Konklaf dimulai. Kardinal disegel. Dunia Katolik menahan napas. Tapi apakah kita masih berpikir, atau hanya berdoa agar pilihan Roh Kudus tidak terlalu mengecewakan?
Di balik dinding tebal Kapel Sistina yang dipenuhi fresco agung Michelangelo, 133 kardinal hari ini dikunci rapat dalam ritual paling misterius di dunia Katolik modern: konklaf. Dunia berspekulasi siapa yang akan menggantikan Paus ke 266, Fransiskus yang telah wafat. Tapi satu pertanyaan yang jarang disentuh oleh siaran langsung dari Vatikan atau para penganut fanatik: benarkah Roh Kudus yang memilih Paus?
Baca juga: Paus Fransiskus Dobrak Tradisi Minta Dimakamkan di Luar Vatikan
Pertanyaan itu bukan sekadar provokasi. Ini adalah inti dari sebuah esai tajam di Crisis Magazine dengan dimulainya konklaf. Judulnya? The Papacy and the Sacrifice of the Intellect. Penulisnya, Darrick Taylor, tak segan-segan menyebut apa yang selama ini ditabukan di kalangan Katolik konservatif: bahwa keyakinan seolah-olah Roh Kudus langsung menunjuk seorang Paus dalam setiap konklaf telah melumpuhkan intelektualitas umat.
“Jika Roh Kudus memilih Paus,” tulis Taylor dengan pedas, “maka tak ada ruang untuk kritik, apalagi koreksi. Semua harus diam dan patuh.” Kalimat itu menampar banyak wajah yang selama ini tersenyum penuh harap ke arah balkon Basilika Santo Petrus, menanti munculnya asap putih.
Di hari ketika asap belum mengepul dan suara para kardinal disembunyikan di balik suara organ tua dan pelayan-pelayan Vatikan yang membisu, kritik Taylor terasa seperti suara akal sehat yang dikurung di luar tembok Vatikan.
Baca juga: Jejak Perjalanan Paus Fransiskus: Saya Berharap Ada Gereja untuk Orang Miskin
Dalam sejarahnya, konklaf bukanlah ruang steril spiritualitas. Intrik politik, tekanan geopolitik, dan bahkan deal-deal tidak tertulis pernah membentuk hasil konklaf—termasuk pemilihan Paus yang pernah berseteru dengan para ordo, membungkam teolog, atau malah memilih bungkam ketika dunia menjerit.
“Paus bukan nabi. Ia bisa salah. Dan umat Katolik berhak tahu kapan pemimpinnya sedang tersesat,” kata Kardinal Gerhard Müller, mantan prefek Kongregasi Ajaran Iman, yang dikutip Taylor dalam artikelnya. Müller bukan sembarang kardinal. Dia dikenal keras kepala, tapi juga keras kepala dalam membela ortodoksi. Ketika dia bicara soal “kebodohan ketaatan buta”, dunia Katolik mendadak tidak nyaman.
Dan hari ini, saat konklaf dimulai, ketidaknyamanan itu kembali merayap. Kamera dunia mengarah ke Kapel Sistina, tapi suara hati banyak orang mengarah ke sesuatu yang lebih dalam: bagaimana kalau kita memilih Paus yang salah lagi?
Jangan salah, Paus bukan sekadar imam agung. Ia kepala negara, pemimpin spiritual untuk lebih dari satu miliar orang, dan dalam beberapa dekade terakhir, simbol politik global. Ia bisa menolak perang, bisa memihak Palestina, bisa menyapa komunitas LGBTQ, atau malah bisa membungkam semuanya dalam satu sapaan ambigu dari balkon.
Itu sebabnya, pertanyaan Taylor hari ini bukan cuma teologis. Ia eksistensial.
Baca juga: Meneladani Ardern dan Paus Benediktus Saat Memutuskan Mundur dari Jabatannya
Ia mempertanyakan narasi yang terlalu sering dijual: bahwa konklaf adalah proses kudus yang steril dari ambisi. Bahwa setiap suara kardinal adalah suara Roh Kudus. Bahwa siapa pun yang terpilih pasti adalah pilihan surgawi, dan umat tak boleh bertanya.
Padahal sejarah bicara lain. Ada Paus yang membeli suara. Ada yang terpilih karena kompromi politik Kekaisaran Romawi Suci. Ada yang ternyata lebih sibuk menulis puisi cinta daripada ensiklik. Dan dalam dekade terakhir, ada pula yang terlalu senang diwawancara media sampai nyaris kehilangan aura sakralnya.
Hari ini, ketika pintu kapel dikunci dari dalam dan dunia menunggu, kita dipaksa untuk percaya. Tapi percaya bukan berarti berhenti berpikir.
Taylor menulis bahwa intelektualitas Katolik sedang dikorbankan di altar loyalitas mutlak. “Ketaatan kepada Paus bukan berarti menutup mata pada kekeliruannya. Tradisi Katolik justru mengajarkan kita untuk menyaring, bukan menelan mentah-mentah.”
Pernyataan itu bisa terdengar radikal. Tapi dalam suasana hari ini, ketika simbolisme dan upacara mencoba menenangkan keresahan iman, mungkin kita butuh lebih banyak suara seperti itu.
Karena iman tanpa akal bisa berubah jadi takhayul. Dan Paus tanpa kritik bisa menjadi tiran berjubah putih.
Kita tidak tahu siapa yang akan muncul dari balik tirai konklaf beberapa hari lagi. Mungkin dia akan membawa senyum, atau membawa badai. Tapi satu hal yang pasti: kita tidak boleh lagi menyamakan pemilihan Paus dengan pemilihan Tuhan. Karena bahkan Roh Kudus, kalau kita percaya pada kebebasan-Nya, tak selalu ikut dalam voting.
*Priya Husada, Penyatu PMKRI