Kupang – Nusa Tenggara Timur yang hanya dihampiri musim hujan sekitar 3 bulan dalam setahun dan sebagian besar pulaunya tandus dan ditutupi batu karang (Pulau Timor), ternyata kaya berbagai jenis tanaman pangan.
Mulai dari yang umumnya dikenal seperti jagung, ubi atau singkong, pisang, kacang tanah, kenari, kacang nasi, hingga ke jenis yang sudah langka seperti jejawut dan sorgum hitam.
Berbagai jenis pangan lokal dan olahannya dipamerkan Koalisi Pangan Baik dalam Pesta Raya Flobamoratas 2023 di Kota Kupang, 3-4 November 2023. Pesta bertemakan kampanye Perubahan Iklim ini diselenggarakan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos).
Baca juga: Isu Perubahan Iklim Kurang Bergaung, Anak Muda NTT Jadi Harapan
“Ada banyak komoditas pangan lokal yang NTT punya. Ini ada kacang-kacangan, ada sorgum juga, umbi-umbian, macam-macam padi ini semua dari Flores. Ada yang dari Manggarai bahkan banyak juga di daratan Timor yang sama seperti yang kami bawa dari Flores. Cuma beda di penyebutannya kayak jewawut kami sebut weteng, di Timor sebutannya sain, ”ujar Maria, aktivis pangan lokal.
Kacang-kacangan juga dihadirkan termasuk kacang yang diyakini sebagai makanan beracun, namun jika diolah dengan baik akan aman untuk dikonsumsi manusia.
“Ada kacang racun ini juga dari Flores. Banyak orang memang bilang kacang racun tapi kami masyarakat punya cara olah dimasaknya itu harus sampe tujuh kali baru bisa dimakan. Ini kita bisa masak campur dengan ubi yang kita parut, kalo campur dengan kacang ini enak,” kata Maria.
Namun, perubahan iklim telah berdampak luas pada petani di Flores. Cuaca yang tidak menentukan serta suhu udara yang semakin panas membuat hasil panen menurun tajam.
Berdasarkan data Koalisi Pangan Baik, para petani di Flores Timur mengalami penurunan hasil panen mencapai 45.5 persen. Hal ini sebagai dampak dari cuaca yang tidak menentu serta suhu udara yang semakin panas. Sehingga hama penyakit pada tanaman petani meningkat.
Penurunan hasil panen inilah yang membuat masyarakat yang terdampak memilih untuk melakukan aktivitas sampingan sebagai buruh bangunan, misalnya.
I’im sebagai salah satu anggota Koalisi Pangan Baik menjelaskan, masyarakat NTT perlu memanfaatkan beragam komoditas pangan yang adaptif dengan perubahan iklim di NTT.
Baca juga: Waspada Kekeringan, Perlu Optimalkan Palawija, Sorgum dan Singkong
“NTT sebenarnya sangat punya beragam pangan lokal yang potensial dan adaptif terhadap perubahan iklim. Kalo misalnya kita hanya bergantung pada satu komoditas, beras, maka lama kelamaan masyarakat NTT tidak akan mandiri pangan. Hanya tergantung pada beras yang didatangkan dari luar NTT.
“Makanya kita mencoba untuk menggali lagi apa sih potensi-potensi pangan lokal yang beradaptasi terhadap perubahan iklim yang sebenarnya masyarakat sering konsumsi tapi sekarang sudah jarang?”.
Misalnya Sorgum yang tumbuh di Pulau Flores. Masyarakat di Flores menyebutnya sebagai wata gahar. Sorgum ternyata banyak jenisnya salah satu sorgum hitam yang dipamerkan di Pesta Raya Flobamoratas.
I’im kemudian menjelaskan cara mengolah sorgum untuk dijadikan makanan. Biasanya kalo yang belum biasa makan sorgum , ujarnya, sorgum dicampur dengan beras dengan perbandingan 50: 50.
