengan pasangannya maupun mereka yang sedang menjalin hubungan baru.
Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Data dalam Survei Pengalaman Hidup Nasional (SPHN) seperti yang dilansir dalam Nova.id, pada 2019 lalu bahkan kekerasan ekonomi angkanya melebihi kekerasan lainnya.
Setidaknya 24,5% perempuan mengalami kekerasan ekonomi, 20,5% kekerasan emosional, 12,3% kekerasan fisik, dan 10,6% kekerasan seksual.
KemenPPPA sudah menyediakan saluran untuk melapor tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Siapa saja yang melihat tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa segera melaporkannya melalui telepon ke 129 atau WhatsApp di nomor 08111129129. ***