Oebelo – Novilia Simamora awalnya hanya ingin menikmati kembali camilan masa kecilnya dulu. Ia menyebutnya ‘kiri-kiri’.
Camilan itu terbuat dari olahan tepung dengan berbagai bahan yang dibentuk memanjang kemudian digoreng.
Resep yang didapat turun temurun itu disukai anggota keluarganya.
Novilia kemudian berpikir untuk berjualan camilan ini.
“Sebelumnya kan hanya ibu rumah tangga. Trus jualan garam saja di pinggir jalan. Lalu saya mulai jual. Titip di kios,” cerita Novilia.
Baca Juga: Alfamart Dinilai ‘Sombong’ Dengan UMKM NTT
Pada 2002, keseharian Novilia mulai berubah. Ia mulai memproduksi kiri-kiri dan menitipkannya ke kios-kios sekitar.
Kala itu belum marak penggunaan media sosial (medsos). Sehingga penjualannya hanya pada kenalannya.
Kondisi ini bertahan hingga 2017 ketika dia memilih masuk ke satu kelompok perempuan.
Lewat kelompoknya itu, Novilia mendapat pemahaman agar menjadi perempuan yang lebih berdaya. Perempuan tak selamanya hanya bergantung pada suami.
Talenta serta ketersediaan sumber daya alam yang ada bisa diberdayakan untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Dalam kelompok ini, Novilia makin berkembang dengan mendapat beberapa pelatihan. Kiri-kirinya ia buat dengan tambahan labu kuning, ubi ungu, daun seledri, dan kelor.
“Dulu sebutnya kiri-kiri. Sekarang lebih moderen, sebutnya stik. Stik labu kuning,” jelas perempuan 42 tahun ini.
Dia pun mendirikan UMKM yang diberi nama Deshavian, yang merupakan akronim dari ketiga anaknya. Desi, Shaud, dan Vianti.
Selain camilan, Ia pun mulai memasarkan sambal lu’at, khas NTT. Ia juga menjajaki jualannya lewat medsos dan gerai di Dekranasda NTT. Produknya dipajang di sana.
Namun, pendapatan belum seberapa. Ia harus berkelana mencari pelanggan.
Novilia pagi-pagi mulai mempersiapkan anak-anaknya ke sekolah. Setelahnya, dia dengan motornya bergegas ke kantor-kantor dinas di kabupaten Kupang.
“Tantangannya itu sudah. Penjualannya yang masih kurang,” katanya.
Hasil penjualan jadi tak menentu. Per bulannya rata-rata ia dapatkan Rp300-400 ribu. Belum lagi kini harga bahan pokok serta BBM yang naik. Namun harga produknya tetap pada Rp 25 ribu per 175 gram.
Baru di awal April 2023, ia dan kelompoknya meminta ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diaperindag) Kabupaten Kupang untuk memberi lapak kepada para UMKM agar bisa berjualan di sana.
Sekitar pukul 9 pagi, Novilia mulai berjualan di ruang depan kantor Disperindag Kabupaten Kupang.
Produk-produk kemasan tersusun rapi dalam etalase.
Sedangkan jajanan pasar dan beberapa pangan lokal dia simpan di atas etalase.
Baca Juga: Kadis Parekraf: UMKM Jadi Daya Tarik Wisatawan Kunjungi NTT
Tak banyak yang membeli. Terkadang di jam 4 sore, ia harus pulang dengan membawa kembali banyak dagangannya.
Namun Novilia tetap tersenyum. Saat Covid19 melanda dua tahun lalu, usahanya sempat mati karena tak ada orderan. Sehingga, walau banyak tenaga, waktu, dan dana yang harus dikeluarkan, namun dia bersyukur usahanya masih bisa berjalan hingga kini.
Dia berharap, makanan semasa kecilnya ini tetap eksis. UMKMnya, beserta UMKM lain pun lebih diperhatikan lagi dalam pengembangannya.
Hal ini agar produk UMKM mereka bisa menjangkau pasar yang lebih luas. *****