Banyak yang terkejut ketika Paus Leo XIV, dengan latar belakangnya yang berasal dari Amerika Serikat, terpilih menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Seorang pria dengan sejarah panjang dalam pelayanan pastoral di luar Eropa, Paus Leo XIV membawa angin segar sekaligus tantangan besar, terutama ketika kita berbicara tentang peran perempuan dalam Gereja.
Dengan rekam jejak yang penuh nuansa dan sikap hati-hati, Paus Leo XIV tak hanya menegaskan tradisi yang ada, tetapi juga memberi isyarat bahwa perubahan meski perlahan, mungkin bisa terwujud.
Sebagai Paus, Paus Leo XIV tidak lantas mengguncang dasar-dasar doktrin Gereja Katolik. Salah satu pendirian yang jelas adalah penolakannya terhadap imamat perempuan. Posisi ini bukanlah hal baru; Gereja Katolik telah lama berpegang pada keyakinan bahwa hanya laki-laki yang dapat menerima sakramen imamat.
Baca juga: 9 Fakta Menarik tentang Paus Leo XIV: Tolak Masuk Harvard, Kuasai Bahasa Kuno Inca, Sandal Jepit
Paus Leo XIV menggarisbawahi bahwa pembukaan pintu bagi perempuan dalam imamat bukan hanya soal doktrin, melainkan tentang keteraturan dalam pengajaran dan pelaksanaan sakramen. Sebagai seorang pastur yang selama ini melayani komunitas, ia lebih memilih menekankan bahwa peran perempuan dalam Gereja tidak terletak pada penahbisan, tetapi pada bentuk-bentuk kepemimpinan dan pelayanan yang lebih inklusif.
Tapi, di balik ketegasan ini, ada semacam simpati terhadap nasib perempuan yang merasa terpinggirkan dalam struktur yang sangat hierarkis ini. Paus Leo XIV secara eksplisit mendukung peningkatan peran perempuan dalam kepemimpinan non-imamat di Gereja. Ia memahami bahwa perempuan memiliki kontribusi penting yang seringkali kurang dihargai dalam ruang yang lebih publik dan terstruktur.
Dari pengalaman di Peru, di mana ia melayani komunitas yang sangat bergantung pada peran perempuan dalam kehidupan sosial dan gerejawi, Paus Leo XIV menyadari bahwa perempuan bukan hanya sekadar ‘pengikut’, tetapi pemimpin sejati dalam banyak aspek pelayanan Gereja.
Paus Leo XIV juga menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap isu sosial yang menyentuh perempuan, seperti migrasi dan pengungsi. Sebagai Uskup di Chiclayo, Peru, ia sangat terbuka dengan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan, terutama dalam konteks sosial-ekonomi.

Baca juga: Konklaf Pilih Kardinal Warga AS Pimpin Umat Katolik Sedunia
Kepedulian terhadap korban kekerasan dan ketidakadilan perempuan menjadi bagian dari visinya yang lebih luas dalam membangun sebuah Gereja yang inklusif dan lebih manusiawi. Dalam perspektifnya, Gereja harus menjadi tempat yang aman bagi semua orang, terutama perempuan yang sering kali menjadi kelompok rentan dalam masyarakat.
Namun, ada yang mengingatkan kita bahwa meskipun Paus Leo XIV mendukung keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pelayanan, ia tetap berhati-hati dalam hal perubahan yang bersifat fundamental, seperti perubahan dalam struktur hierarki gereja.
Kritis terhadap Gereja yang terlalu banyak memberi tempat pada tradisi, Paus Leo XIV juga menyarankan perlunya sebuah ruang untuk pembaruan dalam peran perempuan di ranah sosial dan teologi.
Isu perempuan dalam Gereja Katolik tidak pernah menjadi hal yang sederhana. Ada yang merasa terpinggirkan, ada yang merasa diberdayakan, dan ada pula yang merasa bingung dengan sikap Gereja yang seolah tak berubah. Di satu sisi, Paus Leo XIV terus memelihara martabat tradisi, tetapi di sisi lain, ia menggulirkan percakapan baru mengenai tempat perempuan dalam Gereja yang lebih luas.
Dari masa Kardinal hingga kini sebagai Paus, rekam jejak Paus Leo XIV dalam menghadapi isu-isu perempuan memberikan harapan dan tantangan sekaligus. Gereja yang lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan, yang lebih menyadari suara mereka, tak bisa dihindari. Meski begitu, umat perlu bertanya, apakah itu akan cukup? Akankah perempuan Katolik merasa semakin dihargai, atau justru semakin merasa terpinggirkan oleh sebuah Gereja yang enggan untuk terlalu banyak mengubah struktur yang telah lama ada?
Yolanda Diaz, guru di wilayah keuskupan Chiclayo, Peru dan memimpin organisasi untuk membantu imigran dan korban perdagangan manusia mengatakan, Uskup Prevost telah memperluas peran para perempuan di Peru.
“Sedikit demi sedikit gereja telah membolehkan kami berpartisipasi. Ada kelompok perempuan yang memimpin karya sosial pastoral di sini,” kata Yolanda seperti dikutip dari The New York Time., 10 Mei 2025.
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Tentu saja, ada yang lebih berharap kepada perubahan yang lebih radikal. Namun, bagi Paus Leo XIV, langkah kecil menuju perubahan adalah langkah yang lebih aman dan lebih bijaksana, setidaknya untuk saat ini. Dalam dunia yang serba cepat berubah ini, Gereja Katolik yang mengakui pentingnya suara perempuan tanpa mengorbankan esensi ajarannya, mungkin saja adalah jalan yang ingin ditempuh oleh Paus Leo XIV.
“Tidak sesederhana ucapan bahwa, ‘Anda tahu, pada tahap ini kami sedang mengubah tradisi Gereja setelah 2 ribu tahun untuk beberapa hal dari poin-poin itu,” kata Uskup Prevost dalam wawancara demgan The Chatolic News Agency pada 2023.
Mungkin, suatu hari nanti, Gereja akan lebih terbuka untuk memberikan perempuan lebih banyak ruang. Namun, untuk sekarang, Paus Leo XIV mengajak kita untuk lebih mendalami apa yang telah ada, dan terus memperjuangkan keseimbangan antara tradisi dan pembaruan. [*]