“Kemudian dimasak seperti masak beras, cuma untuk sorgum airnya dilebihkan sedikit.”
Dia menuturkan , masih ada masyarakat yang memproduksi sorgum meski tidak sebanyak dahulu karena didominasi beras setelah era Orde Baru.
“Beras itu sangat dominan. Pangan-pangan lokal seperti sorgum kemudian ada kacang kacangan seperti ini, umbi-umbian, jadi langka tergeser oleh beras,” ujarnya.

Gaplek, cara mengawetkan makanan di zaman dulu
Gaplek atau sebutannya koil yaitu ubi kayu dimanfaatkan masyarakat Manggarai dari zaman dahulu sebagai pangan lokal. Koil diolah dengan cara direndam, dikeringkan atau dijemur. Gaplek ini sebagai cara masyarakat zaman dulu mengawetkan makanan.
“ Kalo mau mengolahnya biasa direndam dulu, setelah direndam baru bisa diolah. Kalo Koil ini dari Manggarai. Justru orang-orang dahulu itu sebenarnya salah satu strategi mereka untuk mengawetkan makanan dengan membuat Koil ini. Kalo misalnya disimpan dalam bentuk yang segar itu kan umurnya pendek, jadi untuk memperpanjang masa penyimpanan dibuatlah seperti ini”.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil NTT Suarakan Dampak dan Solusi Perubahan Iklim
Jewawut atau biasa disebut weteng oleh masyarakat Flores juga dimanfaatkan sebagai olahan herbal bagi perempuan yang selesai melahirkan. Namun untuk sekarang ini pengolahannya lebih didominasi oleh beras.
“Weteng ini manfaatnya sangat baik misalnya untuk kesehatan ibu yang habis melahirkan. Bisa juga untuk mengobati yang sakit patah tulang. Diolahnya jadi bubur, salah satu olahannya juga ada puding jewawut. Dikupas setelah itu langsung dimasak. Tapi seperti itu tadi, sorgum kemudian Leye ini tidak banyak lagi seperti beras. Ini karena beras sudah sangat mendominasi. Jadi panganan sepeerti ini tidak sebanyak dahulu,” ujar I’im.
Jali-jali juga merupakan jenis kacang-kacangan yang biasa disebut masyarakat Lembata yaitu leye, masyarakat Manggarai menyebutnya sela. Salah satu suku di Lembata mengharuskan perempuan untuk mengkonsumsi Leye sebagai bagian dari adat istiadat. Sampai saat ini masyarakat Lembata masih banyak menanam tumbuhan tersebut.
“Ada satu suku di Lembata dimana perempuan itu diwajibkan untuk mengkonsumsi jali-jali. Makanya mereka sampai sekarang itu masih menanam dan mengkonsumsi jali-jali. Itu salah satu tradisi adat mereka”.
Kondisi daerah yang kering memungkinkan jali-jali sebagai alternatif tanaman pangan pengganti beras atau jagung.
Baca: Kaum Muda Desa Hewa-Flores Timur Mendokumentasi 12 Padi Lokal
“Selain itu sebenarnya Lembata kondisinya kering. Jika kita tanam padi kemudian tanam jagung, dan itu tidak bisa tumbuh dengan baik. Ada salah satu alternatif tanaman pangan namanya leye atau jali-jali yang bisa dikonsumsi. Ini sebenarnya tidak butuh banyak air ketika tanam, palingan hanya saat pertama kali ditanam itu butuh air. Selanjutnya tidak butuh banyak air lagi”.
Pemanfaatan pangan lokal yang kurang menjadikan ketersediaan komoditas pangan daerah semakin sedikit. Bahkan langka dan jarang untuk dijumpai. Beragam pangan lokal di NTT namun selama ini tidak dimanfaatkan masyarakat. Mereka tidak mengkonsumsinya lagi karena sudah terlanjur bergantung dengan beras. (Ayunda)




